Terbuka saja, Apa Tugas Wakil Rakyat dan Berapa Uangnya

Senin, 11 Maret 2019 – 00:57 WIB
Sejumlah alat peraga kampanye para caleg di simpang jalan KH. Abdulah Bin Nuh Kota Bogor. Foto: Hendinovian /Radar Bogor

jpnn.com,  BALIKPAPAN - Calon pemilih di sejumlah lokasi tertentu memanfaatkan momen pemilu untuk mencari keuntungan pribadi dan kelompok dari para caleg.

Memang tidak semua calon pemilih seperti itu, namun para caleg sadar, dinamika ini ada di masyarakat. “Waktu saya dulu kampanye Pemilu 2009 tak ada itu ‘tawaran’ dari calon pemilih,” kata Puji Astuti, salah satu caleg kepada Kaltim Post (Jawa Pos Group).

BACA JUGA: Kemendagri Ajak Masyarakat Ikut Menjaga Netralitas ASN

Kode seperti “ibu enggak kumpulkan KTP kah?” atau “ibu perlu berapa suara?” dijumpainya. Jadi indikasi jebakan politik uang yang ditemui Puji selama berkampanye. Tapi baginya hal tersebut adalah efek dari pemilu periode sebelumnya.

“Memang tak semua caleg seperti itu (berpolitik uang). Kalau saya terbuka saja. Apa tugas wakil rakyat. Dan berapa uangnya. Edukasi yang benar juga penting kepada calon pemilih,” katanya.

BACA JUGA: Lah, Ada Potensi 25 Juta Warga Ragukan Netralitas KPU

BACA JUGA: Broker Suara Pemilu 2019 Sudah Bergerak

Slamet Iman Santoso pun juga pernah berhadapan dengan calon pemilih dengan karakter bayar suara di muka. Dilakukan secara terbuka dan langsung. Tapi dari pengalamannya, kondisi ini bisa dihindari dan diperbaiki. Dengan berterus terang dan memberikan pembelajaran politik yang baik.

BACA JUGA: Ingat Pesan Pak JK: Masjid Harus Dimakmurkan, Bukan untuk Kampanye

“Mereka sudah terbiasa dari era (pemilu) sebelumnya. Dan menjadi tugas saya untuk memberikan pemahaman yang benar. Termasuk kenyataan soal pendapatan yang diterima wakil rakyat,” imbuh pria yang juga caleg ini.

Sementara bagi Nazaruddin, jual-beli suara antara caleg dengan calon pemilih tak dimungkiri ada di beberapa kantong suara. Kondisi ini disebutnya ibarat pedagang dan pembeli. Ada unsur transaksi. Tapi tak dibenarkan, karena yang dibeli belum tentu ada.

“Jangan sampai hanya karena pemilu situasi ini merusak hubungan (antara caleg dengan calon pemilih) ke depan yang harus tetap ada,” ujarnya.

Selain pemilihan presiden, anggota DPR maupun DPRD, pemilu 17 April 2019 juga memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Lembaga utusan daerah ini kebanyakan berasal dari pengusaha, akademisi ataupun warga yang lepas dari keanggotaan partai politik. Salah satu calonnya adalah Rektor Universitas Balikpapan (Uniba), Piatur Pangaribuan.

Baginya punya satu reklame sudah cukup untuk memberi informasi kepada publik jika dirinya maju sebagai calon DPD dari Balikpapan. Selebihnya dia bermain di media-media lain.

Piatur juga lebih banyak meluangkan waktunya untuk bertatap muka dengan warga. Maklum, dia punya target 100 ribu suara. Namun sebagai akademisi, dirinya lebih menyukai pertemuan dalam bentuk forum diskusi.

Membahas isu kekinian, hangat dan langsung mengarah ke pokok persoalan yang dihadapi Balikpapan. “Pun lebih banyak ke organisasi atau lembaga sosial masyarakat yang paham dan sesuai dengan tema diskusi. Jadi bisa lahir sebuah pandangan hingga solusi,” sebutnya.

Kesempatan meraih suara dari calon pemilih kalangan partai politik (parpol) baginya juga terbuka lebar. Meski independen, namun kesempatan bisa datang ketika ada visi dan misi yang sama. Sehingga dirinya juga banyak berinteraksi ke parpol. “Asal tahu batas. Mana kepentingannya jangan sampai masyarakat mencap kami (DPD) juga bagian parpol,” tuturnya.

BACA JUGA: Ayah Angkat Jokowi: Kalau Gak Mau Pilih Tak Masalah, Asal Jangan Fitnah Dia

Sebelumnya, tim riset Kaltim Post melakukan jajak pendapat pada 26-27 Februari lalu. Tajuknya, seberapa efektif gaya kampanye Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Yang masih menerapkan cara lama. Reklame berupa baliho dan spanduk memenuhi sejumlah titik jalan di semua daerah di Kaltim. Bahkan cenderung merusak estetika kota.

Hasilnya pada 28 Februari lalu, 71,43 persen pembaca yang mengikuti jajak pendapat menyebut reklame sudah tidak efektif sebagai metode kampanye. Sementara 28,57 persen mengatakan kurang efektif. Tak ada yang menyebut metode ini efektif alias nol persen.

Pengamat politik dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Lutfi Wahyudi masih menganggap reklame efektif sebagai bentuk kampanye bagi kalangan tertentu. Yakni mereka yang jarang berinteraksi dengan media. Baik media massa atau media sosial. Seperti di pedesaan atau wilayah terpencil lainnya. Yang tak terjangkau teknologi kekinian.

Sementara menurut pengamat politik dari Unmul lainnya, Sonny Sudiar dengan gamblang menyebut reklame sebagai bentuk kampanye hanya buang-buang uang alias boros.

Tak akan efektif menggaet suara pemilih. Penelitiannya, alat peraga kampanye (APK) model ini hanya bisa mengangkat lima persen suara. (rdh/rom/k18)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Diperiksa Bawaslu, Ketua Panitia Capgome Krendang Bantah Ada Kampanye


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler