jpnn.com - Tidak sedikit dokter yang mau menyisihkan waktu untuk mengabdi kepada masyarakat di sela-sela kesibukannya di rumah sakit. Misalnya, yang dilakukan Dani Ferdian dengan gerakan Dokter Volunteer-nya. Yakni, aksi dokter dan calon dokter yang tidak semata "patient oriented".
SUGENG SULAKSONO, Jakarta
BACA JUGA: Kisah Perempuan Berkerudung dan Hantu Api di Pelintasan Kereta
DI sela jam kuliah, satu per satu teman dr Dani Ferdian di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung diajak berbicara dari hati ke hati. Fokus pembicaraan adalah apa yang akan dilakukan selepas mendapat gelar dokter.
Hasilnya, kata Dani, tidak satu pun yang pure mau mengabdikan diri untuk masyarakat. "Saya berpikir, wah ini berbahaya. Yang saya khawatirkan, ketika jadi dokter, kerjaan mereka hanya mencari pasien. Patient oriented," kata Dani ketika ditemui di kediamannya, perumahan Bumi Cipacing Permai, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, Selasa (10/12).
BACA JUGA: Ditunggui Makhluk Halus Bermuka Rata
Menurut dia, dokter sesungguhnya bukan melulu penyembuh atas segala penyakit dengan imbalan bayaran tinggi dari pasien. Dokter semestinya punya peran penting untuk melakukan tindakan pencegahan (preventif) dengan turun langsung ke masyarakat atau memperbaiki sistem kesehatan di pemerintahan.
Tidak dimungkiri, selain prestisius, menjadi dokter merupakan jaminan memperoleh kesejahteraan secara materi. Namun, bagi Dani, kurang ideal jika semua mahasiswa kedokteran berpikir seperti itu Atas dasar itulah, dia bersama beberapa mahasiswa kedokteran di kampusnya membuat gerakan Dokter Volunteer. Saat itu, kuliah Dani baru memasuki semester IV.
BACA JUGA: Ningsih Terjepit di Kolong Gerbong, Rosmaliah Selamatkan Empat Anaknya
Sadar perjuangannya tidak akan semudah mendirikan gerakan mahasiswa pada umumnya, Dani tidak merekrut anggota secara terbuka. Dia melakukan mapping profil teman-temannya yang bisa diajak bergabung dalam gerakan masif tersebut. Mereka diajak bertukar pikiran terkait dengan gerakan itu.
Dari mapping tersebut, Dani berhasil mengajak 18 calon dokter di kampusnya untuk memulai gerakan itu. Mereka bersepakat tentang paradigma dokter yang tidak hanya mengejar materi, namun mendahulukan pengabdian kepada masyarakat. "Paradigma ini harus tertanam sejak masih menjadi mahasiswa kedokteran sehingga ketika lulus ada kesadaran untuk kembali ke masyarakat sebagai pengabdi," tegas pria kelahiran Bandung, 5 April 1989, itu.
Yang paling mendasar dalam pengabdian seorang dokter, menurut Dani, adalah menolong. "Jangan berpikir terlalu jauh soal pengabdian. Kita bisa memulainya dengan hal-hal yang sederhana. Misalnya, menggelar aksi mengukur tensi (tekanan darah) di pasar atau keramaian umum lainnya. Atau, memberi penyuluhan kesehatan," tuturnya.
Secara umum, aktivitas Dokter Volunteer terbagi dalam tiga bidang. Yakni, pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Mulai menyediakan diri seminggu sekali mengajar anak-anak sekolah yang sedang menghadapi ujian akhir, melayani medical complex (farmasi, pengobatan gigi, dan bimbingan psikis), sampai pendampingan usaha ekonomi.
"Kami juga mengadakan penyuluhan kepada anak-anak jalanan, penderita HIV/AIDS, pelatihan P3K, serta sosialisasi kesehatan untuk anak level PAUD sampai lansia," imbuh dokter muda itu.
Sejak didirikan pada 2009, Dokter Volunteer sudah "menjamah" sekitar 50 ribu warga melalui berbagai program dalam 200 kegiatan. Setiap program melibatkan dokter, tenaga medis nondokter, serta para mahasiswa lintas fakultas. Gerakan itu total "beranggota" 200 aktivis, 20 orang di antaranya adalah dokter. Aktivitas mereka masih difokuskan di Jawa Barat dan Banten.
Saat ini Dokter Volunteer masih sebatas gerakan komunitas yang digawangi para dokter muda seperti Dani dan belasan teman lainnya yang baru lulus. Namun, setahun lagi gerakan tersebut ditargetkan sudah berbadan hukum yayasan. Dani cs sedang menyiapkan segala sesuatunya, termasuk menyusun AD/ART guna keperluan pembentukan yayasan itu.
Yang jelas, segala kesibukan dan susah payah membangun Dokter Volunteer tersebut tidak membuat kuliah Dani keteteran. Dia tetap bisa lulus cum laude dengan IPK 3,68 dan sesuai jadwal, yaitu tahun 2013.
"Kalau korban jam tidur, sudah pasti. Tapi, dengan banyak aktivitas, saya merasa waktu saya semakin efektif. Yang penting kerjakan tugas dulu, baru urus kegiatan. Memang jadi tidak sempat main game dan lainnya. Tapi, saya percaya, faktor X juga akhirnya ada," ungkap suami dokter gigi Aristyani Dwi Rahmani yang dinikahi pada Oktober 2013 tersebut.
Berkat konsistensi dan komitmennya yang kuat dalam menjalankan gerakan itu, Dani dinobatkan sebagai Inspiring Student Movement Award 2012 dari Masyarakat Ilmuwan dan Teknologi Indonesia serta Young Change Maker 2013 dari Asoka Indonesia.
"Saya sempat ditanya saat penganugerahan Young Change Maker, 'Sekarang Anda masih idealis, ke depan bagaimana?' Menurut saya, kegiatan-kegiatan seperti Dokter Volunteer adalah fondasi. Semakin saya dalami, makin banyak pengalaman. Ketika cari uang nanti, saya semakin matang bahwa arah saya ke sini," ujarnya.
Ketika berkeluarga pun, sejak awal Dani mengajak calon istrinya untuk berkomitmen tentang prinsip pengabdiannya itu. Ternyata, sang istri tidak berkeberatan, bahkan mendukung.
"Saya percaya, faktor X selalu ada. Kalau dulu di bidang akademik, mungkin nanti dalam hal materi. Saya tidak khawatir," tegasnya.
Prinsip itu pula yang membuat Dani tidak tertarik meneruskan kuliah untuk mendapat gelar dokter spesialis. Keyakinan tersebut semakin kuat setelah dia mengerjakan skripsi yang diberi judul Gambaran Rencana Masa Depan Pemilihan Profesi Mahasiswa FK.
''Jadi, kayak mapping SDM (sumber daya manusia) lagi. Sebab, hampir 90 persen mahasiswa FK itu hanya kuliah, lulus, lalu ambil spesialis. Jadi, clinic oriented-nya banyak. Lalu, siapa nanti yang urus sistem, urus administrasi, dan sebagainya?'' ungkapnya.
Dani merasa, jika menjadi dokter spesialis, dirinya bisa menjadi patient oriented. Penghasilannya dari orang sakit. Padahal, dirinya tidak mau seperti itu. ''Buat saya, yang penting bagaimana mendorong orang tetap sehat dengan mengatur sistemnya. Biarkanlah teman-teman saya jadi dokter klinis yang nanti menolong orang. Saya mengatur mereka,'' ucapnya.
Di luar itu semua, Dani memang kebanjiran tawaran kerja dan hampir semua berhubungan dengan passion dirinya di bidang pengabdian masyarakat. Beberapa perusahaan dan yayasan meminta Dani menjadi manajer kesehatan untuk membuat program sistem kesehatan serta pemberdayaan masyarakat.
"Mungkin itu impact kegiatan saya ini. Misalnya, IDI (Ikatan Dokter Indonesia) Wilayah Jawa Barat meminta saya untuk program pengabdian masyarakat. Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia juga menarik saya untuk di situ," katanya.
Saat ini Dani masih menjalani program penempatan dokter di RSUD Bandung dan Puskesmas Garuda, Bandung. "Tapi, saya mau jadi apa pun nanti, Dokter Volunteer tetap akan jalan," tegas Dani yang sudah menuangkan pemikirannya tentang mahasiswa kedokteran dalam buku berjudul Menjemput Takdir Sejarah Mahasiswa Kedokteran itu. (*/c5/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Selamat Setelah Memecahkan Kaca dengan Tendangan
Redaktur : Tim Redaksi