Thailand yang Kembali Diguncang Demo Masal

Undang-Undang Anyar Bebaskan Tapol

Minggu, 11 Agustus 2013 – 13:21 WIB

Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Amnesti kembali memantik konflik di Thailand. Regulasi yang bakal membuka lagi peluang bagi Thaksin Shinawatra ke panggung politik itu memicu protes rakyat. Apalagi, perundangan tersebut akan membuat ratusan pelaku kejahatan lolos dari jerat hukum.
     
"RUU Amnesti yang digagas partai berkuasa (pemerintah) bakal membuat para serdadu dan militan yang terlibat dalam aksi kejahatan 2010 lalu bebas," kata Brad Adams, direktur Human Rights Watch (HRW) Asia. Karena itu, menurut dia, pemerintahan
Perdana Menteri (PM) Yingluck Shinawatra harus mengimbuhkan pasal penting pada aturan tersebut.

Pasal yang Adams maksud adalah perkecualian amnesti bagi para pelanggar hukum dan pelaku kejahatan. Terutama, mereka yang melakukan kejahatan kemanusiaan. "Semua itu perlu dilakukan demi tegaknya keadilan sekaligus mengakhiri budaya kebal hukum yang biasanya berlaku bagi kroni pemerintah," lanjutnya seperti dilansir The Diplomat Rabu lalu (7/8).

BACA JUGA: Buddhis Serang Masjid, 4 Muslim Terluka

Sejak Thaksin lengser melalui kudeta pada 19 September 2006, serangkaian aksi kekerasan terus terjadi di Thailand. Sepanjang periode 2006 sampai 2011, konflik berdarah selalu merenggut korban jiwa. "Pemerintah harus mencoret mereka yang terlibat dalam represi terhadap warga sipil dari daftar penerima amnesti," paparnya.

Adalah Worachai Hema, salah seorang politikus dari Partai Pheu Thai, yang menggagas RUU Amnesti tersebut. Partai Pheu Thai merupakan kendaraan politik yang mengantarkan Yingluck ke kursi PM. Adik bungsu Thaksin itu jelas mendukung penuh RUU Amnesti tersebut. Sejak awal, para pengamat politik Thailand yakin bahwa perempuan 46 tahun itu hanyalah boneka Thaksin.

BACA JUGA: Tentara Filipina Tewaskan Dua Gerilyawan Moro

Sebenarnya, Thaksin sudah merancang skenario kepulangan ke Thailand dengan sempurna. Cara pertama adalah menempatkan Yingluck ke kursi PM. Selanjutnya, giliran kroni tokoh 64 tahun itu yang bekerja. Yakni, mengegolkan RUU Amnesti. Setelah RUU tersebut sah menjadi UU, Thaksin akan bisa dengan mudah kembali ke tanah kelahiran. Bahkan, dia bisa kembali ke panggung politik.

Lantaran membaca gelagat tidak baik di balik RUU Amnesti itu, oposisi pun berusaha keras menjegal upaya parlemen untuk mengesahkannya. Satu-satunya senjata oposisi untuk melawan kroni Thaksin yang masih bercokol di pemerintahan adalah dengan mengerahkan massa. Karena itu, Rabu lalu (7/8), bertepatan dengan pembahasan RUU, oposisi melakukan aksi turun ke jalan.

BACA JUGA: Sewa Kambing untuk Bersihkan Lahan Kuburan

Tahun lalu aksi serupa pernah dilakukan oposisi. Saat itu, mereka juga mengerahkan sejumlah besar massa ke jalanan Kota Bangkok untuk menghentikan parlemen yang sedang menggodok RUU Amnesti. Aksi protes masal tersebut berhasil menggagalkan pembahasan RUU Amnesti. Kini massa oposisi kembali menggunakan cara yang sama untuk membuyarkan rencana politik kubu Yingluck.

Namun, PM perempuan pertama Thailand itu mengimbau rakyat untuk tidak lagi turun ke jalan demi menghindari pertumpahan darah. Dia tidak ingin pemerintahannya kembali tercemari konflik. Dengan kata lain, dia tidak mau tersingkir dari pemerintahan hanya gara-gara dianggap tidak becus menegakkan keamanan. "Meski kemungkinannya hanya satu persen, saya ingin konflik berakhir periode ini," tegasnya.

Tidak seperti Yingluck, publik Thailand mempunyai penilaian sendiri terhadap pemerintah. Songkran Grachangnetara, misalnya. Pengusaha muda Thailand yang juga lulusan The London School of Economics dan Columbia University tersebut menganggap konflik politik pemerintah sebagai beban rakyat. Sebab, siapa pun yang memenangi perseteruan politik tidak akan memihak rakyat.

"Mereka (pemerintah) menyebut RUU Amnesti sebagai langkah awal rekonsiliasi. Itu bukan rekonsiliasi nasional, tapi rekonsiliasi antara Thaksin Shinawatra dan Abhisit Vejjajiva atau antara Partai Pheu Thai dan Partai Demokrat," ungkap Songkran sebagaimana yang dia tuliskan pada halaman opini harian Bangkok Post awal pekan ini.

Lebih lanjut, dia menyatakan, rekonsiliasi tidak akan pernah terjadi selama para pencari jalan keluarnya adalah para pencetus konflik itu sendiri. Seperti yang terjadi saat ini, kubu Yingluck alias Thaksin berhadapan dengan kubu Abhisit. Sejak lengsernya Thaksin, dua kubu tersebut tidak pernah bisa saling bekerja sama dan selalu saling serang.

"Mereka tidak pernah membahas perdamaian atau kemakmuran rakyat. Mereka hanya mencari keuntungan bagi diri mereka sendiri. Kita (rakyat) hanya akan selalu celaka," jelasnya. Bagi Partai Pheu Thai, pemilu dan segenap legitimasinya merupakan dalil terpenting pemerintah. Sebab, mereka masih memiliki begitu banyak pendukung dan hampir pasti bakal selalu memenangi pemilu.

Sebaliknya, Partai Demokrat yang dipimpin Abhisit menganggap pemilu hanya pelengkap sistem demokrasi. Bagi mereka, pemilu bukan segala-galanya. Sebab, mereka tidak akan pernah bisa bersaing dengan kubu lawan yang punya banyak basis massa. "Seharusnya, Partai Demokrat lebih gigih mengupayakan kemenangan. Jika itu terjadi, perubahan akan terwujud," ungkapnya. (The Diplomat/Bangkok Post/hep/c14/dos)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Segera Aktifkan Lagi Konsulat AS di Timur Tengah


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler