Tetap Rukun, 1 Rumah 2 Keyakinan

Selasa, 22 Mei 2018 – 15:50 WIB
Warga Desa Mbawa Nurdin sedang berpamitan kepada mertuanya Ismail dan Khadijah di Dusun Sungari, Desa Mbawa, Kecamatan Donggo, Bima, NTB, Minggu (20/5). Fatih/Lombok Post/JPNN.com

jpnn.com, BIMA - Bukan hal yang aneh di desa ini jika mendapati satu rumah yang penghuninya memiliki beda keyakinan.

Itulah pemandangan yang biasa di Desa Mbawa, Kecamatan Donggo, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) dapat menjadi salah satu rujukan.

BACA JUGA: Punya 2 Anak, Terduga Teroris Itu Sudah Pisah dengan Istri

Meski dalam satu rumah ada dua keyakinan, tapi penghuninya tetap hidup rukun, tenteram, dan damai.

=================================
Fatih Kudus Jaelani - Lombok Post
=================================

BACA JUGA: Purnomo, Mantan Sprinter Terbaik Indonesia Melawan Kanker

Namanya Khadijah saja. Tanpa Siti. Perempuan paruh baya itu merupakan warga Desa Mbowo, Kecamatan Donggo, Bima.

Agamanya Kristen Protestan. Sehari-hari dia menempati rumah panggung sebagai tempat tinggal. Dilihat dari kayunya, kemungkinan usia rumah itu lebih lama dari penghuninya.

BACA JUGA: Pemakaman Jenazah Teroris, Di Sana Sini Ditolak Warga

Di rumah tersebut, selain Khadijah dan suami juga tinggal anak dan menantu. Alias, rumah ini dihuni dua kepala keluarga (KK).

Ternyata keluarga besar yang terdiri atas dua KK di rumah itu memeluk agama yang berbeda.

Islam dan Protestan. Setiap bulan suci Ramadan tiba, Khadijah sudah terbiasa bangun pada pukul tiga pagi.

Pagi itu Lombok Post (Jawa Pos Group) ditemani dua remaja setempat berkunjung ke rumah Khadijah. Kebetulan Khadijah dan suaminya, Ismail, sedang di rumah.

Mereka tengah duduk di beranda rumah panggung itu sembari menahan udara dingin. Kakinya terbungkus kain sampai telapak kaki.

Mereka tidak berpuasa. Walaupun tidak berpuasa, Khadijah mengaku tetap ikut menyiapkan menu sahur terbaik untuk anaknya yang memeluk Islam.

"Saya selalu membangunkan mereka. Puasa kewajiban mereka. Saya merasa harus menjaga mereka untuk melakukan kewajiban ibadahnya,” kata Khadijah seperti dilansir Lombok Post, Senin (21/5).

Soal toleransi, Khadijah tidak mendapatkan ilmu itu dari kemarin sore. Melainkan sudah puluhan tahun. Dari generasi ke generasi.

Di desa itu, dia melihat warga hidup rukun dalam perbedaan agama. Bertahun-tahun dalam perbedaan keyakinan itu pula, dia sudah terbiasa melihat umat Muslim menjalankan ibadah puasa.

Ibadah yang dilakukan sekali dalam setahun pada bulan suci Ramadan. Tahun ini, merupakan Ramadan yang ke-75. Sesuai dengan usianya.

Keluarga beda agama seperti Khadijah sudah biasa bagi sebagian besar warga Mbawa. Jadi tidak heran menemukan puluhan ayah dan anak yang berbeda keyakinan di Mbawa. Perbedaan agama itu tidak membuat mereka saling menyalahkan.

Di sana, memilih keyakinan dibebaskan. Mau apa saja. Asal pilihan tersebut benar-benar datang dari hati. Tanpa paksaan. "Warga Mbawa melarang kata paksa," kata Nurdin setelah mencium tangan mertuanya, pamitan hendak berangkat kerja.

Khadijah bercerita, anaknya Junari yang beragama Islam karena dipinang menantunya Nurdin yang ketika itu seorang muslim. Dengan cinta yang tulus dan keikhlasannya, Junari saat akan menikah pun bersedia berpindah keyakinan dari protestan ke Islam. Langkah itu ditempuh demi melanjutkan bahtera rumah tangga dengan lelaki idamannya.

Melihat putrinya pindah agama, sikap Khadijah tidak berubah. Bagi Khadijah anak yang berpindah agama bukan hal pertama kali dialami dalam hidupnya. Sebab dari perkawinan Khadijah dengan Ismail lahir orang anak. Dua di antaranya beragama Islam, satu Katolik, dan satu lagi tetap Protestan.

"Hidup ini intinya bagaimana saling menghargai. Menjaga lingkungan adalah yang utama,” kata Khadijah sembari menahan udara dingin di daerah pegununangan barat Bima.

Selama Ramadan, Khadijah dan Ismail tidak pernah makan di siang hari. Kecuali anak dan menantunya yang beragama Islam tidak berada di rumah. Pola seperti itu sudah bertahun-tahun diterapkan Khadijah dan suami dalam rumah tangganya.

Keluarga beda agama seperti Khadijah memang banyak di Mbawa. Hal ini sudah menjadi budaya warga Mbawa. Tak ada batasan dalam memilih pasangan. Walaupun mereka beda agama.

Terpisah, Ignasius Ismail, guru agama Gereja Santo Paulus Katolik Desa Mbawa menuturkan, ada dua hal yang menguatkan toleransi beragama di desa Mbawa.

Pertama, masyarakat menyadari memiliki darah yang sama. "Di sini semua kita memiliki hubungan keluarga. Jadi untuk apa berkelahi,” terang Ignas.

Hubungan satu darah beda agama ini sudah ada sejak kehidupan nenek moyang mereka terdahulu. Maka dari itu di Mbawa, tidaklah heran kalau mendengar ada warga Muslim yang memiliki ayah atau anak Katolik atau Protestan. Bahkan Ignas pun yang merupakan guru agama Gereja juga memiliki seorang dai kondang di Mbawa.

Alasan kedua, terjadinya kerukunan antarumat beragama di Mbawa karena masih kuatnya adat yang berlaku di desa tersebut. Semua diputuskan dengan musyawarah para tetua.

(jpnn/jpg/ce1/JPC)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Mahyudin soal Konsep Jihad dan Staf jadi Mualaf


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler