Oalah, Jadi ini Penyebab Tabung Oksigen dan Susu Berlogo Beruang Langka

Rabu, 07 Juli 2021 – 13:21 WIB
Terjadi kelangkaan tabung oksigen akibat melonjaknya jumlah warga positif COVID-19 di Surabaya. Ilustrasi Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Tabung oksigen dan susu beruang beberapa hari terakhir langka di pasaran.

Penyebabnya, antara lain karena pembelian impulsif atau panic buying dari sejumlah masyarakat.

BACA JUGA: Hamdalah, Pasien COVID-19 yang Dirawat di Wisma Atlet Berkurang Lumayan Banyak

Mereka panik sehingga mengambil keputusan secara emosional.

Menurut psikolog klinis dewasa dari Universitas Indonesia Mega Tala Harimukthi, panic buying merupakan gejala psikologi dan bisa dihindari.

BACA JUGA: RS Penuh Akibat COVID-19, Ruang Isolasi di Desa Jadi Solusi

Salah satu kiatnya, kembali ke akal sehat dan hati nurani.

Merujuk pada kelangkaan tabung oksigen karena diburu orang seiring meningkatnya angka kasus COVID-19, cobalah kembali memahami siapa saja yang sebetulnya membutuhkan alat ini, khususnya di tengah pandemi COVID-19.

BACA JUGA: Gegara COVID-19 Mengganas Pilkades Terpaksa Ditunda Hingga 2025

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, pasien COVID-19 yang membutuhkan terapi oksigen ialah mereka dengan gejala berat dan kritis, juga orang dengan gangguan pernapasan.

Sementara pasien tanpa gejala atau bergejala ringan bisa terus memantau saturasi oksigen di dalam darah menggunakan pulse oximeter.

Angka saturasi dikatakan normal bila menunjukkan kurang lebih sama dengan 95 persen.

Apabila saat diukur angka menunjukkan di bawah 95 persen, pasien disarankan berkonsultasi dengan dokter untuk mendapatkan rekomendasi medis.

"Saya sarannya, pertama kembali ke akal sehat, hati nurani. Kalau merasa diri sehat (tidak mempunyai penyakit bawaan yang membutuhkan tabung oksigen, enggak punya asma misalnya, sakit jantung dan penyakit lain yang berhubungan dengan pernapasan), tidak perlu memborong tabung oksigen," ujar Tala beberapa waktu lalu.

Menurut Tala, dalam hal ini orang-orang yang mempunyai kapasitas ilmu medis khususnya terkait COVID-19 atau bahkan pihak media, bisa berperan mengedukasi masyarakat.

Misalnya, dalam bentuk infografis.

Dalam infografis itu bisa digambarkan siapa saja yang membutuhkan terapi oksigen dan bagaimana orang mendapatkan tabung oksigen.

Selain itu, pemanfaatan media sosial misalnya TikTok, Instagram dan lainnya juga bisa dicoba sebagai sarana penyampai informasi.

"Bentuk edukasi yang mudah dipahami bisa infografis, sekarang ada TikTok yang bisa menjadi sarana penyampai informasi, Instagram."

"Pokoknya memanfaatkan banyak media untuk mengedukasi masyarakat bahwa tidak perlu panic buying yang sampai merugikan orang lain," ujar Tala.

Bagi yang memiliki kecenderungan cemas sehingga berisiko panic buying akibat Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) atau segala kebijakan pembatasan kegiatan di luar rumah, bisa mencatat daftar kebutuhan dan membelinya sesuai daftar.

Tala menyarankan untuk mempertimbangkan barang yang akan dibeli hanya sesuai kebutuhan.

Hal ini juga berlaku saat melihat orang mengunggah daftar belanjaannya.

Pikirkan kembali barang yang orang lain beli, membutuhkannya atau tidak.

Hal ini untuk menghindari mengambil keputusan secara emosional dan impulsif.

"Pertimbangkan sebelum belanja apakah benar-benar membutuhkan barang yang akan dibeli itu. Kalau ada orang lain yang beli, belum tentu kita butuhkan. Balik ke kesadaran sendiri untuk belanja," kata dia.

Bila merasa tidak nyaman hingga membuat cemas dan panik dengan pemberitaan yang ada di televisi atau media lain, Tala menyarankan sebaiknya berhenti mengaksesnya.

Sebisa mungkin, kendalikan diri dalam menerima informasi yang masuk.

Menurut Tala, di kondisi saat ini informasi yang datang bisa sangat banyak baik itu valid atau justru hoaks.

"Kita tidak bisa berharap orang lain akan terus mengingatkan, tetapi harus sadar bahwa sudah mulai capek dengan pemberitaan ini, membuat tidak nyaman dan jadinya cemas."

"Mundur dulu, istirahat dulu, ganti dulu tayangan media yang biasa dilihat supaya bisa lebih rileks," katanya.

Bagi yang sudah terlanjur mengalami panic buying, mungkin saja bisa tersadar.

Biasanya, saat melihat barang-barang yang dibeli tidak terpakai muncul pikiran, 'ngapain beli sampai diborong semua'.

Ketika sudah sadar, peran orang terdekat untuk membantu mengingatkan untuk tak perlu memborong, membeli produk yang sebetulnya tak diperlukan.

"Kalaupun mau preventif, tidak perlu sampai harus memborong, cukup beli sesuai kebutuhan," demikian pesan Tala.

Hal senada diungkapkan psikolog yang berfokus pada masalah kecemasan dan isu terkait di Macquarie University, Melissa Norberg.

Dia yang pernah melakukan penelitian mengenai panic buying di Australia, salah satunya pada produk tisu toilet menyarankan orang-orang memikirkan sejenak barang apa yang benar-benar dibutuhkan sebelum membelinya.

Berpegang teguh pada daftar belanjaan dan ingatkan diri tentang apa yang sudah dimiliki di rumah dapat membantu mengurangi dorongan untuk memborong suatu produk atas alasan berjaga-jaga.

Menimbun barang misalnya tisu toilet tidak berarti seseorang akan merasa lebih baik.

"Jika melihat orang lain melakukannya dan rak kosong, tetap berpegang pada daftar apa yang dibutuhkan dan ingat kan diri bisa melewatinya," ujar dia seperti dikutip dari ABC News, Rabu.

Menurut Norberg, mereka yang paling mungkin panic buying sudah memiliki kecemasan tentang kesehatan pribadi, menganggap produk tertentu akan langka serta melihat orang lain panic buying.

Dosen psikologi dari University of the Sunshine Coast, Jacob Keech dan rekannya, Karina Rune juga mempelajari fenomena panic buying.

Mereka juga menemukan ketakutan kekurangan produk menjadi sebagian alasan sebagian orang mengantre di toko-toko seperti Coles and Woolworths di Australia setelah lockdown diumumkan.(Antara/jpnn)

Video Terpopuler Hari ini:


Redaktur & Reporter : Ken Girsang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler