Terkait PP Pengupahan, Jokowi-JK Dianggap tak Berpihak ke Buruh

Sabtu, 31 Oktober 2015 – 08:00 WIB
Buruh. Foto: dok.JPNN

jpnn.com - JAKARTA - Penetapan formula upah buruh terus menjadi polemik, terutama menjelang penetapan upah minimum pekerja (UMP) November nanti. Pihak buruh terus mengadakan aksi agar pemerintah mengembalikan sistem perumusan UMP dalam negosiasi. Namun, pemerintah tegas mempertahankan kebijakan baru tersebut dengan alasan menghindarkan Indonesia dari gelombang PHK besar-besaran.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Gani Nena Wea mengatakan, pihaknya kembali mengadakan aksi penolakan peraturan pemerintah nomor 78 2015 kemarin (30/10). Aksi yang tergabung dalam elemen Gerakan Buruh Indonesia (GBI) tersebut mengerahkan 60 ribu massa untuk menyerbu istana negara.

BACA JUGA: Terkesan dengan Sungai yang Mengalir di Dekat Kamar

"Sikap dari GBI merupakan reaksi buruh terhadap pemerintah Jokowi-JK yang tidak menunjukkan keberpihakan terhadap nasib kaum buruh," ujarnya.

Dia menegaskan, penerapan formula terhadap upah para buruh di setiap tahun bakal menghilangkan hak suara para buruh dalam menentukan imbalan yang dirasa pantas. Apalagi, hal tersebut sudah ditentukan dalam undang-undang ketenagakerjaan.

BACA JUGA: Benny Harman Anggap Pansus Pelindo II Tidak Ada Apa-apanya

"Sudah jelas dalam undang-undang nomor 13 2003 pasal 89 ayat 3. Upah minimum ditetapkan oleh Gubernur dan diusulkan oleh dewan pengupahan, bupati, atau walikota. Tapi, PP ini malah melanggar undang-undang tersebut," jelasnya.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar menilai bahwa kebijakan pemerintah masih bertabrakan. Salah satunya, perumusan komponen hidup layak (KHL) setiap lima tahun sekali. Padahal, formula yang dirumuskan pemerintah tak memasukkan aspek KHL.

BACA JUGA: Lima Rumah Singgah untuk Korban Asap "Banjir" Fasilitas

"Buat apa penentuan KHL kalau harus formulanya sudah menetapkan besaran upah setiap tahun," ungkapnya.

Sementara itu, Direktur Pengupahan Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PHI dan Jamsos) Kementerian Ketenagakerjaan Andriani mengatakan, kebijakan tersebut meruapakan jalan terbaik untuk mengatasi situasi saat ini. Pasalnya, pemerintah juga harus memperhatikan jumlah pencari kerja yang mencapai 7,4 juta jiwa.

"Saat ini fokus kami untuk menciptakan kesempatan kerja sebanyak-banyaknya. Sampai saat dimana lowongan lebih banyak daripada SDM yang ada. Di saat itulah, daya tawar buruh bakal lebih tinggi," ungkapnya.

"Rumus yang saat ini kami buat juga sudah diperhitungkan masak-masak. Kami menggunakan PDB nasional karena menggunakan acuan ekonomi daerah rawan turun. Siapapun pasti tak ingin gajinya turun," jelasnya.

Hal tersebut pun disetujui oleh pengamat ekonomi Universitas Indonesia Dr Padang Wicaksono. Menurutnya, PP Pengupahan bisamemastikan upah pekerja naik setiap tahun dengan upah minimum tahun berjalan, tingkat inflasi dan angka pertumbuhan ekonomi nasional sebagai dasar kenaikan.

Disamping itu, perusahaan berkewajiban membuat struktur dan skala upah yang menjadi basis dialog bipartit antara pekerja dan pengusaha dalam suatu perusahaan.

"Sejak era reformasi, baru di era sekarang ini berhasil disusun formula pengupahan yang menguntungkan pekerja, calon pekerja dan pengusaha. Sekaligus, mendorong dialog sosial pekerja-pengusaha melalui forum bipartit," tegasnya. (bil)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Cieee...Dari KMP, Cuma Gerindra yang Raih Pujian Bang Uchok


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler