jpnn.com, JAKARTA - Di tengah seruan aksi demonstrasi dan ajakan untuk off-bid yang digaungkan oleh Asosiasi Ojol Garda Indonesia pada Kamis (27/2), banyak pengemudi ojek online justru memilih untuk tetap bekerja. Bagi mereka, menafkahi keluarga lebih penting daripada ikut serta dalam aksi.
Aksi demonstrasi tersebut bertujuan menyampaikan aspirasi terkait kebijakan yang dianggap merugikan sebagian pengemudi ojol dan bentuk tekanan terhadap aplikator. Hanya, seruan tersebut mendapat respons skeptis dari berbagai komunitas pengemudi.
BACA JUGA: Driver Ojol Minta Bantuan Hari Raya, Modantara Berkomentar Begini
Ketua Presidium Koalisi Ojol Nasional (KON) Andi Kristiyanto, menegaskan bahwa ajakan off-bid ini tidak mendapat dukungan luas dari para driver. Ada kesan bahwa seruan ini hanya klaim sepihak tanpa dukungan dari berbagai komunitas ojol.
"Apalagi, sebentar lagi bulan Ramadan, kebutuhan keluarga pasti meningkat. Minimnya orderan akibat aksi ini justru bisa merugikan rekan-rekan ojol sendiri," ujar Andi dalam pernyataan kepada media, Kamis (27/2).
BACA JUGA: Pengemudi Ojol Tuntut THR, Ini Respons Wamenaker
Lebih lanjut, Andi menyebutkan adanya indikasi eksploitasi kepentingan ojol demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu. Misalnya, Forum Ojol Yogya Bersatu (FOYB) yang melakukan pengecekan di lapangan tidak menemukan posko aksi sebagaimana disebutkan dalam selebaran yang beredar.
Banyak driver yang secara terbuka menyatakan ketidaksetujuan terhadap aksi off-bid. Mereka menilai aksi tersebut tidak membawa manfaat langsung bagi pengemudi dan justru bisa merusak citra ojek online di mata masyarakat.
BACA JUGA: Soal Potongan Aplikasi Ojol Hingga 30 Persen, Pakar: Ini Menyulitkan
"Saya tahu ada ajakan demo, tetapi saya tetap on-bid. Saya harus cari nafkah untuk keluarga," kata Suyanto, driver Grab Jakarta.
Fenomena ini ujar Andi, makin memperkuat fakta bahwa tidak semua pengemudi ojol merasa diwakili oleh asosiasi yang menyerukan aksi ini.
Hal tersebut juga tercermin dalam berbagai grup Facebook komunitas ojol, seperti Info Seputar Grab Jogja, Komunitas Grabbike Jabodetabek, dan Komunitas Driver Gojek Grabbike Solid se Jabodetabek, di mana banyak driver yang menyatakan akan tetap on-bid seperti biasa.
Berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) BPS, dari 84,2 juta pekerja informal di Indonesia, sekitar 1,8 juta atau 4,6% bekerja di layanan ride-hailing seperti ojek dan taksi online. Ini menunjukkan bahwa kebijakan yang kurang tepat dapat berdampak langsung pada jutaan individu yang menggantungkan hidupnya di industri ini.
Sebagai upaya mendukung pengemudi, berbagai platform ride-hailing telah memberikan bantuan dalam bentuk modal usaha, beasiswa anak mitra, hingga paket bahan pokok dan perawatan kendaraan dengan harga khusus.
Selain itu, regulasi terkait hubungan kemitraan juga telah diatur dalam Pasal 15 Ayat (1) Peraturan Menteri Perhubungan No. 12 Tahun 2019, yang menegaskan bahwa hubungan antara pengemudi dan aplikator adalah hubungan kemitraan, bukan ketenagakerjaan.
"Kebijakan yang terlalu ketat terhadap industri ride-hailing dapat menimbulkan dampak negatif, termasuk pengurangan jumlah mitra akibat platform kesulitan beroperasi," kata Direktur Eksekutif Asosiasi Mobilitas dan Pengantaran Digital Indonesia (Modantara), Agung Yudha.
Pemerintah diharapkan berhati-hati dalam menanggapi tuntutan ini. Kebijakan yang diambil harus mempertimbangkan berbagai perspektif—baik dari driver, aplikator, maupun konsumen—agar regulasi yang dihasilkan tidak hanya menguntungkan satu pihak saja.
Dengan pendekatan yang lebih holistik, diharapkan solusi yang diterapkan dapat menjaga keseimbangan antara kesejahteraan mitra driver, keberlanjutan bisnis aplikator, serta kepentingan masyarakat luas.(esy/jpnn)
Redaktur : Djainab Natalia Saroh
Reporter : Mesyia Muhammad