Namun, hingga 16 Desember 2011, DPR dan Pemerintah baru menyelesaikan 24 RUU menjadi UU"Perlu diingat bahwa jumlah 24 UU per 16 Desember 2011, merupakan akumulasi termasuk jenis RUU Akumulatif Terbuka, seperti RUU penetapan APBN dan Perubahan APBN (APBN-P), RUU ratifikasi Perjanjian Internasional, dan lain-lain," kata Direktur Advokasi dan Monitoring PSHK, Ronald Rofiandri, Senin (19/12), di Jakarta.
Selain itu, kata dia, sebagian besar capaian 24 UU merupakan sisa luncuran dari 2010
BACA JUGA: Hari Ini, MK Putusankan Sengketa Pilkada Gorontalo dan Papua Barat
Dia menilai, kalau dari aspek kuantitas capaian hingga 24 UU sudah lebih baik, setidaknya dibandingkan dengan 2010, yang hanya menghasilkan 16 UUBACA JUGA: Ogah Biayai PSU, Pj Bupati Buton Ditegur Dewan
Untuk itulah sekali lagi, PSHK mengajak kita semua untuk menyasar pada evaluasi terhadap kualitas proses dan substansi UU," katanya."Pada aspek kuantitas, pada akhirnya kita akan selalu berhadapan dengan persoalan yang sama, yaitu kegagalan DPR maupun Pemerintah mencapai target yang telah direncanakan sebelumnya," tambah Ronald
Ia menambahkan, kinerja legislasi setahun ini telah menunjukan beberapa praktik yang merefleksikan kualitas substansi dan proses yang dijalani
BACA JUGA: Gerindra Siap Tampung PKBN Yenny Wahid
Misalnya, bagaimana ketentuan pembatasan durasi pembahasan suatu RUU sebagaimana yang diatur dalam Pasal 141 Tata Tertib DPR diuji konsistensinyaHingga kemudian diakui adanya fleksibilitas DPR sendiri dalam menentukan jangka waktu pembahasan RUU sesuai dengan dinamika yang terjadi"Setidaknya ini praktik yang terjadi pada pembahasan RUU Bantuan Hukum, RUU Rumah Susun, RUU BPJS, dan RUU OJK," paparnya.Kemudian, adanya kelambanan dan miskoordinasi yang terjadi di internal DPR dan pemerintah sehingga mempengaruhi penyiapan dan forum pembahasan RUU"Contohnya RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, RUU Perubahan atas UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, dan RUU PBJS," ujarnya.
Lalu, kata Ronald, hampir sebagian besar pembahasan RUU mengalami kemacetan hingga deadlock disebabkan persoalan kelembagaan atau dengan kata lain materi RUU memandatkan adanya pembentukan lembaga atau badan baru"Contohnya RUU Bantuan Hukum, RUU Rumah Susun, RUU Pencegahan dan Pembalakan Liar, dan RUU Pengelolaan Zakat, Infaq, dan Shodaqoh," katanya.
Menariknya, kata dia lagi, persoalan kelembagaan dimaksud muncul dari RUU-RUU yang kesemuanya diinisiasi oleh DPR.
Harus diakui, kata Ronald, evaluasi terhadap kualitas UU lebih kompleks dan akan menghasilkan sebuah penilaian yang berbeda-beda antara satu UU dengan UU yang lainnya.
Meskipun bisa saja kemudian ditemukan tren atau kecenderungan tertentuPSHK tidak lagi melihat kriteria penilaian kualitas UU hanya didasarkan pada seberapa banyak suatu UU diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK)"Karena bisa saja dalam satu periode atau jangka waktu tertentu, sebuah UU tidak diajukan judicial review ke MK, namun fakta-fakta kerugian konstitusional baru dirasakan beberapa waktu kemudian," tegasnya.
Seberapa efektif UU, bisa dilihat dari kemampuan UU tersebut mengatasi sejumlah permasalahan dalam jangka waktu yang lamaTapi bukan berarti jika sebuah UU tidak diajukan judicial review, UU tersebut tidak menyimpan atau menimbulkan persoalan hingga kemudian perlu diubah atau bahkan diganti.
Sebagai contoh UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang baru saja diganti dan disahkan UU penggantinya pada masa sidang laluAtau kehendak Mahkamah Agung (MA) yang ingin menerapkan sistem kamarSebagian pengaturannya ada di level UU"Tapi untuk menghadirkan materi pengaturan tentang sistem kamar kan tidak harus kemudian diajukan lebih dulu judicial review ke MKMalah Pemerintah dan DPR melakukan revisi terbatas," jelasnya kembali. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Orang Parpol Harus Buktikan Diri Independen
Redaktur : Tim Redaksi