Teliti 'Putusan Batal', Fachmi Raih Predikat Cum Laude Unpad

Jumat, 19 Juni 2009 – 21:00 WIB
Ilustrasi pengadilan. Foto: pixabay

jpnn.com, BANDUNG - Kandidat Doktor H Bagindo Fachmi SH MH, yang juga Kepala Pusat Informasi Data dan Statistik Kriminal Kejaksaan Agung, akhirnya memperoleh predikat Cum Laude dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, setelah berhasil mempertahankan disertasinya berjudul "Kepastian Hukum Mengenai Putusan Batal Demi Hukum dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia", lewat Sidang Terbuka Senat yang dipimpin Prof Dr Ir Ganjar Kurnia DEA.

"Setelah memperhatikan jalannya sidang terbuka selama dua jam lebih dan mengumpulkan seluruh skor dari seluruh tim penguji promovendus Fachmi, maka selaku pimpinan sidang, kami sependapat untuk memberikan predikat Cum Laude bagi promovendus Fachmi, karena selama sidang berlangsung telah mampu menguasai materi disertasinya secara sangat baik," tegas Ganjar Kurnia, di aula Program Pascasarjana Unpad, Bandung, Jumat (19/6).

Dengan demikian mulai hari ini, lanjut Ganjar Kurnia, Fachmi berhak untuk menggunakan gelar akademis doktor di bidang Ilmu Hukum"Kami berharap, semoga ilmu yang diperolehnya bisa berguna bagi bangsa dan negara di masa datang," katanya.

"Yang tidak kalah penting, jangan sampai melupakan almamater, karena dengan segala kelebihan dan kekurangannya, kampus ini sudah memberikan yang terbaik bagi Fachmi hingga berhasil meraih gelar akademik tertinggi," kata Ganjar di akhir penutupan Sidang Terbuka yang juga dihadiri oleh tim pembimbing, antara lain Prof Dr H Romli Atmasasmita SH LLM, Prof Dr H Muladi SH MH, Prof Dr Hj Mien Rukmini SH MS, serta tim penguji.

Dalam disertasinya, Dr H Bagindo Fachmi SH MH menjelaskan bahwa dalam sistem peradilan pidana, putusan hakim memegang peranan dan memiliki makna yang sangat penting bagi pihak-pihak yang berperkara

BACA JUGA: Wakil Jaksa Agung Dorong Sistem Peradilan Pidana Terpadu di Indonesia

Putusan hakim yang mencerminkan kepastian hukum dan keadilan melalui proses yang benar merupakan dambaan hamba hukum.

"Namun demikian secara empiris, banyak terjadi putusan hakim yang tidak mengindahkan ketentuan hukum acara pidana yang berlaku, yakni Pasal 197 ayat (1) UU No
1 Tahun 1981

BACA JUGA: Datangi PTUN, Masyarakat Antimafia Peradilan Minta Hakim Bersikap Independen

Pelanggarannya oleh karena itu mengundang konsekuensi putusan menjadi batal demi hukum (vide Pasal 197 ayat (2)," kata Fachmi.

Menurut laki-laki kelahiran Pariaman, September 1951 itu, penelitian disertasi ini memfokuskan terhadap masalah bagaimana implementasi konsep putusan batal demi hukum di dalam praktek peradilan pidana di Indonesia, serta bagaimana eksistensi putusan batal demi hukum dalam sistem peradilan pidana Indonesia dalam perspektif kepastian hukum dan keadilan serta tujuan hukum lainnya.

Metode yang digunakan untuk menganalisis fakta dan data dimaksud adalah yuridis normatif, yang dilengkapi dengan pendekatan empiris
Pendekatan yuridis sendiri bertumpu pada asas-asas hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, putusan pengadilan, serta hukum acara pidana dalam kerangka sistem peradilan pidana

BACA JUGA: Tak Taat Prosedur dalam Mengadili Sengketa Pilkada, MK Dinilai Membahayakan Sistem Peradilan

Tujuan penelitian disertasi ini sendiri adalah untuk mengetahui sebab-sebab empiris, mekanisme dan kriteria normatif, serta implementasi putusan batal demi hukum yang sering terjadi di dalam peradilan pidana di IndonesiaKemudian, untuk mengetahui eksistensi putusan batal demi hukum dikaitkan dengan kepastian hukum, keadilan dan tujuan hukum lainnya.

"Hasil penelitian yang diperoleh adalah, bahwa putusan batal demi hukum acap kali terjadi karena hakim telah menggunakan keyakinannya berdasarkan Pasal 183 KUHAP dan kebebasannya berdasarkan Pasal 28 UU No4 tahun 2004 secara absolut, sehingga terjadi abuse of power dan pelanggaran hukum acara pidana," ujar Fachmi.

"KUHAP tidak memberikan penjelasan dan penyelesaian atas terjadinya putusan batal demi hukum, baik berupa mekanisme perbaikan administrasi, kemungkinan upaya hukum, serta menentukan pihak-pihak siapa yang dapat menyatakan dan atau memperbaiki putusan batal dan hukumJalan keluarnya adalah, putusan batal demi hukum dapat diperbaiki dengan terlebih dahulu diajukan oleh pemohon (terdakwa atau terpidana serta penuntut umum atau penasihat hukum)," papar Fachmi pula.

"Perbaikan putusan, baik secara administrasi maupun kesalahan pemeriksaan, dapat dilakukan di tingkat pengadilan, di mana putusan itu berasal dan diperbaiki dapat oleh hakim yang sama atau hakim lain dalam segala tingkatan, termasuk ketika sudah proses peninjauan kembali," imbuhnya.

Dari hasil penelitian tersebut, Fachmi menyarankan perlu dilakukan upaya eksaminasi terhadap setiap putusan yang batal demi hukum, oleh internal badan peradilan maupun Komisi YudisialPerbaikan putusan batal demi hukum, juga agar sejauh mungkin memperhatikan aspek filosofi, yuridis dan sosiologis, sehingga memiliki koherensi etis dengan keadilan dan kepastian hukum.

"Untuk kepentingan jangka panjang, KUHAP harus segera direvisi, terutama pasal-pasal yang multitafsir dan belum memiliki penjelasan yang memadai, dengan harapan dapat mengakomodasi selain aspek kepastian hukum dan keadilan, serta tujuan hukum lainnya seperti persamaan, rasa aman, kedamaian, kebahagiaan, kepentingan dan ketertiban bersama," ungkap Bagindo Fachmi pula(fas/JPNN)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Presiden Jokowi Sebut Pandemi Bantu MA Mengakselerasi Transformasi di Lingkungan Peradilan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler