Tersinggung Solo Disebut Surga Teroris, Atilah Soeryadjaya Pentaskan Tari Kolosal

Seluruh Pemain Asli Solo, Tampil Perdana di Singapura

Kamis, 02 Juni 2011 – 08:08 WIB

Sebuah koran Singapura pernah menyebut Solo sebagai surga para terorisSebagai warga Solo, hati Atilah menjerit

BACA JUGA: Kapten Persema Bima Sakti, Konsisten di Usia Senja

Dia ingin menghapus stigma itu
Caranya, dia bikin pementasan tari kolosal unik yang berakar pada tradisi Keraton Solo

BACA JUGA: Wayang Orang Bharata, Bertahan dengan Gaji Minim di Pusat Kota Jakarta

Lalu, dia tampilkan tari itu di depan publik Singapura
Bagaimana Atilah mewujudkan ide besarnya?

M

BACA JUGA: Yingluck Shinawatra, Calon Perdana Menteri Perempuan Pertama Thailand

HILMI SETIAWAN, Jakarta

WAJAR jika Atilah tersengat ketika Solo diberi stigma surga para terorisMaklum, perempuan yang lahir dengan nama Bandara Raden Ayu Atilah Rapratiati itu adalah cucu Mangkunegara VII, raja Keraton Mangkunegaran, Solo
   
Stigma negatif tentang Solo itu dimuat sebagai headline di sebuah surat kabar Singapura pada 2009Saat itu judulnya Solo Is A Heaven for Terrorist

Berita itu membuat Atilah jengkelDi benaknya kala itu, langsung tebersit tekad harus mengembalikan citra Solo melalui sebuah karya seniSebab, Solo adalah kota yang kaya akan seni dan budayaWaktu itu Atilah bertanya, bagaimana caranya dan siapa yang akan melakukannyaSetelah berpikir cukup lama, akhirnya Atilah memutuskan untuk menggarap sendiri proyek seni untuk memperbaiki citra Kota Solo tersebut

Sebagai ketua umum Mitra Wayang Orang Indonesia, Atilah langsung memilih karya seni tariAwalnya, dia ingin menuangkan idenya dalam karya seni wayang orangTapi, perempuan kelahiran 28 April 1961 itu khawatir pertunjukan tersebut bakal sepi penontonJika penonton sepi, pesan yang ingin dia sampaikan bakal sia-sia

Setelah memutuskan akan mementaskan seni tari, Atilah langsung menentukan judul karya itu, yakni Matah AtiMatah adalah sebuah nama desa di SoloSedangkan Ati adalah nama asli Rubiyah, istri Raden Mas Said atau Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I yang juga dikenal dengan sebutan Pangeran SambernyowoDalam Matah Ati, sosok Rubiyah diperankan oleh Rambat Yulianingsih.

Menurut Atilah, sudah banyak karya seni milik negeri ini yang mengupas sosok kesatriaTermasuk, Pangeran Sambernyowo"Tapi, bagi saya, setiap kesatria memiliki sosok pendorong yang utama di belakangnya," tutur istri pengusaha Edward Soeryadjaya itu.

Setelah menggali dan meneliti tumpukan buku sejarah di Keraton Mangkunegaran, Atilah mendapatkan informasi bahwa sosok di balik kebesaran Mangkunegara I menghadapi kompeni pada abad ke-18 (1700-an) adalah RubiyahPerempuan itu bahkan ditunjuk menjadi panglima perang yang disebut memiliki prajurit perempuan berjumlah 40 orang.

Dalam menggali informasi, Atilah tidak hanya memanfaatkan sumber literaturDia juga berkonsultasi ke beberapa sesepuh keraton dan tokoh-tokoh sejarahSetelah benar-benar yakin, dia langsung membentuk tim inti dan mencari pemain.

Dengan spirit mengubah citra Solo, Atilah menginginkan seluruh pemain pementasan seni tari itu warga asli SoloBaik yang mengabdi di ndalem keraton maupun orang luar keraton.

Di luar deretan pemain, Atilah menggaet beberapa tokoh seni tanah airSalah seorang di antara mereka adalah sutradara Jay Subyakto yang didaulat menjadi artistic director

Selain itu, ada Blacius Subono sebagai music director, Eko Supendi sebagai penata tari, dan Fajar Satriadi sebagai assistant directorFajar juga ditunjuk menjadi tokoh lelaki utamaDia memerankan sosok Pangeran Sambernyowo.

Ditemui pada hari yang sama, Fajar menyatakan memiliki kesan mendalam terhadap penunjukannya dalam pergelaran tari berlakon Matah Ati ituSalah satu pengalamannya, dia wajib menurunkan berat badan hingga 15 kilogramSecara keseluruhan, Fajar menyatakan takjub terhadap karya Atilah tersebut.

Setelah tim dan beberapa pemain inti dibentuk, Atilah langsung menentukan bahwa karyanya berkonsep langendriyanDalam bahasa populer, konsep itu mirip dengan opera JawaKonsep yang diciptakan oleh Mangkunegara IV tersebut berupaya menyelaraskan aturan keindahan gerakan tari, suara, dan penghayatan karakter"Tiga aspek itu harus bisa muncul dalam ekspresi yang bagus," papar Atilah.

Atilah juga mengadakan tur ke titik-titik sejarah kejayaan Raden Mas SaidTermasuk, ke tempat pemakamannyaDia menegaskan, tidak ada unsur klenik dalam proses tersebutAtilah menyebutkan, tapak tilas itu digunakan untuk menghayati kebesaran Raden Mas Said dan peran sentral Rubiyah.

Setelah agenda tapak tilas rampung, Jay datang menghadap Atilah dengan membawa desain panggung pementasanAtilah terbelalak begitu melihat panggung karya JayTanpa dia pikirkan sebelumnya, Jay datang dengan panggung miringSudut kemiringannya 15 derajatKemiringan tersebut menjadi simbol lokasi kejayaan Raden Mas Said di pegunungan.

Setelah mengetahui model panggung itu, muncul ganjalan besar dalam diri Atilah"Bagaimana saya harus melatih penarinya?" ucap diaSelama ini, dia menyatakan belum pernah terlibat dalam pergelaran tari yang menggunakan stage (panggung) miringDia khawatir penarinya nanti jatuh bergelimpangan karena harus menyesuaikan sudut keseimbangan.
   
Ternyata, kekhawatiran Atilah tersebut benar-benar terjadiAwal-awal berlatih, para penari yang seluruhnya berasal dari Solo itu berjatuhanTermasuk, Fajar dan Rambat yang menjadi pemeran utama

Fajar mengatakan, penari butuh tenaga ekstra ketika berlari ke ujung panggung yang menanjakSebaliknya, pemain butuh kelihaian mengerem saat meluncur menuju sisi panggung yang menurun"Selama puluhan tahun menari, saya belum pernah menemukan panggung seperti itu," ucap dia.

Sebagai director, Atilah sempat cemas begitu melihat penarinya butuh waktu untuk beradaptasi dengan panggung yang aneh ituSetelah berjalan beberapa minggu, akhirnya seluruh penari mulai bersahabat dengan panggung yang miringGelak tawa gara-gara penari ngglundung sudah jarang muncul.

Setelah berlatih sekitar dua tahun, akhirnya pertunjukan pertama di Esplanade Theatre, Singapura, semakin dekatSetelah menawarkan proposal ke pihak Esplanade, disepakati pertunjukan digelar dua kali pada 22 dan 23 Oktober 2010.

Dalam pergelaran perdana itu, Atilah membawa kru sebanyak 150 orang dan properti seberat 25 ton ke SingapuraUsaha keras seluruh anggota tim di bawah arahan Atilah tersebut mendapatkan respons bagusDi main hall Esplanade yang berkapasitas 2 ribu orang, setiap pergelaran itu selalu dipenuhi penontonBahkan, setelah pergelaran usai, banyak penonton yang tidak kebagian tiket meminta Atilah mementaskan ulang karya Matah Ati.

Setelah tampil di Singapura, Atilah memanjakan publik tanah air dengan menggelar pertunjukan di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada 13?16 Mei laluSelama pergelaran di TIM, Matah Ati dipertontonkan empat kali

Sambutan di sana tidak kalah hangat jika dibandingkan dengan SingapuraSetiap pergelaran, gedung berkapasitas 1.200 penonton itu selalu padat"Saya kasihan saat melihat teman-teman tidak dapat tiket masuk," ungkap diaMereka juga meminta Atilah mengulang pertunjukan Matah Ati

Atilah menuturkan, dalam waktu dekat dirinya belum berencana mementaskan lagi Matah Ati di tanah airDia kini lebih berfokus mempersiapkan pergelaran Matah Ati di EropaSalah satu kota yang bakal dijajaki Matah Ati adalah London, Inggris.

Soal memilih memulai pergelaran di negeri orang dulu baru di negeri sendiri, Atilah menjelaskan bahwa tidak ada pertimbangan khususDia hanya ingin menunjukkan kepada dunia bahwa Solo tidak "sengeri" yang pernah diberitakan(c11/kum)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Menikah secara Online; Dua Mempelai di Jepang, Keluarga di Magelang


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler