jpnn.com, JAKARTA - Pengamat telekomunikasi Bambang P Adiwiyoto menyarankan pemerintah menggunakan skema hitungan yang paling efisien guna menentukan tarif interkoneksi dalam rangka efisiensi industri telekomunikasi nasional.
Tujuannya, lanjut Bambang, tidak lain untuk memberikan manfaat yang luas bagi masyarakat karena tarif telekomunikasi jadi lebih terjangkau.
BACA JUGA: Penurunan Tarif Interkoneksi Dukung Persaingan Sehat
“Pemerintah sebagai regulator seharusnya menerapkan tarif interkoneksi dengan batas atas sebagai acuan untuk mendorong dan mempromosikan persaingan usaha yang sehat di industri telekomunikasi nasional,” ujar Bambang P Adiwiyoto dalam keterangannya kepada wartawan, Minggu (12/3).
Dikatakan, penetapan tarif itu sendiri dapat mengunakan dua pendekatan, yakni ilmu ekonomi dan ilmu bisnis.
BACA JUGA: Bantah Network Sharing Hambat Pembangunan Infrastruktur
Dari pendekatan ilmu ekonomi, tarif ditetapkan berdasarkan perpotongan antara kurva supply dan kurva demand.
Sedangkan menurut pendekatan ilmu bisnis, praktik full cost pricing terjadi apabila harga suatu produk dihitung oleh perusahaan berdasarkan biaya langsung per unit ditambah mark up untuk menutup biaya overhead dan keuntungan.
BACA JUGA: Skema Berbagi Jaringan Dinilai Pro-Rakyat
Praktik ini sering digunakan pelaku usaha karena sulitnya menghitung secara tepat permintaan suatu barang dan menetapkan harga pasar.
Sedangkan dalam penetapan biaya interkoneksi, biasanya menggunakan salah satu metode dari tiga metode yang ada, yakni yaitu historical-cost approach, forward-looking approach, atau pendekatan biaya interkoneksi.
Regulator dan operator sepakat memilih model pendekatan long run incremental cost (LRIC).
LRIC adalah biaya tambahan yang timbul dalam jangka panjang dengan tambahan volume trafik untuk produksi spesifik.
Model ini menghitung biaya untuk membangun kembali elemen jaringan spesifik dengan mempergunakan teknologi yang ada, dengan asumsi bahwa biaya operasi dan modal dimanfaatkan secara efisien.
“Sampai tahun 2015, Telkomsel ditetapkan sebagai acuan karena dianggap sebagai operator STBS paling efisien. Tapi berdasarkan perhitungan terakhir yang telah disampaikan dan diketahui oleh regulator, ada operator STBS lain yang dinyatakan paling efisien, dimana memiliki tarif interkoneksi paling rendah, bahkan jauh lebih rendah daripada Telkomsel,” ujarnya.
Meski demikian, regulator tetap mempergunakan angka perhitungan Telkomsel sebagai acuan perhitungan tarif telekomunikasi. Tarif Interkoneksi Telkomsel jauh lebih besar dari angka yang dimiliki salah satu operator STBS.
Hal ini menyebabkan tarif telekomunikasi menjadi mahal sekali. Dalam kondisi seperti sekarang ini, tarif yang tinggi menyebabkan perpindahan surplus konsumer ke surplus produser.
Apabila regulator tetap mempergunakan angka perhitungan Telkomsel sebagai acuan yang mengakibatkan sangat tingginya tarif telekomunikasi, menurut dia, konsumen berhak menuntut regulator dan Telkomsel karena menzalimi dan menyakiti hati konsumen serta bertentangan dengan ayat 3 Pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
“Apabila regulator tetap mempergunakan metode LRIC, seyogyanya regulator segera melakukan perhitungan ulang tarif interkoneksi dengan mengacu kondisi operator yang paling efisien,” paparnya.
Dalam diskusi yang diselenggarakan Indonesia Technology Forum (ITF), Minggu lalu, juga mencuat rencana pemerintah untuk mendorong penurunan tarif interkoneksi guna mendukung efisiensi industri telekomunikasi nasional.
”Pemerintah mendorong penurunan biaya interkoneksi dengan tujuan ingin memberikan efisiensi dan keberlanjutan industri penyelenggaraan telekomunikasi, seperti soal pengembangan wilayah dengan tetap menjamin ketersediaan infrastruktur. Sedangkan dari sisi pelanggan jasa telekomunikasi, pemerintah berharap penurunan biaya interkoneksi diharapkan dapat menurunkan tarif pungut (retail) untuk layanan antar penyelenggara (off-net) tanpa mengurangi kualitas layanan,” tegas Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara di Seminar Nasional Indonesia Technology Forum (ITF).
Dia menekankan kembali bahwa interkoneksi adalah hak pelanggan yang harus dilayani oleh operator.
Pelanggan punya hak untuk mendapatkan layanan interkoneksi. Sebaliknya, kewajiban operator untuk memberi layanan interkoneksi kepada masyarakat.
Mengingat interkoneksi itu juga berdimensi B2B (business to business) sehingga ada business arrangement, menurut Menkominfo, seyogianya perbedaan dalam cara bisnis operator ataupun capex tidak boleh menjadi penghalang interkoneksi.
“Kepentingan pemerintah dalam interkoneksi adalah pelanggan dan industri yang sustainable. Ujung-ujungnya ya harus industri yang sustainable,” tandasnya.
Komisioner BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia) I Ketut Prihadi Kresna juga mengamini keinginan pemerintah dengan menegaskan bahwa pihaknya jelas mendukung industri telekomunikasi yang sehat.
“Penyesuaian terhadap tarif interkoneksi adalah salah satu upaya mengarah kepada persaingan industri telekomunikasi yang sehat,” tegasnya.
Direktur Telekomunikasi Ditjen PPI Kominfo Benyamin Sura menjelaskan pihaknya saat ini masih terus mengkaji bersama BRTI terkait tarif interkoneksi.
“Saat ini kami sedang melakukan lelang tahap kedua untuk mendapatkan verifikator independen untuk menilai besaran nilai interkoneksi yang tentu membutuhkan data-data dari operator,” ungkapnya.
Dengan verifikator independen tersebut diharapkan besaran nilai interkoneksi dapat diterima oleh semua pihak.
Pernyataan ini diungkapkannya menyikapi keinginan pemerintah terkait penurunan tarif interkoneksi yang di lapangan masih ada pro kontra. (rl/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... PP Penyelenggaraan Telekomunikasi Mendesak Direvisi
Redaktur & Reporter : Soetomo