Rarasati Ameera Cahya adalah siswi SMP Labs School Cibubur, Jakarta Timur.

Raras, biasa ia dipanggil, baru saja pulang dari Jambore Dunia di Korea Selatan selama 12 hari.

BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Empat Turis Australia yang Sempat Hilang di Perairan Aceh Ditemukan

Ia mulai menekuni Pramuka sejak masih duduk di sekolah dasar karena Pramuka adalah kegiatan ekstrakurikuler yang wajib di sekolahnya.

Siswi yang berusia 14 tahun ini mengatakan mengikuti Jambore Dunia merupakan pengalaman yang tak terlupakan untuknya.

BACA JUGA: Festival Golo Koe, Membangun Pemahaman Generasi Muda soal Pangan Lokal & Perubahan Iklim

"Seru banget! Ada banyak aktivitas di Jambore Dunia ... kita bisa belajar budaya negara lain, dapet teman baru dari berbagai negara, belajar lebih dalam tentang Pramuka dari negara-negara lain, dan bisa bertukar badge."

"Sempat kepanasan, tapi saat panas itu banyak kegiatan yang dihentikan, kecuali kegiatan di dalam ruangan, lalu kita stay di tenda."

BACA JUGA: Jetstar Membatalkan Penerbangan Darwin-Denpasar Karena Perbaikan Landasan Pacu

"Yang paling berkesan untuk saya saat Jambore Dunia itu closing ceremony dan K-Pop konsernya," kata Raras.  

Sama seperti Raras, Joshua Octavian juga ikut Pramuka di sekolahnya karena diwajibkan.

Ia pernah menjadi Pemimpin Regu di Pramuka, dan tekun mengikuti semua kegiatan Pramuka, bahkan saat masa pandemi COVID-19 dan aktivitas belajar dilakukan secara daring.

Namun, Joshua mengaku kalau Pramuka bukan ekstrakurikuler favoritnya, karena ia merasa dirinya tidak terlalu menyukai kegiatan dan aktivitas luar ruangan.

"Sebenarnya kemungkinan untuk menggunakan keahlian yang didapat dari Pramuka untuk bertahan hidup, misalnya, sangat kecil."

"Mungkin kalau ini tidak wajib, saya akan memilih ekstrakurikuler lain, seperti olahraga, coding, atau content creating."

"Tapi Pramuka itu ya sudah berjalan seperti yang seharusnya, melatih kita untuk bertahan di alam liar, hanya saja setidaknya untuk saya yang tidak terlalu suka berada di luar, [keterampilan dari pramuka] enggak terlalu terpakai, tapi pasti terpakai untuk yang suka." 

Tapi Joshua setuju kalau Pramuka tetap diwajibkan di sekolah-sekolah.

"Ini bukan soal terpakai atau enggaknya, tapi lebih karena ini punya unsur penting dalam bermasyarakat," kata Joshua kepada ABC Indonesia.

Awal tahun 2023 lalu, Alfin Alfarizki Korwa mendadak terkenal karena aksinya yang viral membantu mobil pemadam kebakaran (Damkar) keluar dari kemacetan.

"Waktu itu sore, aku pulang sekolah, dan jalan itu memang selalu macet karena jam orang pulang kerja, terus ada sirine tapi mobil Damkarnya enggak bisa jalan."

Melihat itu, Alfin enggak segan-segan turun ke jalan, agar mobil pemadam kebakaran bisa segera tiba di tujuan dan menjalankan tugasnya.

"Aku enggak malu, pokoknya karena mobil Damkar itu kesusahan, aku berinisiatif membantu sampai mobil Damkar terbebas dari kemacetan."

Kepada ABC Indonesia, Alfin mengatakan kalau ia melakukan aksinya itu karena termotivasi oleh Dasa Darma Pramuka.

"Aku teringat Dasa Darma Pramuka yang kelima, jadi di situ aku termotivasi untuk membantu," tutur siswa yang telah aktif di Pramuka sejak kelas 5 SD.

Ia juga ikut Jambore Nasional tahun 2022 lalu.'Siap menghadapi aspek kehidupan'

Berkat aksinya yang viral karena termotivasi Dasa Darma Pramuka, Alfin mendapat beasiswa Bibit Unggul Nasional dari Lembaga Perguruan Taruna Kebangsaan, yang mengantarkannya ke SMA Kebangsaan, sesuai cita-citanya menjadi tentara.

Bagi Alfin, Pramuka bukan sekadar ekstrakurikuler. 

"Pramuka mengajarkan kedisiplinan, juga rela menolong dan tabah, jadi Pramuka itu membuat kita siap menghadapi aspek kehidupan di luar ilmu yang didapat di sekolah."

Ia menolak anggapan kalau Pramuka adalah kegiatan yang ketinggalan zaman.

"Walau teknologi makin canggih, buat aku Pramuka enggak kuno, karena Pramuka mengajarkan kita bekerja sama, berinteraksi dengan teman dan sesama, juga mengenal alam, sementara teknologi kayak HP kan lebih individual."

Raras juga merasa Pramuka masih tetap relevan dengan kehidupan modern.

"Belajar kerja sama enggak ada di YouTube, dan saat belajar tali-temali, kita juga kadang perlu bantuan orang lain, [di Pramuka] melakukannya bersama-sama, ... dari internet cuma teorinya saja."

Bahkan Joshua yang tidak terlalu menggemari Pramuka juga setuju.

"Kita bisa tahu skill-nya dari YouTube, tapi kita cuma sebatas tahu, tidak mencoba mempraktikkannya ... di Pramuka, kita mencoba benar-benar melakukannya, dan semakin kita terbiasa melakukannya, kita semakin terlatih dan siap."

"Kalau pun nantinya skill itu enggak akan terpakai, tapi kita tahu bagaimana caranya."Harapan orangtua

Mehta Rhadyameswari, ibunda Raras, melihat keikutsertaan anaknya di Pramuka sudah membantu membentuk karakter sang anak menjadi lebih mandiri.

"Waktu ikut Jambore Dunia ini saya sudah khawatir, dia akan 12 hari camping, bukan jalan-jalan atau piknik, tapi ternyata dia bisa dan survived," kata ibu tiga anak ini kepada Hellena Souisa dari ABC Indonesia.

Berita tentang cuaca ekstrem di Korea Selatan selama penyelenggaraan Jambore Dunia juga sempat meresahkan Mehta, tetapi ia akhirnya lega karena semuanya teratasi dengan baik.

"Jadi orangtua seperti saya sebaiknya juga jangan terlalu khawatir anak kita ikut Pramuka, percayakan saja kepada para pembinanya."

Mehta mengaku sangat mendukung putrinya aktif di Pramuka.

"Anak-anak ini kan generasi gadget ya, enggak usah diajarin main gadget pun mereka sudah pasti bisa main gadget, dan Pramuka ini membuat mereka terekspos pada alam dan team work," tutur Mehta.

Astrid Lim, orangtua Joshua, merasa Pramuka bisa menyeimbangkan kegiatan yang sejak pandemi lalu terlalu banyak di dalam ruangan dan kebanyakan lewat daring.

Tantangannya, menurut Astrid, adalah bagaimana kegiatan Pramuka bisa dikemas lebih menarik mengikuti perkembangan sekarang.

"Kita enggak mau [aktivitas] anak terlalu gadget banget, tapi mungkin ada sesuatu yang berhubungan dengan gadget itu yang bisa dipakai di alam liar, apa pun itu."

"Terus, mungkin Pramuka juga bisa mengkombinasikan aktivitasnya dengan hal-hal yang sering ditemui di kehidupan sehari-hari, jadi enggak yang terlalu far fetch kayak [skenario] skill bertahan hidup di hutan ... tapi lebih yang memang dekat ke kehidupan sehari-hari, yang problem-nya akan ditemui oleh mereka," pungkas Astrid.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Penelitian Baru di Australia: Jalan Sambil Main Ponsel Tingkatkan Risiko Jatuh

Berita Terkait