jpnn.com - Kaisar Alexander Agung atau Alexander The Great adalah penguasa dunia pada masanya.
Pada suatu hari ia menangkap bajak laut yang mengganggu kapal-kapal dagang yang berlayar. Alexander menginterogasi pemimpin bajak laut, ‘’Mengapa kamu mengacau keamanan di laut ini?’’ Si bajak laut menyergah, ‘’Lalu mengapa kamu mengacau keamanan di seluruh dunia?
BACA JUGA: Bajak Laut Bikin Resah, Harta dan Nyawa Nelayan Terancam, Polres Kayong Utara Langsung Bergerak
Pemimpin bajak laut itu melanjutkan, ‘’Hanya karena menjarah dengan kapal kecil, saya disebut sebagai pencuri. Sementara kamu, yang mengobarkan perang di seluruh dunia dengan armada laut yang dahsyat, disebut sebagai kaisar?’’
Kisah bajak laut versus Kaisar Alexander Agung itu terjadi kira-kira 300 tahun sebelum Masehi, tetapi gaungnya terasa sekarang. Setidaknya, relasi kuasa internasional yang timpang dan tidak adil itu berlanjut sepanjang masa sampai sekarang.
BACA JUGA: Bajak Laut Merompak Nelayan Pulau Karimata, Pakai Senjata Api, Gunakan Kapal 4 SilinderÂ
Kaisar modern sekarang dengan enteng memberi label teroris kepada organisasi yang mengganggu kepentingan geopolitiknya. Padahal para kaisar itu mengobarkan perang di banyak penjuru dunia dan membunuh ratusan ribu orang dengan persenjataan yang canggih.
Sang kaisar disebut sebagai pahlawan penjaga keamanan dunia, dan rakyat yang melawan dan memperjuangkan hak-haknya disebut sebagai bajak laut dan teroris.
BACA JUGA: MUI dan Terorisme
Ilmuwan sosial Amerika Serikat Avram Noam Chomsky menceritakan kisah kaisar dan bajak laut itu dalam bukunya yang masyhur ‘’The Pirates and Emperors’’ (2003) yang mengupas kebijakan perang melawan teror yang dikobarkan Amerika Serikat ke seluruh dunia pascaserangan WTC 11 September 2001.
Perang melawan teror dikumandangkan oleh George Bush Jr dengan komando tunggal ‘’either you are with us or against us’’, Anda ada di barisan kami atau menjadi musuh kami. Tidak ada pilihan, seluruh dunia harus berbaris di belakang komando Amerika dengan George Bush Jr sebagai panglima tertinggi.
Perang melawan teror kemudian dianggap sama saja dengan perang melawan Islam. Bush memburu Usmah bin Ladin ke Afghanistan. Bin Ladin dianggap sebagai tokoh di balik serangan terhadap WTC.
Amerika juga memburu Saddam Hussein ke Irak dengan tuduhan menyimpan senjata penghancur massal, weapons of mass destruction (WMD). Pasukan Amerika menggempur Baghdad dan menjatuhkan kekuasaan Saddam yang kemudian ditangkap dan dihukum mati.
Bush berhasil menjatuhkan Saddam Hussein yang menjadi musuh bebuyutan keluarganya. Namun, Bush tidak berhasil menemukan WMD di Irak. Dicari sampai ke lubang semut pun WMD tidak ditemukan. Bush memakai alasan itu hanya untuk melegitimasi serangan balas dendam.
Karena WMD tidak ditemukan, maka Amerika dengan enteng menyatakan salah perhitungan dan meminta maaf. Urusan selesai. Namun, Irak sudah telanjur luluh lantak. Politik internal kacau balau dan ekonomi berantakan.
Amerika menjadi pemenang tunggal, menguasai politik dan menguasai ladang-ladang minyak di Irak.
Perang melawan teror disebarkan ke seluruh dunia. Amerika mendanai perang besar itu dengan uangnya yang tidak terbatas. Namun, pampasan perang yang didapat jauh melampaui biaya yang dikeluarkan.
Perusahaan minyak Amerika Halliburton menjadi penguasa ladang minyak di Timur Tengah. Dick Cheney, mantan wakil presiden George Bush Jr, pernah menjadi CEO perusahaan minyak itu.
Di mata Chomsky Amerika adalah ‘’the real international terrorist’’, teroris internasional yang sesungguhnya. Di mata Chomsky organisasi teror yang berbahaya bukan Alqaidah atau ISIS seperti yang disebutkan Amerika.
Di mata Chomsky organisasi teror terbesar dunia adalah Partai Republik Amerika.
Amerika mengeklaim diri sebagai kampiun demokrasi dan mendukung pelaksanaan demokrasi di seluruh dunia. Chomsky tidak percaya dengan klaim itu. Menurut Chomsky, Amerika mendukung demokrasi di seluruh dunia selama berkesesuaian dengan kepentingan geopolitiknya.
Amerika tidak akan membiarkan pemilihan demokratis memenangkan rezim yang bakal mengancam dominasi dan hegemoninya.
Hasil pemilihan umum di Mesir yang memenangkan Ikhwanul Muslimin dibatalkan. Pun pula pemilihan umum di Palestina yang tidak memperbolehkan Hamas ambil bagian.
Kemenangan partai Islam FIS di Aljazair juga dibatalkan oleh kudeta tentara yang mendapat dukungan Amerika. Operasi yang sama dilakukan Amerika untuk menggulingkan rezim demokratis hasil pemilu di Iran, Guatemala, Chile.
Chomsky adalah seorang profesor linguistik. Dia melihat kebijakan dalam negeri dan luar negeri Amerika dari sudut pandang dekonstruksi bahasa (linguistic deconstruction). Apa yang secara formal dikatakan oleh Amerika didekonstruksikan oleh Chomsky sehingga yang terjadi adalah sebaliknya.
Amerika mengeklaim diri sebagai kampiun demokrasi. Namun, di mata Chomsky Amerika justru dianggap sebagai ‘’failed state’’ atau negara gagal. Umumnya label negara gagal itu menempel pada negara-negara miskin atau negara-negara yang disebut pariah seperti Korea Utara atau Kuba.
Namun, di mata Chomsky justru Amerika adalah contoh negara gagal terbesar di dunia.
Dalam ‘’Failed States: The Abuse of Power and Assault on Democracy’’ (2006) Chomsky mengungkapkan sejumlah fakta yang mendukung pendapatnya bahwa Amerika adalah negara gagal. Dua poin utama yang disorot Chomsky adalah penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dan serangan terhadap demokrasi (assault on democracy).
Program keamanan dalam negeri ‘’homeland security’’ yang menjadi andalan Amerika, oleh Chomsky diplesetkan menjadi ‘’homeland insecurity’’ ketidakamanan dalam negeri. Rakyat Amerika makin merasa tidak aman karena ditakut-takuti oleh ancaman teror yang dibesar-besarkan.
Rakyat Amerika merasa tidak aman karena kebijakan pemerintah yang sangat dikuasai oleh konspirasi partai politik dan oligarki pengusaha.
Industri layanan kesehatan, yang menyangkut hajat hidup orang banyak, sampai sekarang tetap dikuasai oleh swasta sehingga menyebabkan asuransi kesehatan mahal dan tidak terjangkau oleh kalangan bawah.
Kalau demokrasi didefinisikan sebagai pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat, maka menurut Chomsky Amerika bukan negara demokrasi. Amerika sudah dibajak oleh elite korporasi dan oligarki yang sangat berpengaruh terhadap berbagai kebijakan publik.
Chomsky menyebut Amerika sebagai negara gagal karena tidak berhasil memberi rasa aman kepada warga negaranya dari ancaman teror, dan tidak adanya jaminan bagi terlaksananya hak-hak demokrasi warga negara.
Amerika menjadi negara gagal karena institusi demokrasi tidak berjalan dengan semestinya karena sudah dibajak oleh kepentingan oligarki bisnis dan politik.
Perang melawan teror menjadi momok yang menakutkan warga. Ketakutan massal sengaja diciptakan untuk melegitimasi pengeluaran anggaran belanja militer yang besar atas nama perang melawan teror di seluruh dunia.
Rasa ketakutan sudah menjadi industri yang menghasilkan putaran uang besar dalam industry-military complex yang sangat menguntungkan industri senjata Amerika.
Atas nama perang melawan teror pemerintah boleh merusak hak asasi dan hak demokratis warga di seluruh dunia. Amerika melakukan penangkapan terduga teroris tanpa prosedur hukum yang demokratis.
Penyekapan dan penganiayaan dilakukan terhadap para terduga teroris yang belum terbukti kesalahannya. Penyikasaan di penjara Guantanamo dan Ghraib dilakukan secara usistematis dan rahasia.
Dua pusat penyekapan itu secara sengaja ditempatkan di luar wilayah Amerika untuk mendapatkan alibi.
Pola-pola penanganan teror Amerika ini menjadi ‘’text book’’ yang diterapkan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Amerika melakukan pelatihan terhadap pasukan khusus anti-teror seperti Densus 88.
Amerika juga memberikan bantuan keuangan besar untuk menunjang operasi antiteror di seluruh dunia.
Perang melawan teror di seluruh dunia sekarang ini adalah cermin dari perang bajak laut melawan Sang Kaisar. Ada Kaisar Besar di Amerika, dan ada Kaisar Kecil di sini. (*)
Video Terpopuler Hari ini:
Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror