jpnn.com, MAGELANG - Kabupaten Magelang, Jawa Tengah punya daerah bernama unik, Desa Dukun di Kecamatan Dukun.
Apakah penamaan itu erat kaitannya dengan dukun?
BACA JUGA: Konon Bocah di Temanggung Itu Ditenggelamkan Sebelum Tewas, Ada Dukun dan Makhluk Gaib
Kasi Kesra Pemerintah Desa Dukun Yantyo pernah menggali informasi dari tokoh-tokoh masyarakat sekitar, salah satunya Sujadi (almarhum).
Sujadi seorang mantan Kepala Dusun Tegalsari.
BACA JUGA: Pemda Magelang Tutup Semua Tempat Wisata Selama Lebaran, Ganjar: Mudah-Mudahan Bisa Dicontoh
Yantyo teringat, Sujadi menceritakan kejadian masa lampau melibatkan dua warga.
Mereka sedang bertengkar di sebuah jalan. lalu melintas seorang musafir yang melerai.
BACA JUGA: Jemput Cabai ke Magelang, Kementan Kirim Truk Berpendingin
Si musafir meminta keduanya kudu rukun (harus rukun).
“Jadi Dukun itu singkatan, kudu rukun. Bukan yang dimaksud dukun orang pintar atau sejenisnya. Namun, kalau dulu dukun bayi memang ada, karena belum ada bidan,” katanya, seperti dilansir Radar Semarang.
Lalu, cikal bakal Dusun Dukun yang wilayah pemerintahanya berada di Desa Dukun, Kecamatan Dukun itu diyakini dari Mbah Dukut. Pihak pemdes pun menelusuri.
Ada sebuah makam dengan nisan Dukut. Sekarang makam itu terawat. “Memang ada bukti makamnya,” tuturnya.
Dusun Dukun ini bersebelahan dengan Dusun Japunan. Di kampung itu terdapat makam Mbah Potro Negoro.
Menurut sejarah masyarakat lokal, dia tokoh besar di kampung. Disebut-sebut sebagai anak buah Pangeran Diponegoro yang mengasingkan diri ke pelosok saat sang pangeran ditangkap Belanda.
“Namun, apakah Mbah Potro Negoro ini ada hubungannya dengan Mbah Dukut, sampai sekarang kami belum tahu,” kata Yantyo.
Desa Dukun yang dihuni sekitar 5.000 jiwa penduduk ini letaknya berjarak 12 kilometer dari puncak Gunung Merapi. Berada di kawasan rawan bencana (KRB) 2.
Tahun 2010, Presiden ke-6 Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono datang bermalam di tenda pengungsian, di lapangan Dukun.
Sekretaris Desa (Sekdes) Dukun Yudo Wasito menambahkan, Desa Dukun sekarang ini, dulunya ibu kota Kecamatan Dukun.
Semua aktivitas masyarakat dan perekonomian terpusat di sini. Semua perkantoran tingkat kecamatan ada di wilayah ini. Kira-kira sebelum tahun 1945. Saat Belanda masih menjajah Indonesia.
“Seiring berjalannya waktu, Kecamatan Dukun dipindah ke Desa Banyudono. Namun, namanya enggak berubah, tetap Kecamatan Dukun,” imbuhnya.
Kecamatan Dukun membawahi 15 desa. Salah satunya Desa Dukun. Terdapat 18 dusun di Desa Dukun. Salah satunya Dusun Dukun.
Maka tak heran, ada Dusun Dukun, Desa Dukun, Kecamatan Dukun, di Kabupaten Magelang. Penduduk di Desa Dukun ini memeluk agama yang cukup beragam. Mayoritas Islam. Namun, toleransinya tinggi.
Tidak pernah terjadi perselisihan antarumat beragama. Hampir semua dusun juga memiliki musala, dan masjid. Semuanya masih aktif memiliki jemaah.
Masih soal toleransi, pemdes menyatukan warga dalam sebuah kegiatan bersama. Acara tahunan. Kirab budaya. Hasil bumi diarak. Kesenian diarak. Jadi tontonan dan kebanggaan.
“Warganya juga mudah diatur, seperti diminta menerapkan protokol kesehataan Covid-19 saat di musala, atau masjid,” tutur pria 57 tahun itu.
Sementara itu, Kepala Desa Dukun Tanto Heryanto menambahkan, Dukun bukan saja soal kudu rukun. Namun, juga kudu tekun (harus rajin).
Dia tak menyalahkan jika ada orang-orang yang menduga-duga nama Dukun dikaitkan dengan profesi dukun.
“Maklum, karena di sini kan lereng Gunung Merapi, biasanya dikaitkan dengan hal mistis,” katanya.
Menurutnya, Desa Dukun adalah desa yang asri. Diapit dua sungai, Senowo dan Belan. Sawah-sawah mudah dijumpai. Pepohonan juga masih rindang.
Meski rumah-rumah penduduk sudah gedong. Jarang ditemui rumah gedek, atau berdinding anyaman bambu. Dia pun terpikir ingin membuat taman mini Desa Dukun yang asli, di dalam satu lokasi.
Kearifan lokalnya ditampilkan. Supaya jadi museum terbuka, dan daya tarik wisata. Namun, terbayang biayanya begitu besar.
Dahulu Desa Dukun tempat favorit bermukim Belanda. Mereka punya persawahan, dan perkebunan.
Sampai sekarang masih ada jembatan peninggalan Belanda yang berfungsi.
Desa ini menjadi pusat kota, karena tanahnya subur. Hasil bumi melimpah.
“Dan sampai sekarang, bertani adalah gaya hidup masyakarat. Aset lahan yang dimiliki warga kebanyakan sawah,” ujarnya.
Ia menerangkan, jika sumber mata air di sini masih banyak yang asli. Belum terkontaminasi. Warga diajak menjaga lingkungan.
Tanto menentukan hari Jumlah Kliwon sebagai hari sakral warga setempat. Seluruh warga bekerja bakti membersihkan lingkungan. Interaksi antarwarga dari kegiatan ini terbentuk.
Maka lahirnya program-program desa yang sebagian besar tercetus pada Jumat Kliwon itu.
“Masyarakat mengusulkan pembangunan saluran irigasi, jalan pertanian, dan sebagainya dari kerja bakti itu. Karena mereka yang menemukan sendiri di lapangan, apa permasalahan, dan kebutuhan di dusun mereka,” ujarnya.
Dua bulan lalu, Desa Dukun bersama sembilan desa lainnya turut mendeklarasikan Jogo Kali di bantaran Sungai Lamat.
Itu komitmen menjaga sumber mata air dari hulu ke hilir. Belum lagi, program kentongan. Semua rumah di Desa Dukun wajib memiliki minimal satu kentongan.
Alat tradisional itu dibunyikan ketika ada ancaman bahaya. Gunung Merapi meletus, atau ancaman kriminal.
“Suksesnya peringatan dini itu bukan diukur dari kecanggihan sebuah alat, tapi bagaimana peringatan itu direspon oleh warga dari anak-anak, sampai lansia,” bebernya.
Respons masyarakat itu digambarkan pada bunyi kentongan yang saling bersahutan. Jika ada satu warga membunyikan kentongan sebagai tanda bahaya, maka warga lain ikut membunyikan juga.
“Mereka sudah tahu kode bunyi tiap bahaya yang sedang terjadi,” ungkap pria yang menjabat kades dua periode itu.
Dia memastikan Dukun adalah desa aman. Baik dari ancaman radikalisme maupun paham-paham yang menyeberang dari norma agama.
"Tidak ada praktik perdukunan. Warga bersama pemdes sepakat ingin membawa desa ini beres. Yakni bermartabat, religius, sehat, dan sejahtera,” katanya. (put/bas)
Redaktur & Reporter : Adek