SEBAGAI seniman yang juga survivor kanker, Laksmi Notokusumo punya cara beda untuk meringankan derita karena penyakit tersebut. Dia mengajak berolah seni teater dan tari. Hasilnya, mereka malah banjir tawaran manggung.
SEKARING RATRI A., Jakarta
Usia Laksmi Notokusumo hampir 65 tahun. Namun, dia masih begitu bersemangat. Hanya rambutnya yang berwarna kelabu, menandakan tak lagi muda. Di luar itu, Laksmi masih tampak "muda". Tubuhnya langsing dan energik. Sebagai seorang koreografer, Laksmi pun masih sanggup menampilkan pertunjukan. Baru-baru ini dia menari selama satu setengah jam dalam sebuah pertunjukan di Sanggar Akar. "Saya juga masih bisa back roll lho," ujarnya saat ditemui di kawasan Jalan Imam Bonjol, Jakarta, Sabtu (14/12).
Di tengah semua keistimewaan itu, Laksmi adalah survivor kanker. Perempuan kelahiran 31 Maret 1948 tersebut beberapa kali mengalami pengangkatan tumor dan kanker. Payudara kiri sudah diangkat lantaran kanker yang menyerang lima tahun lalu. Begitu juga dengan kelenjar tiroidnya. Untung, Laksmi bisa bertahan serta menikmati hidup seperti sekarang.
Ibu dua anak itu mengisahkan, dirinya adalah perokok berat. Bahkan, rokok yang diisap tidak sembarangan. Bukan rokok yang dijual di pasaran. Tapi, dia melinting sendiri rokoknya. "Saya merokok sejak SMA. Benar-benar perokok berat," kenangnya.
Suatu ketika, pada 1978, Laksmi menemukan tiga benjolan di payudara kiri dan kanannya. Meski itu hanya benjolan kecil, dokter menyarankan tumor tersebut harus segera diambil. Akhirnya dia menjalani operasi kecil dengan lima sayatan operasi di lima tempat. Pada November 1990 benjolan serupa muncul lagi. Kali ini ada di kelenjar tiroid. "Tiroid sebelah kiri saya harus diambil," kata Laksmi.
Setelah menjalani dua operasi kecil, Laksmi yang pernah mengajar di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) kembali menjalani kesibukan sebagai penari sekaligus koreografer. Pada 2007 dia kembali mendapat cobaan. Saat itu menjelang Lebaran dan dia harus membersihkan rumah sendiri karena sang pembantu pulang kampung.
Hasilnya, Laksmi demam. Saat bangun tidur, dia merasa ada sejumlah bintik-bintik di mata. Mirip kecebong. Dia segera mengunjungi dokter mata. "Dokter bilang nggak ada apa-apa dengan mata saya," katanya.
Laksmi juga merasakan nyeri berulang di payudara. Yang sebelah kiri membesar. Dia kembali ke dokter. Kali ini dia divonis kanker payudara stadium 2B. Laksmi disarankan melakukan mastektomi atau pengangkatan payudara. "Saya nggak langsung oke. Saya cari second sampai third opinion. Dari tiga dokter, semuanya mengatakan saya harus mastektomi. Saya juga berhenti merokok," ujarnya.
Laksmi sadar, menjalani mastektomi adalah keputusan yang sulit. Khususnya bagi seorang penari seperti dirinya. Bukan hanya itu. Ketika dilakukan checkup menyeluruh, dia juga terkena kanker kelenjar getah bening. Saat menjalani operasi, dia menerima sayatan yang cukup panjang sampai ke pangkal lengan sebelah kiri. Akibatnya, sampai saat ini tangan kirinya masih kerap bengkak.
Setelah operasi, seperti para penderita kanker lainnya, Laksmi menjalani proses penyembuhan kemoterapi dan radiasi yang menyakitkan. Dia menjalani 16 kali kemoterapi dan 25 kali radiasi. Rambutnya rontok. Dia juga kerap mual dan muntah. Sebelum rambutnya rontok sepenuhnya, dia memilih gundul. "Anak saya nggak tega. Dia bilang, "Ayo, digundul aja ya." Akhirnya dia yang menggunduli rambut saya," kenang Laksmi.
Selama menjalani kemoterapi, Laksmi masih sempat menari. "Saya sempat dua kali menari waktu menjalani kemo. Teman-teman sudah paham, kalau saya pas latihan tiba-tiba hilang, pasti lagi huek (muntah)," ungkapnya.
Kemoterapi dan radiasi yang dijalani Laksmi memakan waktu sekitar setahun. Pada 2010 cobaan datang lagi. Timbul benjolan di kelenjar tiroid. Akhirnya seluruh tiroid Laksmi harus diangkat. Dia pun diwajibkan minum obat seumur hidup. "Kalau sampai lupa minum obat, saya bisa kejang-kejang. Selama beberapa lama suara saya juga hilang," katanya.
Laksmi tidak patah semangat. Dia bergabung dengan Cancer Information and Support Center (CISC). Dia mendapat tawaran dari Sri Suharti untuk bergabung di CISC. "Saya diajak untuk mengajarkan teater dan tari ke para survivor kanker di CISC," ujarnya.
Meski tanpa honor, Laksmi tetap antusias menerima tawaran tersebut. Latihan digelar seminggu sekali. Waktu latihan bisa bertambah jika mereka mendapat banyak order tampil.
Jauh sebelum terkena kanker Laksmi pernah diajak sahabatnya, mendiang Harry Roesli, mengikuti workshop di Bandung. Lokakarya dengan tema pendampingan para pasien kanker dan AIDS itu menghadirkan pembicara ahli dari Jerman. "Workshop-nya seminggu. Habis teori, langsung dipraktikkan," katanya.
BACA JUGA: Gunung Salju yang Bisa Dinikmati Empat Musim
Laksmi menyadari bahwa pendampingan untuk mental healing bagi penderita kanker sangat penting. Karena itu, dia bergabung dengan CISC. Meski belum mampu melakukannya selama 24 jam, dia terus berupaya memberikan pendampingan bagi para pasien kanker ataupun survivor.
Laksmi mengakui tidak mudah melatih teater dan tari bagi para survivor kanker. Sejumlah tantangan harus dihadapi. Mau tidak mau, para survivor kanker itu memiliki beban. Mereka juga awam dengan dunia teater.
BACA JUGA: Berfantasi di Belantara Hutan Batu Kunming
"Survivor kanker itu memikirkan banyak hal. Kadang mereka tidak bisa fokus. Kadang mereka santai, latihan sambil terima telepon. Terus, ada lagi yang datang terlambat, eh langsung makan," ujarnya.
Laksmi paham bahwa tubuh penderita kanker tidak lagi sempurna. Karena itu, mereka perlu dilatih kembali agar bisa berfungsi normal. Namun, hal tersebut tidak bisa serta-merta diterapkan Laksmi saat mengajarkan teater maupun tari. Dia harus lebih dulu menumbuhkan minat para survivor kanker terhadap seni. "Saya kasih mereka naskah dulu, lalu mereka eksplore sendiri. Kalau ada yang nggak paham, baru mereka bertanya," ujar perempuan asal Jogjakarta itu.
BACA JUGA: Bersuami Dokter Umplung, Tiga di Antara Empat Anak Ikuti Jejak
Cara Laksmi cukup ampuh. Rasa ketertarikan para survivor kanker terhadap seni teater dan tari meningkat. Makin banyak yang bergabung. Setidaknya ada lebih dari 20 survivor kanker yang aktif. Bahkan, ada yang terus berlatih di sela-sela jadwal kemoterapi atau radiasi.
Sejauh ini ada lima naskah yang dihasilkan. Di antaranya, Sumi Sang WTS (Wanita Tetek Satu), Pain, Birth and Hope, serta Dudung dan Kambing-kambingnya. Di setiap naskah tersebut Laksmi selalu menyisipkan informasi seputar kanker. Dia juga menyertakan pengalaman para survivor kanker CISC.
Laksmi mengajar sekaligus menyutradarai seluruh operet dari lima naskah miliknya tersebut. Alhasil, grup teater CISC terus berkembang. Dari yang awalnya hanya tampil di lingkungan internal, kini operet CISC sudah merambah sejumlah rumah sakit dan pusat perbelanjaaan di ibu kota. Hampir di setiap perayaan hari besar keagamaan, mereka selalu ramai order. Grup teater CISC juga beberapa kali diundang tampil di luar kota. Mereka rutin tampil dalam acara tahunan breast cancer awareness di sebuah mal di Jakarta.
"Waktu pentas monolog di London School, anggota kami ada yang masuk lima besar. Intinya, informasi yang disebarkan melalui seni jauh lebih menarik dibanding cuma seminar-seminar," kata Laksmi. (*/c2/ca)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dani Ferdian, Pendiri Dokter Volunteer, Penyebar Prinsip Mengabdi kepada Masyarakat
Redaktur : Tim Redaksi