jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi I DPR RI TB Hasanuddin memberikan penjelasan setelah muncul kehebohan seturut terbitnya draf Revisi UU TNI soal prajurit yang bisa ditugaskan ke kementerian atau lembaga.
Kehebohan menyeruak akibat Pasal 47 ayat 2 draf RUU TNI memunculkan frasa tambahan bagi prajurit aktif untuk tugaskan di luar organisasi induk.
BACA JUGA: Revisi UU TNI Dinilai Bakal Menyulitkan Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat
Semula prajurit TNI aktif bisa ditugaskan di sepuluh lembaga yaitu, Kemenko Polhukam, Sekretaris Militer, Kemenhan, Sandi Negara, Badan Intelejen Negara (BIN), Badan Narkotika Nasional (BNN), Basarnas, Wantanas, Lemhanas, dan Mahkamah Agung.
Dalam draf RUU TNI kemudian ditambahkan frasa, "kementrian atau lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai dengan kebijakan presiden".
BACA JUGA: Centra Initiative: Revisi UU TNI Tidak Usah Dilanjutkan
Menurut TB Hasanuddin, frasa tambahan untuk penugasan prajurit TNI aktif di luar organisasi induk sudah sesuai dengan perundangan.
Pertama, kata dia, presiden adalah kepala negara dan juga pemerintahan, plus penguasa tertinggi TNI Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara seperti diatur dalam Pasal 10 UUD 1945.
BACA JUGA: Koalisi Masyarakat Sipil Khawatir Revisi UU TNI Kembalikan Dwifungsi ABRI
"Oleh karena itu, penempatan prajurit TNI aktif di kementerian atau lembaga mana saja oleh presiden harus dimaknai sebagai pelaksanaan wewenang konstitusional yang sah," kata TB Hasanuddin melalui layanan pesan, Minggu (2/6).
Kedua, katanya, wewenang presiden sesuai Pasal 14 UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan ialah pengguna kekuatan.
"Artinya, kebijakan presiden untuk menempatkan prajurit TNI aktif di mana pun guna memperkuat pertahanan negara melalui penguatan lembaga-lembaga pemerintahan itu hal yang sah," kata TB Hasanuddin.
Dia lalu menjawab kecurigaan terhadap potensi bangkitnya Dwi Fungsi ABRI menyusul tambahan frasa "sesuai dengan kebijakan presiden" dalam menempatkan prajurit TNI di luar organisasi induk.
Kang TB sapaan TB Hasanuddin mengatakan Indonesia sudah banyak membuat aturan yang intinya membatasi bangkitnya Dwi Fungsi ABRI.
Dalam Pasal 2 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI disebutkan jelas bahwa prajurit dilarang berpolitik praktis.
"Era Orde Baru prajurit TNI aktif bahkan dapat di tempatkan sebagai ketua partai tertentu. Saat ini sudah tidak boleh, aturannya jelas, TNI aktif tidak boleh berpolitik praktis," kata Kang TB.
Selanjutnya, kata dia, UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu beserta Peraturan KPU juga membatasi bangkitnya Dwi Fungsi ABRI.
Sebab, ujar Kang TB, aturan tadi menekankan bahwa prajurit TNI aktif yang akan ikut kontestasi politik legislatif atau pilkada diwajibkan mundur terlebih dahulu dan tidak bisa kembali bertugas di organisasi asal.
"Keberadaan peraturan ini tidak memberikan celah lagi seperti di era Orde Baru, ketika prajurit TNI aktif dapat ditempatkan di lembaga legislatif dan eksekutif dengan penunjukan," kata purnawirawan TNI berpangkat terakhir Mayjen itu.
Toh, kata Kang TB, dalam pasal 47 juga dilengkapi dengan persyaratan tambahan dalam butir 3 dan 4 yang isinya menyebutkan bahwa penempatan prajurit aktif wajib harus berdasarkan permintaan kementerian atau lembaga yang membutuhkan dan tunduk pada aturan yang berlaku organisasi tujuan.
"Artinya, aturan penempatan prajurit TNI sangat ketat dan tidak sembarangan. Harus ada permintaan dari pimpinan kementerian atau lembaga dahulu kemudian ketika ditempatkan, prajurit TNI harus tunduk pada aturan yang berlaku di kementerian tersebut," kata Kang TB. (ast/jpnn)
Yuk, Simak Juga Video ini!
Redaktur : M. Adil Syarif
Reporter : Aristo Setiawan