Terungkap! WNI Jadi Korban Kerja Paksa dan Eksploitasi Finansial di Kapal Taiwan

Senin, 09 Desember 2024 – 21:16 WIB
Ilustrasi kapal penangkap ikan. Foto: ANTARA/Jessica HW

jpnn.com, JAKARTA - Greenpeace Asia Tenggara-Indonesia dan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) melalui laporan terbarunya mengungkap dugaan praktik kerja paksa dan eksploitasi finansial yang dialami awak kapal perikanan (AKP) migran Indonesia di kapal berbendera Taiwan.

Laporan tersebut menganalisis 10 kasus berdasarkan aduan nelayan migran Indonesia yang bekerja di kapal ikan berbendera Taiwan sejak 2019 hingga 2024, kata Ketua Umum SBMI Hariyanto Suwarno pada konferensi pers peluncuran laporan "Netting Profits, Risking Lives: The Unresolved Human and Environmental Exploitation at Sea" dalam rangka menyambut hari HAM Sedunia 10 Desember, yang berlangsung secara hybrid di Jakarta, Senin.

BACA JUGA: Amerika Temukan Bukti Kerja Paksa di Perusahaan Malaysia Ini, Mengerikan

"Alih-alih mendapatkan penghidupan layak, saudara kita para nelayan migran Indonesia justru menjadi korban perbudakan modern. Permasalahan ini sudah lama terjadi, tetapi pemerintah Indonesia dan para pemangku kepentingan lainnya terkesan tidak berupaya membenahi pelindungan, bahkan cenderung membiarkan. Pembiaran adalah pelanggaran serius hak asasi manusia," kata Hari.

Tim investigasi menemukan benang merah yang menghubungkan dugaan praktik kerja paksa di kapal dengan industri tuna kalengan yang beroperasi di Amerika Serikat.

BACA JUGA: Kemenlu & IJMI Gelar Seminar, Cegah Kerja Paksa & Perdagangan Orang

Ditemukan pula adanya dugaan peran agen perekrutan di Indonesia yang juga mendapatkan keuntungan dari penderitaan AKP migran tersebut.

Selama satu dekade terakhir, Greenpeace Indonesia dan SBMI bekerja sama mengungkap dugaan praktik pelanggaran hak pekerja dan mendorong pemerintah untuk melakukan perbaikan.

BACA JUGA: AS dan Jepang Bentuk Satgas Pemberantasan Kerja Paksa, China Jadi Sasaran?

Keduanya juga mendesak pemerintah Indonesia, Taiwan dan AS untuk mengambil langkah konkret seperti memperketat kebijakan dan regulasi industri perikanan, memastikan korporasi bertanggung jawab atas praktek tidak manusiawi dan tidak berkelanjutan.

Mereka juga diminta untuk menyediakan perlindungan hukum yang lebih kuat bagi pekerja migran, termasuk mekanisme pengaduan yang efektif dan transparan dan membangun industri seafood global yang adil, manusiawi, dan lestari.

"Temuan ini bisa jadi adalah fenomena gunung es. Oleh sebab itu, Greenpeace dan SBMI akan terus melakukan investigasi guna mengungkap lebih banyak sisi kelam industri perikanan global. Tujuannya untuk mendorong transformasi ke arah yang lebih adil, manusiawi, dan berkelanjutan bagi masa depan para nelayan, konsumen, dan laut kita," kata Juru Kampanye Laut Senior Greenpeace Asia Tenggara, Arifsyah Nasution.

Laporan tersebut menyoroti sejumlah poin utama yakni: AKP migran Indonesia melaporkan beragam praktik kerja paksa menurut indikator kerja paksa Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), seperti penipuan, penahanan dokumen identitas pribadi, penyalahgunaan kerentanan dan jeratan utang.

Para nelayan migran mengaku secara ilegal diminta membayar biaya perekrutan sekitar Rp7-31 juta setara dengan 1-4 kali gaji per bulan yang dijanjikan. Hal itu bertentangan dengan ketentuan UU 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.

Kemudian yang menjadi sorotan yakni penahanan upah hingga 20 bulan. Dalam satu kasus, seorang pekerja dengan cedera mata tidak mendapat kompensasi asuransi yang setara 25 kali lipat gaji.

Selain itu, terkait Perikanan Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur (IUU Fishing), sebanyak enam dari 12 kapal berbendera Taiwan terindikasi melakukan kegiatan IUU Fishing di antaranya transhipment ilegal, beroperasi tanpa izin di luar yurisdiksi serta menangkap ikan di kawasan konservasi.

Transhipment, atau pemindahan muatan di tengah laut, kerap dibarengi dengan mematikan sistem AIS (Automatic Identification System) kapal guna menyembunyikan keberadaan mereka.

Para nelayan juga melaporkan praktik shark finning, pemotongan sirip hiu dan membuang tubuhnya ke laut, yang secara global sudah dilarang secara masif.

Sementara itu, empat kapal teridentifikasi terhubung dengan merek tuna kalengan AS, Bumble Bee, milik perusahaan bisnis tuna Taiwan, FCF. Adapun ke-empat kapal tersebut adalah Chaan Ying, Guan Wang, Shin Lian Fa No. 168, dan juga Sheng Ching Fa No. 96.

Kapal-kapal itu tercatat beberapa kali memasok hasil tangkapan ke Bumble Bee selama beberapa tahun, yang mengindikasikan relasi bisnis yang langgeng di antara kedua belah pihak. (ant/dil/jpnn)


Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler