Tentara Rakyat

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Kamis, 14 Oktober 2021 – 13:01 WIB
Ilustrasi tentara. Foto: dok/JPNN.com

jpnn.com - Tentara milik rakyat atau milik presiden?

Kalau percaya kepada Letjen Agus Widjojo, gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), tentara itu bukan milik rakyat, tetapi milik presiden.

BACA JUGA: HUT TNI, Bamsoet Soroti Rumah untuk Tentara Hingga Ancaman Perang Ideologi

Pernyataan inilah yang sekarang bikin heboh, karena dianggap aneh dan nyeleneh. Sebaliknya, Agus mengatakan bahwa mereka yang percaya bahwa tentara milik rakyat adalah salah kaprah dan keblinger.

Kalau rakyat menjadi milik presiden, lantas siapa yang memilih presiden. Siapa yang mempunyai suara untuk memilih presiden, dan siapa yang punya daulat untuk menurunkan seorang presiden.

BACA JUGA: Serda Intan, Tentara Cantik Jago Menembak, Menangis saat Ultah

Seseorang tidak akan menjadi raja, sultan, presiden, atau apa pun namanya, tanpa ada rakyat.

Tidak akan ada sebuah negara tanpa ada wilayah, pemerintahan, dan rakyat. Syarat utama terbentuknya negara adalah adanya wilayah, lalu ada rakyat, baru kemudian ada pemerintahan.

BACA JUGA: Pembentukan Pasukan Komcad Penting Bagi Prabowo Menuju Pilpres 2024

Negara bisa dipimpin oleh raja, presiden, pemimpin agama, atau pun filsuf. Terserah sistem apa yang dipakai. Kalau percaya bahwa kedaulatan negara adalah anugerah dari Tuhan, dan Tuhan akan menurunkan wahyu atau wangsit kepada seseorang yang dikehendaki, maka negara itu akan menjadi kerajaan atau negara teokrasi.

Kalau percaya bahwa rakyat berdaulat, rakyat yang punya kekuasaan untuk menentukan siapa yang memimpin negara, maka negara itu akan berbentuk demokrasi. Kepala negara dan pemerintahan dipilih oleh rakyat, masa jabatan kepala negara dibatasi, kekuasaannya juga terbatas dan dikontrol oleh lembaga-lembaga lain.

Kita sangat sering mendengar presiden mengatakan bahwa dirinya bekerja untuk kepentingan rakyat. Ia bertugas untuk menyejahterakan rakyat. Presiden melindungi kepentingan rakyat dan menjaga keselamatan rakyat. Kepentingan rakyat ini disebut sebagai kepentingan umum atau kepentingan publik.

Ada anggapan yang beredar luas bahwa negara merupakan sebuah lembaga netral, tidak berpihak, berdiri di atas semua golongan masyarakat, dan mengabdi kepada kepentingan umum.

Dalam berbagai pidato, para pejabat mengumbar jargon-jargon itu untuk menunjukkan bahwa dirinya adalah abdi rakyat, pelayan rakyat.

Sebagian ada yang mengungkapkan hal itu secara tulus. Namun, lebih banyak lagi yang mengungkapkannya sekadar retorika dan lips service. Hal itu wajar saja dilakukan supaya rakyat merasa nyaman untuk diperintah.

Kalau rakyat percaya bahwa negara netral dan memperjuangkan kepentingan umum, maka rakyat akan taat diperintah. Sebaliknya, kalau rakyat tidak percaya bahwa negara netral, atau negara hanya melayani kepentingan golongan tertentu saja, maka rakyat akan menolak taat, dan negara pun kehilangan legitimasinya.

Karena itulah, istilah-istilah jargonis seperti ‘’demi kepentingan umum’’, ‘’pembangunan untuk seluruh masyarakat’’, ‘’negara tidak mungkin mencelakakan warganya’’, serta banyak ungkapan lain yang senada, selalu dikumandangkan para petinggi negara dalam berbagai kesempatan.

Rakyat harus pindah dari tanahnya demi kepentingan umum, atau demi kesejahteraan umum. Rakyat terpaksa dan dipaksa pindah, meskipun kompensasi untuk mengganti tanahnya tidak sepadan.

Dalam banyak kasus malah bukan ganti untung yang didapat, tetapi ganti rugi. Tanah atau rumahnya diganti, tetapi rakyat rugi karena nilainya jauh lebih rendah dari yang seharusnya.

Dalam banyak kasus lain tanah digusur begitu saja. Rakyat diusir begitu saja, meskipun ia sudah menempati tanah itu berpuluh tahun secara turun-temurun.

Tiba-tiba saja ada perusahaan real estat yang sudah punya selembar surat sertifikat, dan dengan serta merta rakyat diminta segera meninggalkan tanahnya.

Kalau rakyat paham hak-haknya, seperti kasus Rocky Gerung, dia bisa melawan. Namun, kalau rakyat buta huruf seperti Ari Tahiru, maka ia akan pasrah saja, atau akan melawan tetapi sia-sia.

Orang boleh berdebat, Ari Tahiru buta huruf atau tidak, yang jelas dia buta akan hak hukum dan politiknya, karena sengaja dibutakan oleh kekuatan dan kepentingan besar.

Kekuasaan negara bisa membubarkan organisasi secara paksa tanpa pengadilan, karena dianggap menggangu kepentingan umum dan tidak sesuai dengan azas dan tujuan negara. Kepentingan-kepentingan anggota masyarakat disebut sebagai ‘’kepentingan kelompok’’ yang bersifat sektarian, sedangkan kepentingan negara selalu merupakan ‘’kepentingan umum’’ yang bersifat nasional.

Ketika negara membangun sirkuit megah di Mandalika, hal itu disebut untuk kepentingan umum yang bersifat nasional. Sirkuit itu harus selesai dibangun sesuai jadwal. Rakyat yang tanahnya digusur harus rela minggir, karena kalau tidak, dia akan dianggap menghalangi kepentingan umum.

Upaya rakyat untuk mempertahankan haknya bisa berujung di penjara, karena negara punya kekuasaan mutlak untuk memenjarakan siapa saja yang dianggap menghalang-halangi kepentingan negara.

Bukan hanya memenjarakan rakyatnya, bahkan negara punya kekuasaan untuk mencabut nyawa rakyatnya melalui penerapan hukuman mati.

Banyak sekali contoh konkret yang menunjukkan bahwa jargon ‘’demi kepentingan umum’’ dan ‘’demi pembangunan nasional untuk segala lapisan masyarakat’’ dipakai sebagai justifikasi untuk memaksa seseorang, atau sekelompok warga, agar bersedia mematuhi keinginan negara.

Rakyat harus tunduk dan patuh tanpa protes, karena negara bertindak bukan untuk kepentingan negara melainkan umum. Negara adalah pelaksana netral, tidak berpihak, dari kepentingan umum ini.

Sebaliknya, warga bertindak untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Karena itu, warga harus mengalah kepada kepentingan yang lebih besar yang diwakili oleh negara.

Ideologi negara netral dan berdiri di atas semua golongan merupakan ideologi yang ampuh bagi keabsahan berkuasanya sebuah negara. Keabsahan ini sangat perlu, karena kekuasaan yang diberikan kepada negara amatlah besar.

Negara bukan saja bisa mengeluarkan undang-undang apa saja yang mengikat warga negara, melainkan juga berhak menggunakan kekerasan untuk menghukum siapa saja yang tidak mematuhi aturan negara.

Kekuasan negara luas dan tidak terbatas. Sosiolog Max Weber mendefinisikan negara sebagai lembaga kemasyarakatan yang memiliki monopoli hukum, untuk menggunakan kekerasan fisik di suatu wilayah tertentu.

Kekuasaan negara yang mutlak tak terkontrol akan melahirkan kekuasaan yang korup dan otoriter. Karena itu harus ada kontrol terhadap kekuasaan itu.

Kalangan pluralis percaya bahwa negara adalah netral dan bertindak atas kepentingan semua warga negara. Namun, kalangan marxis meyakini bahwa negara adalah alat kelompok tertentu untuk mencapai kepentingan kelompoknya. Negara dipakai alat oleh kelas tertentu untuk mengeksploitasi kelas lainnya.

Negara lebih sering berpihak kepada kelas pemodal dan pengusaha. Atas nama kepentingan umum, para pemodal itu berkolaborasi dengan negara, yang menggunakan kekuatan koersif untuk mengusir dan menghukum rakyat atas nama kepentingan umum.

Karena itu negara harus dikontrol. Karena itu ada konsensus nasional untuk menyepakati sistem negara dan pemerintahan. Indonesia sudah sepakat untuk menerapkan sistem demokrasi yang berlandaskan kepada daulat rakyat. Pemilik kedaulatan tertinggi adalah rakyat, bukan kepala negara atau presiden.

Presiden adalah kepala pemerintahan sebagai unsur negara. Tidak akan ada negara tanpa rakyat, wilayah, dan pemerintahan. Tidak akan ada pemerintahan tanpa ada mandat yang diberikan oleh rakyat. Tidak akan ada presiden tanpa mandat dari rakyat.

Presiden bisa membentuk semua alat kelengkapan pemerintahan atas mandat rakyat. Presiden punya hak preogratif mengangkat menteri dan pejabat atas mandat rakyat. Presiden boleh membentuk alat kelengkapan pertahanan dan keamanan atas mandat dari rakyat.

Tentara dan polisi tidak bisa terbentuk tanpa mandat dari presiden. Seorang presiden tidak akan punya mandat, kecuali diberikan oleh rakyat. Inti demokrasi adalah daulat rakyat, bukan daulat presiden. (*)

 

Jangan Lewatkan Video Terbaru:


Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler