jpnn.com, JAKARTA - Rupiah diprediksi akan terus mengalami tekanan hingga akhir tahun. Hal itu terjadi karena perekonomian AS terus membaik yang terlihat dari data inflasi dan serapan tenaga kerja yang meningkat. Kondisi tersebut mendorong Bank Sentral AS (The Fed) menaikkan suku bunga acuannya.
Tahun ini pasar masih mengekspektasikan suku bunga acuan The Fed naik dua kali. Pasar bahkan sudah mengekspektasikan suku bunga acuan The Fed terus naik hingga tahun depan.
BACA JUGA: Rupiah Melemah, Harga Produk Elektronik Naik
”September ini kemungkinan suku bunga The Fed naik lagi, kemudian dilanjutkan pada Desember,” ujar ekonom Indef Bhima Yudistira Adhinegara, seperti diberitakan Jawa Pos.
Meski Presiden AS Donald Trump sempat menyatakan ketidaksukaannya pada kenaikan suku bunga, pasar masih menilai wajar jika The Fed menaikkan suku bunga.
BACA JUGA: Faisal Basri: Depresiasi Rupiah Terburuk Sepanjang Sejarah
Kemudian, perang dagang antara AS dan Tiongkok belum selesai. Meski AS menaikkan tarif impor dari Tiongkok, Negeri Panda itu adalah salah satu negara yang paling banyak memegang surat utang AS. Tiongkok pun tak mau kalah ingin membalas. ”Minggu ini masih ada perundingan kedua negara soal itu,” ujar Bhima.
Hubungan yang panas antara Turki dan AS juga masih memengaruhi nilai tukar. Tidak hanya rupiah, tapi juga mata uang negara berkembang lainnya. Pada awal pekan ini, tekanan dari sentimen Turki sempat mereda karena ada perjanjian bilateral swap antara Turki dan Qatar senilai USD 51 juta.
BACA JUGA: Rupiah Melemah, Kunjungan ke Mal Malah Meningkat
Namun, Qatar masih dikucilkan negara-negara Timur Tengah, terutama Arab Saudi. Hubungan Turki dan AS juga masih memanas dan belum menunjukkan tanda-tanda mereda.
Sejumlah sentimen tersebut dapat memengaruhi nilai tukar rupiah dan dana asing di portofolio hingga akhir tahun. Pada Selasa (21/8) rupiah berada di level 14.568 per USD. Sejak awal tahun rupiah melemah 7,58 persen. Dana asing yang keluar dari pasar modal Rp 46,10 triliun. Itu belum termasuk dana asing yang keluar dari pasar surat berharga negara (SBN).
”Kami terus memperhatikan faktor-faktor global yang dapat memengaruhi rupiah ke depan, terutama dari perbaikan ekonomi AS dan hubungannya dengan negara lain seperti Turki dan Tiongkok. Tetapi, upaya dari Bank Indonesia (BI) juga perlu dibarengi dengan peningkatan ekspor dan pengurangan defisit, tidak bisa hanya dari sisi moneter,” kata Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo.
Pada Juli 2018 defisit neraca perdagangan tercatat USD 2,03 miliar atau yang tertinggi sejak Juli 2013. Sementara itu, defisit transaksi berjalan melebar dari USD 5,5 miliar pada kuartal I 2018 menjadi USD 8 miliar pada kuartal selanjutnya. Angka itu setara dengan 3 persen produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Dody mengaku, peningkatan ekspor akan dapat menekan defisit. Dengan defisit yang rendah, pasar portofolio akan lebih stabil, suku bunga dapat disesuaikan, dan nilai tukar secara tidak langsung akan lebih stabil.
Namun, dengan pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan 5,3 persen hingga akhir tahun, defisit transaksi berjalan masih akan terjadi. Hingga akhir tahun diperkirakan defisitnya mencapai USD 25 miliar.
Sejauh ini, BI sudah berupaya menstabilkan nilai tukar dan menenangkan pasar dengan kenaikan suku bunga BI 7 days reverse repo rate (BI-7DRRR) 1,25 persen tahun ini.
Dody tidak mengungkapkan apakah ruang kenaikan suku bunga tahun ini masih terbuka. Namun, sementara ini, dia yakin imbal hasil SBN bertenor 10 tahun dan yield US treasury masih memiliki spread yang menarik bagi investor. Saat ini yield SBN 10 tahun sekitar 7,99 persen, sedangkan yield US treasury 2,85 persen. (rin/c10/oki)
Pergerakan Rupiah Januari–Agustus 2018
Tanggal - Rp/USD
31 Januari 13.413
28 Februari 13.707
29 Maret 13.756
30 April 13.877
31 Mei 13.951
29 Juni 14.404
31 Juli 14.413
21 Agustus 14.568
BACA ARTIKEL LAINNYA... Menanti Konsistensi Pemerintah Tekan Impor
Redaktur & Reporter : Soetomo