Akhir Februari lalu, Chanel Contos, seorang alumni sekolah perempuan swasta di pinggiran timur Sydney, meluncurkan sebuah petisi.
Dalam petisi tersebut ia menyerukan pendidikan dini tentang seks, persetujuan hubungan seksual atau 'sexual consent', serta menuntut reformasi kurikulum pendidikan seks.
BACA JUGA: Buruh Tani Perempuan di Australia Dipaksa Bekerja Hanya Mengenakan Pakaian Dalam
Hingga saat ini petisi tersebut telah mendapat lebih dari 35.000 tanda tangan dan lebih dari 3.400 kesaksian dari siswi tentang pengalaman pelecehan seksual mereka.
Pekan lalu, ribuan orang turun ke jalan hampir di seluruh ibukota negara bagian di Australia untuk memprotes seksisme dan kekerasan gender, menyusul tuduhan pemerkosaan Brittany Higgins dan terinspirasi oleh penyintas pelecehan seksual Grace Tame.
BACA JUGA: Mayoritas Pekerja di Australia Sudah Ketagihan Bekerja dari Rumah
Persetujuan SeksualApa itu 'sexual consent'? Persetujuan seksual berarti menyetujui untuk melakukan hubungan seksual dengan seseorang. Persetujuan ini penting karena aktivitas seksual tanpa persetujuan bisa dikategorikan pemerkosaan atau kekerasan seksual. Persetujuan seksual juga bisa diartikan sebagai perjanjian untuk berpartisipasi dalam aktivitas seksual, termasuk dengan dengan pasangan. Sebelum berhubungan seksual dengan pasangan, kita perlu tahu apakah pasangan juga ingin berhubungan seksual atau tidak.
Di saat sebagian orangtua di Australia secara umum masih menganggap seks sebagai topik yang canggung untuk dibicarakan dengan anak-anaknya, keluarga dari komunitas yang beragam secara budaya dan bahasa di Australia, termasuk komunitas Indonesia, mengatakan mereka menghadapi tantangan ekstra yang perlu disikapi dengan cara pandang baru.
BACA JUGA: Novel Intan Paramaditha Masuk Nominasi Penghargaan Buku Terbaik di Australia
Abraham Budi Wijaya dan Elizabeth Adipranoto pindah ke Australia empat belas tahun yang lalu.
Pasangan ini dikarunia dua orang anak laki-laki, Michael, yang berusia 22 tahun, dan Timothy, 19 tahun.
"Untuk Michael, karena dia autistik, kami tidak banyak bicara dengannya mengenai seks," kata Abraham kepada ABC Indonesia.
Sementara untuk Timothy, Abraham mengaku banyak terbantu oleh peran sekolah yang banyak memberikan edukasi mengenai seks
"Penyampaian oleh orang lain, dalam hal ini guru di sekolah, kadang bisa lebih bebas dan menjangkau anak, apalagi [disampaikan] di dalam kelas sehingga sangat baik, sesama murid juga bisa mendiskusikannya."
Dengan demikian, menurut Abraham, ada nilai bersama yang diperkenalkan kepada anak-anak.
"Tentunya tanpa menghilangkan hak keluarga untuk mengajarkan nilai yang kami yakini dan tidak bertentangan dengan hidup bermasyarakat."
"Jadi [sebagai orangtua] kami tinggal memberikan tambahan, penekanan, dan lain-lain, terutama tentang bahaya penyakit dan tanggung jawab." Belajar dari pengalaman masa lalu Pasangan Abraham Budi Wijaya dan Elizabeth Adipranoto memilih menggunakan cara pandang baru dalam membesarkan anak-anaknya.
Koleksi Pribadi: Abraham Budi Wijaya
Abraham mengakui pengaruh perubahan zaman dan perbedaan budaya menjadi penentu bagaimana pendidikan mengenai seks diajarkan kepada anak.
Saat ia di Indonesia dulu, Abraham ingat ia hanya memperoleh satu saja pesan bermuatan edukasi seks dari orangtuanya.
"Terus terang kalau dulu dari orangtua, buat saya pesannya sederhana saja: 'jangan main perempuan' dan itu disampaikan ibu saya saat saya masih SD, sehingga saya agak bingung, apa salahnya main dengan anak perempuan?" katanya setengah tertawa.
Barulah belakangan Abraham mengerti apa yang dimaksud Ibunya dengan "main perempuan".
"Zaman sekarang komunikasinya lebih terbuka ya," tutur Abraham.
Prinsip keterbukaan ini jugalah yang diterapkan oleh pasangan Inda Eirin Febrianti dan Satianugraha Saefullah dalam berkomunikasi dengan kedua anaknya.
Anak sulungnya, Razziq, kini berusia 18 tahun, sementara putrinya Nayyara, berusia 13 tahun.
"Dari awal, saya dan suami mengutamakan keterbukaan, jadi semua hal juga diobrolin. Sejak anak-anak udah bisa diajak ngobrol, setiap malam diajak ngobrol, diajak cerita agar ke depannya mereka nyaman ngobrol dengan kami mengenai apapun," ujar Inda.
"Pengalaman saya waktu tumbuh besar, saya banyak tahu dari teman, dari majalah, jarang dari orangtua karena enggak dibiasakan ngobrol."
"Jadi di sini kami maunya kalau anak-anak punya pertanyaan, apapun itu, nanyanya ke kita," tambah Inda.
Bahan obrolan ini, menurut Inda, tak terkecuali masalah pendidikan seksual yang sudah mulai diperkenalkannya kepada Razziq saat ia memasuki masa puber di usianya yang kesepuluh.
Inda mengatakan, saat itu Razziq sudah mulai punya rasa ingin tahu dan rasa penasaran yang kerap ia tanyakan kepada kedua orangtuanya.
"Salah satu pertanyaannya saat itu adalah soal mimpi basah. Dia nanya, apa itu. Kami beri penjelasan sesuai dengan umurnya. Waktu itu dia sepuluh tahun, ya kami kasih pengertian yang sesuai dengan pengetahuan anak umur 10 tahun."
"Kami sampaikan kalau perempuan tuh kayak gini bentuknya, kalau laki-laki begitu. Laki-laki mengalami ini, perempuan mengalami itu."
"Saya juga kasih tahu, karena kita muslim, ketika kamu mengalami mimpi basah, berarti sesudahnya kamu harus mensucikan diri, caranya kayak gini. Itu yang kami obrolin saat dia berumur 10 tahun," kata perempuan yang sudah 19 tahun bermukim di Melbourne ini.
Sama seperti Abraham, Inda juga menilai peran besar sekolah dalam menyampaikan materi pendidikan seksual pada anak.
"Anak-anak SD-nya di Muslim School, jadi nggak ada pendidikan seksual di sana, tapi kemudian saat Year 8 dan masuk public school, di sana ada pendidikan seksual yang mengajarkan juga penyakit-penyakit akibat seks bebas, bagaimana menghindarinya, dan bagaimana menggunakan pengaman." 'Why can't I have sex?' Keterbukaan dan tanggung jawab menjadi upaya Inda dan suaminya, Satria saat memberikan pendidikan soal seks kepada anak-anaknya.
Koleksi pribadi
Pertanyaan lain yang pernah didapat Inda dari putranya adalah soal mengapa dia tidak boleh berhubungan seks.
"Dia tanya 'why can't I have sex?' Saya jawab, siapa bilang? Boleh kok, tapi nanti kalau kamu sudah siap, baik secara fisik, mental dan finansial, karena ada konsekuensi yang enggak berhenti sampai di situ, itu yang saya sampaikan," kata Inda.
"Bersama dengan konsekuensi, kami ajarkan juga soal tanggung jawab,"
"Bagi pasangan yang sudah menikah saja, kehadiran anak itu mengubah kehidupan kita 180 derajat. Apalagi yang belum menikah? Dan enggak semua orang siap untuk itu."
Penjelasan seperti itu, menurut Inda, sejauh ini masih bisa diterima dan dipahami anaknya.
Meskipun Inda masih tetap memberikan bekal agama kepada anak-anaknya dengan sekolah madrasah pada setiap hari Sabtu, hal ini tidaklah cukup saat mengedukasi mereka soal hubungan seksual.
"Pengalaman saya dan suami, melihat perkembangan zaman yang beda banget sama dulu waktu kami dibesarkan, kayaknya enggak bisa anak-anak sekarang ini hanya dari sisi agama saja dibekalinya," tutur Inda.
"Mereka tahu mana yang salah dan benar secara agama, tapi kami ngobrolinnya lebih logika konsekuensi dan tanggung jawab tadi."
Tetapi menurut Inda, yang paling penting adalah bagaimana sebagai orangtua, ia dan suami juga bisa menjadi contoh yang baik pada anak-anaknya.
"Cara suami memperlakukan saya, kelak akan dilihat anak saya sebagai contoh bagaimana seorang lelaki memperlakukan seorang perempuan," tutur Inda, yang berahap ini juga bisa menjadi bekal pemahaman Razziq terhadap konsep 'sexual consent'. Orangtua harus memakai cara pandang baru Abraham dan kedua putranya, Timothy dan Michael.
Koleksi Pribadi: Abraham Budi Wijaya
Formula yang dipakai Inda dan suaminya bisa jadi sejalan dengan apa yang diyakini Abraham.
Abraham menyadari ia datang dari latar belakang budaya yang berbeda, karenanya sebagai orangtua ia harus memahami perbedaan budaya Australia dan di Indonesia.
Pemahaman inilah yang sebaiknya dipakai sebagai cara pandang baru dalam hal pengasuhan anak.
"Bagi kami, tidak berarti budaya di sini lebih buruk, tetapi cara pandang memang sudah berbeda, misalnya tentang seks sebelum menikah."
"Ini bukan berarti "merestui" seks bebas ya, tapi artinya pasangan di sini mengharapkan komitmen pasangannya, jadi bukan hubungan serba bebas seperti kadang digambarkan di film, meskipun tentu ada juga yang begitu."
Abraham menambahkan jika orangtua sulit menerima perbedaan budaya di Australia, bukan mustahil akan terjadi benturan keras di dalam rumah.
"Jadi, ketika kita memutuskan pindah ke suatu negara, konsekuensinya juga harus sudah dipikirkan, termasuk cara memandang persoalan harus disesuaikan."
"Misalnya apakah yang penting formalitas pernikahan, atau kualitas hubungan dan komitmen? Begitu kira-kira menurut kami," tutur Abraham yang mengaku memakai pendekatan yang lebih santai dengan "tidak terlalu menekankan 'aturan tradisional' keagamaan bahwa seks hanya setelah menikah."
Namun, Abraham dan istrinya mengaku menekankan tanggung jawab dan komitmen dalam sebuah relasi sebagai wujud apresiasi pada pasangan. Pendidikan seks di sekolah di Australia masih kurang Timothy (kanan) mengaku mendapatkan informasi yang cukup lengkap tentang persetujuan seksual dari universitas tempatnya belajar.
Koleksi Pribadi: Abraham Budi Wijaya
Di Australia, semua negara bagian dan teritori menempatkan pendidikan seks di bawah mata pelajaran Pendidikan Jasmani dan Kesehatan dalam kurikulum nasional.
Tetapi sekolah dapat memilih bagaimana menafsirkan kurikulum, topik apa yang akan dibahas dan seberapa detail yang mereka tawarkan.
Meskipun orangtua seperti Inda dan Abraham merasa sangat terbantu dengan edukasi seks di sekolah, untuk beberapa anak muda dari keluarga yang jarang membahas topik seksual, pendidikan yang diberikan di sekolah masih jauh dari cukup.
Lauren French, seorang pendidik senior di organisasi Body Safety Australia, yang menawarkan pelatihan kepada sekolah dan orang tua, mengatakan pendidikan seks terkadang bisa menjadi "tokenistic".
"Kami hanya mencentang kotak edukasi mengenai persetujuan hubungan seksual, daripada benar-benar melakukan pendidikan persetujuan," katanya kepada ABC.
"Cara kurikulum ditulis dan cara orang mengajarkan sesuatu biasanya adalah dengan menyiasati topik yang rumit, bagian yang sulit, yang sebenarnya merugikan anak, karena itu berarti mereka tidak mendapatkan akses ke pendidikan persetujuan seksual. "
Dia mengatakan beberapa sekolah akan secara eksplisit memberitahunya atau menyiratkan bahwa ada kelompok orangtua tertentu menganggap konten pelajaran tersebut "sensitif" dan memintanya untuk tidak menyampaikannya secara lengkap.
Namun, ketika bertemu dengan orangtua, dia malah sering mendapat sambutan baik dari para orangtua terkait konten pengajarannya dan bahkan memintanya untuk mengajar lebih banyak lagi.
Persetujuan seksual ini juga dikenalkan oleh Inda sejak dini dengan meminta putrinya, Nayyara untuk berani bicara.
"Saya bilang ke dia: 'kamu harus ngomong ketika kamu merasa tidak nyaman'. Ini bukan cuma soal seksual aja, tapi juga ketika dia diperlakukan dan merasa nggak enak, you have to say something."
"Ini termasuk kalau dia ketemu cowok, terus dipegang tangannya atau apa yang kamu enggak ngerasa nyaman, you have to say something. Because if you don't say anything, mereka akan terus aja.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Peserta WHV Asal Indonesia Tewas dalam Kecelakaan Lalu Lintas di Australia