jpnn.com - Munculnya KH Yahya Cholil Staquf sebagai ketua PBNU memunculkan banyak komentar.
Salah satunya menyebut bahwa Gus Yahya adalah ‘’The Next Gus Dur’’ alias Gus Dur baru.
BACA JUGA: Gus Yahya Harus Bisa Membawa NU menjadi Nakhoda Ormas Islam Dunia
Gus Yahya disebut-sebut akan banyak meniru Gus Dur dalam memimpin NU.
KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menempati posisi yang sangat unik dalam sejarah perjalanan Nahdlatul Ulama. Langkah-langkah dan pemikirannya yang tidak konvensional sering menjadi sumber kontroversi di kalangan NU sendiri.
BACA JUGA: Cak Imin Ungkap Kesamaan Gus Yahya dan Gus Dur
Pemikiran-pemikiran Gus Dur sering dianggap ‘’ahead of his time’’ melampaui masanya ketika itu, sehingga bertentangan dengan konvensi umum yang sudah menjadi praktik umum.
Gagasan-gagasan Gus Dur mengenai pribumisasi Islam, misalnya mengganti ‘’Assalamu alaikum’’ dengan ‘’Selamat Pagi’’ menimbulkan reaksi keras bahkan di kalangan NU sendiri.
BACA JUGA: Gus Yahya Jadi Ketum PBNU, Ganjar Teringat Sosok Gus Dur
Sikap Gus Dur yang sangat bersahabat dengan Israel dan lobinya dengan tokoh-tokoh Yahudi membuat gerah banyak kalangan, tidak terkecuali kalangan internal NU sendiri.
Yahudi tetap dianggap sebagai musuh Islam nomor satu, dan negara Israel dianggap sebagai negara penjajah yang merampas kemerdekaan bangsa Palestina.
Berhubungan dengan Israel dan Yahudi sama saja dengan memusuhi Islam. Begitu pandangan umum masyarakat Islam Indonesia.
Gus Yahya ingin menjadikan model gerakan Gus Dur sebagai model gerakan NU, karena Gus Dur dianggap telah membawa NU menjalankan mandat peradaban.
Sejak awal didirikan, NU bertujuan untuk merintis upaya format peradaban baru untuk menggantikan format yang lama pascakeruntuhan Turki Usmani.
NU didirikan bukan sekadar untuk mengupayakan kesejahteraan warganya atau sekadar meneruskan mandat ajaran ahlu sunnah wal jamaah. Namun, lebih dari itu NU mengemban tugas peradaban untuk menempatkan Islam dalam posisinya tepat dalam peradaban dunia.
Gus Yahya mengingatkan kader-kader NU jangan sekadar merebut porsi-porsi yang remeh-temeh seperti selama ini. Untuk mencapai tujuan itu harus ada perubahan mindset yang mendasar.
Menurut Gus Yahya, perilaku Gus Dur selama hidup, baik gerakannya, pemikirannya, khususnya saat memimpin PBNU adalah berupaya memperjuangkan peradaban. Pemikiran-pemikiran Gus Dur akan terus dibutuhkan sepanjang zaman.
Gerakan Gus Dur secara umum bisa dibagi menjadi dua garis besar, hubungan dengan negara dan hubungan dengan masyarakat. Dalam hal hubungan dengan negara, NU menjadi kekuatan politik yang sangat penting sejak zaman kemerdekaan sampai sekarang.
Gus Dur membawa warna baru dalam hubungan NU dengan negara. Selama kekuasaan Orde Baru yang represif, NU menjadi kekuatan civil society yang melakukan koreksi dengan caranya yang khas. Di bawah Gus Dur, NU menjadi kekuatan yang disegani oleh negara.
Di era reformasi, NU terlibat langsung dengan politik praktis ketika Gus Dur terpilih menjadi presiden pada 1999. Masa kepemipinan Gus Dur hanya berlangsung tiga tahun dan berakhir dengan kekecewaan ketika Gus Dur menghadapi impeachment pada 2021.
Pada masa-masa berikutnya NU tidak terjun langsung ke dalam politik praktis, tetapi tetap mewarnai praktik politik nasional. Di bawah KH Said Aqil Siradj NU kembali masuk ke kancah politik praktis dengan munculnya KH Ma’ruf Amin sebagai cawapres Jokowi dalam pilpres 2019.
Sosiolog Prancis Andree Feillard melakukan studi yang sangat komprehensif untuk melihat hubungan NU dengan negara.
Buku ‘’NU Vis a Vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk, dan Makna di Tengah Prahara’’ (2009) menyajikan studi yang mendetail mengenai perkembangan-perkembangan awal NU.
Feillard melihat bahwa Islam di Indonesia memiliki perbedaan pendekatan di masing-masing daerah. Kontur perkembangan Islam di Nusantara sangat heterogen karena penerimaan terhadap Islam dilakukan dengan penyesuaian terhadap adat istiadat masyarakat yang beragam.
NU muncul karena beberapa faktor, yaitu munculnya gerakan reformis dengan misi pembaruan hingga faktor politik runtuhnya kekhalifahan Islam Turki Usmani.
Sistem pemerintahan berdasarkan syariah Islam dihapuskan dan digantikan dengan sekularisasi—pemisahan agama dari negara–yang berakibat pada lemahnya kontrol politik umat Islam di dunia.
Dari situ kemudian terjadi segmentasi gerakan Islam selama abad ke-20 antara kelompok-kelompok status quo yang masih merindukan model kekhalifahan Islam dengan kelompok baru yang modernis yang ingin mengubah pola hubungan Islam dengan politik.
Kalangan tua kemudian disebut sebagai kelompok tradisionalis dan kalangan muda dikelompokkan sebagai modernis.
Pemodelan berdasarkan tipologi modernis dan tradisonalis bukanlah identitas yang absolut. Tradisionalis dan modernis hanya cara pandang untuk melakukan identifikasi kedua golongan itu.
Saat ini batas-batas keduanya menjadi kabur, kecuali cara pandang atas teks dan sikapnya atas materialitas kebudayaan.
Kaum reformis memiliki kecenderungan menerapkan praktik puritan dalam beragama, kalangan tradisionalis memiliki sikap akomodatif terhadap praktik-praktik kebudayaan—masyarakat setempat yang lekat dengan kronik mistisisme— menggunakan mendakatan fikih yang lebih elastis dan dinamis.
Antara realitas yang bergerak dinamis dengan hukum-hukum normatif agama tidak berjalan bertentangan, melainkan didialogkan menggunakan dalil-dalil fikih. Pergumulan Islam dengan nilai budaya setempat menuntut adanya penyesuaian terus-menerus tanpa harus kehilangan ide aslinya sendiri.
Berdirinya NU pada 1926 oleh kakek Gus Dur dipengaruhi oleh beberapa peristiwa internasional. Runtuhnya Turki Usmani membuat pendulum kekuasaan politik Islam bergeser kembali ke jazirah Arab dengan munculnya kekuatan Wahabi di Arab Saudi.
Islam yang lahir dan besar di jazirah Arab bergeser sumbunya ke Iraq, Syria, Iran, Turki, dan Mesir. Selama Perang Dunia Pertama pada 1930-an Arab Saudi menjadi kekuatan politik minor.
Setelah Turki Usmani jatuh pada 1924 Arab Saudi bangkit menjadi sumbu baru kekuatan Islam.
Setelah tujuh abad ‘’hilang’’ Islam akhirnya kembali ke pangkuan tempat kelahirannya yang asli di tanah Arab Saudi. Hal ini kemudian melahirkan gerakan revivalisme, mengembalikan Islam kepada ajarannya yang murni sesuai teks orisinal Al-Qur'an dan hadis.
Kejatuhan kekhilafahan Turki menjadi bukti melemahnya politik Islam. Berakhirnya kekhilafahan Turki Usmani menjadi akhir sistem pemerintahan yang dibangun berdasarkan formalitas agama.
Hal itu menimbulkan respons umat muslim di dunia untuk mencari alternatif dari model-model kepemimpianan umat Islam.
Gerakan Wahabi mencoba mengisi kevakuman itu dengan mengusung misi pemurnian praktik beragama yang dalam pelaksanaannya sering berbenturan dengan praktik budaya sebagai praktik yang umum, tetapi dianggap sebagai pencemaran terhadap akidah Islam.
Praktik ziarah kubur, membangun kompleks makam orang-orang suci, dan ritual-ritual ziarah tahunan, adalah praktik tradisional yang dibongkar oleh Wahabi melalui gerakan pemurnian.
Gerakan ini mempunyai pengaruh yang kuat di Indonesia sehingga terjadi gesekan antara kalangan tradisionalis dengan modernis.
NU lahir di tengah kondisi ketegangan itu. NU berusaha melakukan moderasi dengan berpegang pada mazhab Syafii yang fleksibel, tetapi tetap menghormati ‘’Empat Mazhab’’ yang menjadi aliran mainstream dalam Islam dan berusaha mencari jalan tengah yang akomodatif.
Gerakan NU bertujuan untuk melakukan amal, pendidikan, memajukan pertanian dan perdagangan. Selain, persoalan menekankan kepentingan agama NU juga berperan aktif dalam agenda-agenda transformasi sosial, ekonomi, politik, dan pendidikan.
Cap tradisional yang melekat kepada NU tidak menjadikannya sebagai organisasi yang selalu akomodatif terhadap kekuasaan. Dalam perkembangannya NU menjadi gerakan keagamaan sekaligus politik yang radikal menentang penjajahan Belanda.
Resolusi jihad yang dikumandangkan oleh KH Hasyim Asy’ari melahirkan gerakan revolusioner melawan penjajahan Belanda.
Di era kemerdekaan di bawah rezim Orde Lama NU menjadi bagian dari politik eklektik Soekarno yang bereksperimen dengan memadukan nasionalisme, agama, dan komunisme.
Eksperimen politik ini gagal dan berakhir dengan banjir darah dengan pembunuhan massal orang-orang komunis pada 1965. NU mempunyai peran penting dalam proses itu.
Di era Orde Baru di bawah kepemimpinan Gus Dur, NU menentang otoritarianisme Soeharto dengan cara yang halus tetapi mematikan. Gus Dur menantang Soeharto dengan menolak penafsiran tunggal terhadap Pancasila yang dilakukan Soeharto untuk melanggengkan kekuasannya.
Ketika reformasi bergulir, NU dianggap terlambat dalam mengikuti gerakan. Namun, kemudian Gus Dur menjadi tokoh alternatif yang menjadi pilihan kekuatan Islam modernis dan tradisionalis. Gus Dur manjadi presiden hasil kompromi poros tengah Islam menghadapi kekuatan nasionalis.
Masa kepresidenan Gus Dur berakhir karena pecah kongsi di kalangan politisi Islam. Gus Dur dilengserkan dan friksi antara Islam tradisional vs modern kembali menjadi isu yang mengemuka.
Gus Dur meninggalkan legasi yang sangat luas dalam gerakan politik Islam di Indonesia. Kapasitas intelektual Gus Dur sangat mumpuni dan nasabnya sebagai keturunan langsung pendiri NU menjadikan Gus Dur punya legitimasi kuat untuk melakukan manuver apa pun.
Sampai sekarang belum ada satu pun tokoh yang punya kaliber seperti Gus Dur. Tekad Gus Yahya untuk meniru gerakan Gus Dur akan menarik untuk diikuti. (*)
Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror