jpnn.com, JAKARTA - Realisasi penerimaan bea dan cukai masih sangat kecil.
Hingga 14 April lalu, penerimaan bea can cukai baru Rp 22,05 triliun.
BACA JUGA: Revisi Aturan Insentif Pajak demi Gaet Investor
Jumlah itu setara 11,53 persen dari target yang ditetapkan dalam APBN 2017 sebesar Rp 191,233 triliun.
Dirjen Bea dan Cukai Heru Pambudi mengakui, realisasi penerimaan bea dan cukai pada awal tahun memang masih seret.
BACA JUGA: Tebusan Tak Sesuai Target, Tax Amnesty Indonesia Tersukses di Dunia
Namun, pada pertengahan tahun, penerimaan negara akan lebih baik.
”Kami memang tidak menggunakan persen, tetapi pola. Bulan satu dan bulan kedua akan lebih rendah, bulan ketiga akan recovery. Bulan keempat biasanya sudah normal dan terus meningkat hingga akhir tahun,” papar Heru di Jakarta, Kamis (20/4).
BACA JUGA: Presiden Diminta Tunjukkan Laporan Pajaknya
Masih rendahnya penerimaan bea dan cukai pada awal tahun disebabkan sejumlah faktor.
Di antaranya, pemberlakuan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 20 Tahun 2015 tentang kewajiban pelunasan pita cukai di tahun berjalan.
Dengan demikian, pita cukai untuk rokok yang diproduksi pada akhir tahun tapi baru diedarkan pada awal tahun wajib dibayarkan pada akhir tahun.
”Pemberlakuan PMK 20 ini memerintahkan semua pembayaran fiskal tahun lalu harus lunas tahun lalu,” urainya.
Selain itu, lanjut Heru, penurunan penerimaan bea cukai juga dipengaruhi nilai kurs rupiah yang rendah tahun ini.
”Kurs rupiah menurun 1,5 persen dibanding tahun lalu,” katanya.
Realisasi penerimaan yang seret tersebut menjadi perhatian Komisi XI DPR. Mereka meminta Heru melakukan kajian objek cukai baru dalam waktu dua bulan.
”Itu masukan yang bagus dan kami akan konsentrasi untuk itu,” imbuhnya.
Menurut pengamat perpajakan Yustinus Prastowo, pola penerimaan bea cukai dari tahun ke tahun memang cenderung sama.
Khususnya pola penerimaan cukai yang pada awal tahun memang rendah.
”Karena perusahaan menebus pita cukai di bulan Desember,” paparnya.
Pola tersebut membuat kenaikan penerimaan biasanya terjadi pada pertengahan tahun hingga akhir tahun.
Meski demikian, Prastowo menilai pemerintah harus melakukan upaya ekstensifikasi cukai sehingga tidak hanya mengandalkan cukai hasil tembakau.
”Supaya dua tujuan terpenuhi. Pengendalian dampak buruk tembakau dan ada tambahan penerimaan,” paparnya.
Objek baru yang paling potensial untuk dikenai cukai adalah minuman berpemanis. Dampaknya diyakini lebih besar dan lebih sederhana.
Sedangkan cukai untuk plastik dinilai lebih sulit karena produk turunannya banyak. (ken/c10/noe)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bayar PPh Terlalu Besar, Aktor Protes ke Ditjen Pajak
Redaktur & Reporter : Ragil