‘Terkun’ Terawan

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Minggu, 27 Maret 2022 – 20:35 WIB
Terawan Agus Putranto. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Terawan Agus Putranto. Begitu seharusnya nama itu ditulis, tanpa embel-embel gelar dokter maupun dokter spesialis yang disandangnya selama ini.

Muktamar ke-31 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) memerintahkan pemecatan terhadap Terawan Agus Putranto dari keanggotaan organisasi profesi pimpinan dr. Adib Khumaidi itu.

BACA JUGA: Muktamar IDI Dorong Pemecatan Terawan Agus Putranto

Ibarat vonis pengadilan, keputusan ini seperti hukuman seumur hidup atau hukuman mati.
Dengan pemecatan itu, Terawan tidak akan bisa lagi berkarier sebagai dokter. Semua izin praktiknya tidak akan lagi bisa diperpanjang.

Ini adalah ending perseteruan panjang Terawan dengan IDI. Dalam sejarah medis Indonesia, sudah banyak bermunculan dokter-dokter kontroversial, tetapi belum pernah ada yang sekontroversial Terawan.

BACA JUGA: Saleh Daulay Heran IDI Jadikan Muktamar Sebagai Forum Kotor Memecat dr Terawan

Dulu, pada dekade 1980-an semasa Orde Baru, ada dr. Gunawan Simon yang dijuluki sebagai ‘’terkun’’ alias dokter dukun.

Dia bukan dokter spesialis, tetapi punya kemampuan istimewa menyembuhkan berbagai macam penyakit dengan ramuan obat-obatannya yang khas.

BACA JUGA: Rahmad Handoyo PDIP Minta IDI Hentikan Drama, Terawan Aset Nasional

Tempat praktiknya di Bandung penuh oleh antrean pasien. IDI meragukan ramuan obat-obatan yang dibikin oleh Gunawan.

Ada kecurigaan Gunawan tidak sekadar praktik sebagai dokter medis tetapi juga menerapkan ilmu supranatural. Dia pun mendapat julukan sebagai terkun alias dokter dukun.

Namanya kondang di mana-mana. Zaman itu tidak ada viral, tetapi semua media memberitakan namanya karena keberhasilannya dengan praktik unik itu.

Bukan hanya orang-orang awam, rakyat jelata, yang mengantre di tempat praktiknya. Pejabat-pejabat tinggi negara datang berobat kepadanya, dan ternyata sembuh.

Salah satu kisah terjadi pada 1984 sebagaimana dilaporkan Majalah Tempo.

Wakil Presiden Adam Malik yang menderita kanker datang berobat ke klinik Gunawan.

Adam Malik menderita kanker lever stadium empat yang sulit disembuhkan.

Sebagai Wakil Presiden, Adam Malik memperoleh layanan kesehatan VVIP dari dokter kepresidenan dengan kualitas yang terpilih, tetapi penyakitnya tidak kunjung sembuh.

Wapres yang sering dijuluki sebagai ‘’Si Bung’’ ini sempat berobat ke sebuah rumah sakit kanker terkenal di London, Inggris.

Sebagai mantan menteri luar negeri Si Bung tentu punya koneksi luas di pergaulan internasional dan mendapat layanan istimewa dari rumah sakit itu.

Setelah opname beberapa hari Si Bung kembali ke Indonesia, meskipun kondisinya belum benar-benar bugar.

Lima hari setiba di Indonesia kondisi tidak membaik. Si Bung sudah mendengar nama Gunawan Simon si terkun, dan kemudian berinisiatif datang ke kliniknya secara diam-diam.

Pada sebuah sore Mei 1984, Si Bung diantar oleh keponakannya bertolak menuju Jalan Bima 76 Bandung, tempat praktik Gunawan Simon.

Malam itu, seperti biasanya, pasien antre mengular, tetapi tidak ada yang tahu bahwa di bilik periksa kecil berukuran 3 x 2,5 meter itu Gunawan sedang memeriksa orang nomor dua di Indonesia.

Setelah mengecek kondisi pasien, Gunawan menawarkan metode terapi alternatif. Wapres Adam Malik mengangguk setuju.

Dua kali mengunjungi klinik Dr. Gunawan Simon, kondisi Adam Malik membaik dengan sangat signifikan.

Dia menjadi lebih bugar dan bisa bekerja kembali seperti sedia kala. Dua bulan pascaterapi Dr Gunawan, kondisi Adam Malik makin bugar.

Pada Agustus 1984, Adam Malik merasa fit dan segar sehingga oleh Pak Harto diizinkan untuk melakukan kunjungan kerja ke Hongkong dan Tokyo.

Di Jepang, Adam Malik berbicara kepada media massa dan dengan terbuka memuji kehebatan Dr Gunawan Simon.

Namun, nahas tidak bisa ditolak. Pada September 1984, sebangun dari tidur, Adam Malik merasa sesak napas dan badannya lemas.

Tim kesehatan Istana yang memberi pertolongan gagal menyelamatkannya. Adam Malik meninggal karena serangan jantung pada usia 67 tahun.

Dengan riwayat kesehatan yang banyak mengalami kompleksitas penyakit, kematian akibat serangan jantung adalah hal yang wajar. Itu pula yang terjadi kepada Adam Malik.

Namun, kepergian Adam Malik membawa dampak buruk kepada Dr. Gunawan Simon. Ketika kabar kesembuhan Adam Malik menyebar ke publik, Simon dipuja-puji dimana-mana.

Namun, setelah Adam Malik meninggal, publik langsung berbalik mencaci-maki dan mempertanyakan metode pengobatannya.

Julukan terkun pun kembali muncul di publik.
Pada Februari 1985, IDI Bandung memanggil dan menyidang Dr Gunawan.

Dia dianggap bersalah karena memberikan obat secara langsung kepada pasien dan tidak bisa menjelaskan ramuannya secara medik-ilmiah, termasuk resep yang diberikannya kepada Adam Malik.

Gunawan Simon divonis bersalah, dan menteri kesehatan atas saran IDI mencabut izin praktik Gunawan Simon.

Plakat praktik di rumahnya diturunkan, Gunawan Simon bukan lagi seorang dokter, tetapi pasien-pasiennya masih tetap setia kepadanya dan tetap datang mengantre minta diobati.

Apa yang dialami Gunawan Simon sekarang dialami oleh Terawan. Kisahnya berbeda tetapi benang birunya sama.

Ada prosedur medik yang tidak dilalui sesuai standar praktik kesehatan, meskipun hasilnya sangat baik.

Terawan menjadi direktur RSPAD dengan pangkat letjen dan kemudian diangkat sebagai dokter kepresidenan.

Metode pengobatan brainwash alias cuci otak yang diterapkan Terawan sudah terbukti manjur dan bisa menyembuhkan pasien-pasien dengan berbagai penyakit kronis.

Terawan mulai memperkenalkan inovasi itu sejak 2004 dan mulai banyak peminat pada 2010.

Cuci otak adalah istilah lain flushing atau Digital Substraction Angiography (DSA) yang dilakukan untuk melancarkan peredaran darah di kepala.

Cara ini diklaim berhasil menangani berbagai pasien yang mengalami stroke. Terawan mengeklaim 40 ribu pasien telah mencoba pengobatannya.

Pasien harus mengantre tahunan untuk bisa mendapatkan perawatan unik ini. Hampir semua orang elite dan pejabat tinggi di Indonesia sudah pernah merasakan hasil terapi Terawan, dan mereka semua mengakui kehebatannya.

Tidak ada efek samping yang negatif. Mereka yang mendapatkan terapi Terawan merasa puas dan bugar. Bisa jadi, Presiden Jokowi juga pernah menjalani terapi brainwash Terawan.

Namun, IDI tidak setuju dengan metode pengobatan ala Terawan dan minta supaya praktik itu dihentikan, tetapi Terawan mengabaikannya.

Pada 2015, IDI memecat Terawan dari keanggotaan karena menganggap Terawan membangkang.

IDI merasa terapi cuci otak menggunakan alat DSA yang dilakukan Terawan belum teruji secara ilmiah.

Selain itu, Terawan juga melakukan publikasi dan promosi masif dengan klaim kesembuhan di media.
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI kemudian memanggil Terawan untuk dimintai keterangan.

Namun, Terawan dianggap tidak kooperatif karena tidak memenuhi panggilan tersebut sejak diusut pada 2015. Terawan memilih absen dalam sidang pertama pada pada 5 Januari 2015.

Ketika Bu Sudjiatmi Notomihardjo sakit, Terawan yang dipercaya merawat ibunda Presiden Jokowi itu.

Hubungan profesional yang dekat menjadi makin dekat.

Inilah yang kemudian disebut-sebut sebagai salah satu alasan Jokowi  mengangkat Terawan menjadi menteri kesehatan pada 2019.

Penunjukan Terawan tersebut pun menuai penolakan dari IDI yang melayangkan surat penolakan ke Jokowi.

IDI mempersoalkan pelanggaran kode etik terkait terapi cuci otak yang dilakukan Terawan.

Jokowi pun diminta membatalkan pengangkatan Terawan, tetapi protes itu diabaikan.

Terawan hanya bertahan setahun menjadi menteri kesehatan.

Pagebluk Covid-19 pada awal 2020 menjadi bencana bagi Terawan.

Dia dianggap gagal merespons pandemi itu dan akhirnya menjadi korban reshuffle.

Terawan dicopot digantikan oleh Budi Gunadi Sadikin yang tidak punya latar belakang medis.

Terawan tidak menyerah. Dia kembali menemukan ‘’formula ajaib’’ dalam bentuk vaksin anti-Covid yang dinamai ‘’Vaksin Nusantara’’.

Sama dengan metode brainwash temuannya, vaksin ini dianggap lebih cocok dengan kondisi orang Indonesia.

Vaksin ini juga diklaim sebagai ‘’made in Indonesia’’, meskipun beberapa komponennya dibuat di Amerika Serikat.

Jokowi yang biasanya mengampanyekan ‘’Bangga Buatan Indonesia’’ kali ini tidak terkesan oleh temuan Terawan. Jokowi tidak meng-endorse temuan Terawan meskipun banyak elite politik yang meng-endorse-nya.

Pemecatan itu seolah menjadi paku bagi peti mati Terawan. Dia terkubur tanpa mendapatkan perlindungan politik yang memadai. Sampai sekarang Vaksin Nusantara sudah tidak terdengar lagi ceritanya, hilang terkubur oleh vaksin-vaksin impor yang membanjiri Indonesia. (*)


Redaktur : Boy
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler