Tidak Perlu Sinis Terhadap Usulan Perubahan Masa Jabatan Presiden

Kamis, 28 November 2019 – 23:13 WIB
Achmad Baidowi. Foto: Radar Cirebon

jpnn.com, JAKARTA - Anggota DPR Fraksi PPP Achmad Baidowi mengatakan munculnya wacana-wacana amendemen UUD NRI 1945 yang menyinggung masalah jabatan presiden merupakan hal yang lumrah dan biasa di dalam iklim demokrasi. Menurut dia, aturan hukum itu selalu dinamis dan bisa diperdebatkan sesuai konteks perkembangan zaman.

“UUD 1945 yang sudah diamendemen berkali-kali menunjukkan bahwa konstitusi kita itu bukan sebuah barang yang mati, tetapi terus hidup berkembang sesuai dengan perkembangan dinamika sosial yang ada di masyarakat,” kata Baidowi dalam diskusi “Bola Liar Amendemen, Masa Jabatan Presiden Diperpanjang?” di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (28/11).

BACA JUGA: Baidowi Klaim Tak Ada Lagi Dualisme di Tubuh PPP

Dia menjelaskan sebelum amendemen, MPR ditetapkan sebagai lembaga tertinggi negara sehingga bisa memilih presiden. Memasuki era reformasi, lanjut dia, sejumlah pasal di UUD 1945 dilakukan perubahan sehingga terciptalah sistem pilpres langsung termasuk juga mengatur masa jabatannya.

Dalam konstitusi sebelumnya, diatur satu periode lima tahun tetapi tanpa batas yang membuat Soeharto bisa memerintah 32 tahun. Lewat semangat reformasi, kekuasaan dibatasi dengan pengaturan periodisasi jabatan preisden.

BACA JUGA: Baidowi Tepis Isu Amendemen UUD Perpanjang Masa Jabatan Presiden Jadi Tiga Periode

“Sehingga boleh periodenya lima tahun sekali tetapi maksimal dua kali menjabat,” ujar sekretaris Fraksi PPP di DPR itu.

Nah, dia menegaskan kalau sekarang ada yang mewacanakan dan mengevaluasi masa jabatan itu wajar dan biasa saja, sehingga tidak perlu ditanggapi terlalu sinis. “Toh itu wacana yang terus bergulir dan belum menjadi keputusan MPR,” katanya.

BACA JUGA: Baidowi: Golput Bisa Diatasi Kalau Pemilih Masuk DPT

Menurut Baidowi, FPPP tentu tidak serta merta atau secara terburu-buru menyatakan sikap tanpa melakukan kajian terhadap persoalan tersebut. Mantan wartawan yang karib disapa Awiek itu memastikan semua aspirasi akan ditampung dan dianalisis. “Kami akan lihat seperti apa argumentasinya,” jelasnya.

Dia menjelaskan kalau misalnya ada yang mengusulkan lima tahun maksimal dua periode, atau cukup satu kali masa jabatan tetapi selama delapan tahun, hingga ada yang usulkan 15 tahun lewat tiga periode, itu merupakan hal yang biasa dalam politik. “Itu sesuatu yang biasa saja dalam dinamika politik. Itulah indahnya demokrasi di Indonesia,” ungkapnya.

Awiek menegaskan sampai saat ini tidak ada internal parlemen mewacanakan perubahan masa jabatan presiden. Menurut dia, memang betul MPR menerima masukan dan usulan, termasuk soal perubahan masa jabatan tersebut. “Namanya masukan, semua elemen bangsa ini bisa memberikan masukan,” kata Awiek.

Dia menuturkan terkait usulan PBNU agar pilpres lewat MPR dengan mempertimbangkan manfaat dan mudaratnya, juga tidak masalah. Dia menegaskan, siapa pun boleh berpendapat. Tidak boleh pendapat itu langsung dikritik. “Itu biasa, dinamika politik. Namanya berpendapat ya boleh-boleh saja dan tidak masalah,” paparnya.

Menurutnya, kalau yang menjadi pertimbangan pengembalian pilpres ke MPR karena secara langsung banyak mudaratnya, maka kemudaratan itulah yang harus diperbaiki. Dia menambahkan kalau yang menjadi penyebab kemudaratan itu bisa diminalisir dan diselesaikan, tidak perlu juga kembali ke masa lalu.

Terlebih lagi, bangsa Indonesia sudah melaksanakan pilpres langsung selama 20 tahun atau empat periode, mulai 2004, 2009, 2014 dan 2019. “Apakah kemudian kembali ke MPR, ya belum tentu, kita lihat reasoning-nya seperti apa,” jelas Awiek. (boy/jpnn)


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler