Tersangka Dilarang Nyalon Justru Bahaya

Minggu, 21 Februari 2016 – 09:19 WIB
Irman Putra Sidin. Foto: dok.JPNN

jpnn.com - JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Irman Putra Sidin juga menilai bahwa pengaturan larangan tersangka maju pilkada tidak bisa diterapkan. Asas presumption of innocence akan dilanggar. 

”Ingat, dalam sistem hukum kita tersangka bukanlah orang bersalah,” kata Irman, kemarin. 

BACA JUGA: Ada Kerumitan Tersangka Dilarang Maju Pilkada

Selain itu, dia juga mengingatkan bahwa pengaturan tersebut rawan memunculkan politisasi hukum menjelang pilkada. ”Harga tersangka akan diobral oleh penegak hukum. Ini bisa jadi ancaman bagi demokrasi,” imbuhnya. 

Sementara itu, penegak hukum mendapat kritikan atas terjadinya fenomena tersangka yang bisa mencalonkan diri dalam perhelatan pilkada. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, selama ini masih banyak terpidana korupsi yang tidak dicabut hak politiknya. Padahal tindakan korupsi jelas-jelas menciderai masyarakat.

BACA JUGA: KPU dan Kemendagri Beda Pendapat

’’Di Indonesia ini enak betul, asal tobat pelaku korupsi bisa mengikuti pemilu dan menduduki lagi jabatan publik,’’ ujar peneliti ICW Emerson Yunto. 

Apa yang disampaikan Emerson memang sesuai kenyataan. Jangankan Polri atau Kejaksaan, KPK pun kerap tebang pilih dalam melakukan penuntutan terhadap pelaku korupsi.

BACA JUGA: Sukses Menangkan Risma, PDIP Mulai Bersiap untuk Pilgub Jatim

Tidak semua pelaku korupsi di KPK mendapatkan pencabutan hak politik. Sebut saja yang terbaru penuntutan terhadap mantan Gubernur Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho. Setidaknya, Gatot saat ini terlibat dalam sejumlah kasus penyuapan. Dua diantaranya sudah disidangkan dalam satu berkas dakwaan. Namun dalam tuntutan, selain hanya dituntut 4,5 tahun, KPK tak menyertakan pencabutan hak politik.

Jika nantinya dalam semua perkara Gatot hanya divonis tak lebih dari 5 tahun, kelak saat keluar penjara dia bisa berpolitik dan maju lagi dalam jabatan publik. Gatot mendapatkan vonis ringan karena KPK menganggap dia bersedia bekerjasama mengungkap pelaku lain atau justice collaborator.

Tak hanya Gatot, mantan Sekjen Partai Nasdem Patrice Rio Capella juga mendapatkan keistimewaan. Jaksa KPK kala itu tak mengajukan tuntutan pencabutan hak politik. Sama dengan Gatot, secara usia Rio Capella juga terbilang masih muda.

Perlakuan berbeda diberikan terpidana korupsi Fuad Amin Imron. Mantan Bupati Bangkalan itu dituntut pencabutan hak politik. Padahal Fuad Amin juga dijatuhi hukuman berat. Artinya, jika melihat usia, kecil kemungkinan Fuad akan berpolitik lagi ketika dia kelak bebas dari hukuman 13 tahun penjara.

’’Harusnya kalau pemerintah serius dalam program pemberantasan korupsi, ya aturan soal penghukuman selain fisik itu yang dibuat,’’ ujar Emerson. 

Sementara itu, Ketua Dewan Pers sekaligus mantan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan menilai penghukuman berat berupa tambahan seperti pencabutan hak politik bisa menjadi efek jera bagi pelaku kejahatan. Menurut dia efek jera harus dibuat tidak hanya untuk pelaku, tapi juga bagi orang lain agar tidak melakukan kesalahan yang sama.

Adanya tersangka yang mencalonkan diri dalam pilkada, menurut Bagir tak lepas dari lemahnya penegakan hukum. ’’Penegakan hukum pidana harus dibuat lebih bagus dengan memikirkan sumber atau penyebab terjadinya tidak pidana itu sendiri,’’ terangnya. (dyn/gun/sof/sam/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Tiga Kandidat Rebutan Tiket PKS


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler