jpnn.com - Ini bukan tentang VakNus. Ini tentang ahli yang namanya sulit dieja: Dr Tifauzia Tyassuma, M.Sc.
Panggil saja Tifa. Yang keahliannya di bidang epidemiologi –penyebaran virus/penyakit– tetapi kegiatannyi banyak di bidang nutrisi.
BACA JUGA: 5 Suplemen Penting agar Tubuh tak Kekurangan Nutrisi Selama Puasa
Buku-buku nutrisinyi banyak banget. Termasuk yang terbaru: Nutrisi Surgawi.
"Anda ini ahli epidemologi atau ahli nutrisi?" tanya saya.
BACA JUGA: Vaksin Sinovac Mampu Halau Virus Baru Covid-19? Ini Analisis Pakai Epidemiologi
"Saya ahli epidemolonutrisi," jawab Tifa lantas tertawa.
Tifa kini mengambil S-3 di Universitas Indonesia –tempatnyi pernah sebentar menjadi dosen. Penelitian S-3 Tifa bertolak dari buku nutrisi surgawi itu.
BACA JUGA: Keraguan Ahli Epidemiologi soal Covid-19 Bakal Hilang Setahun Pascavaksinasi
Menurut Tifa, ''empat sehat lima sempurna'' sudah harus diganti dengan ''delapan nutrisi kitab suci'': protein hewani, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, umbi-umbian, rempah-rempah, dan dua lagi saya lupa. Itulah makanan yang disebut dalam kitab suci Al-Qur'an.
Saya sengaja hanya ingat yang enam itu. Saya percaya Anda pasti akan mengingatkan dua selebihnya.
Yang saya tetap ingat adalah kacamatanyi. Dan senyumnyi. Dan giginyi.
Tifa memang meneliti khusus susunan gigi manusia. Yang 32 biji itu. Lihatlah, kata Tifa, gigi kita itu. Meski jumlahnya 32 tapi hanya terdiri dari 8 jenis –tiap jenis dua buah.
Delapan jenis gigi itu dibuat Tuhan secara sengaja. Agar cocok dengan delapan jenis makanan yang seharusnya dimakan manusia.
"Gigi taring kan hanya dua buah. Berarti jatah untuk makan daging itu hanya 1/8 dari keseluruhan makanan yang kita makan," ujarnyi.
Semua itu akan jadi bahasan dalam disertasinyi.
"Kalau penelitian itu bersandar pada kitab suci apakah bisa diterima secara ilmiah?" tanya saya.
"Metode Pak Terawan saja bisa diterima. Yang level keilmiahannya di bawah. Yang saya lakukan itu seharusnya ditempatkan di level tertinggi dalam ilmu pengetahuan," jawab Tifa.
Orangnya memang pede. Sangat pede. Karena itu dia tidak mungkin jadi bawahan. Dia hanya sebentar jadi dosen di FK UI. "Saya tidak bisa kalau harus absen pagi dan sore," kata Tifa.
Sebagai orang yang akan mendasarkan penelitiannya pada kitab suci, Tifa termasuk ilmuwan yang bisa menerima metode penelitian Terawan: empiric base.
Menurut Tifa, harus ada leveling di bidang penelitian. Tidak harus semua penelitian harus seperti disyaratkan BPOM. Penelitian seketat BPOM itu bisa dimasukkan level yang tertinggi kedua setelah holy research. Lalu harus dibuat model penelitian level berikutnya.
Meski bisa menerima model penelitian Terawan mengenai Xxx (saya sudah berjanji untuk tidak menulis kata VakNus) itu, Tifa tetap usul pada Terawan –lewat saya.
"Janganlah menggunakan istilah VAKSINASI bagi metode dendritic cells immunotherapy," tulis Tifa pada saya.
Tifa pun bercerita kenapa: karena dari asal katanya saja, vaccination artinya metode untuk memasukkan kuman (virus) yang berasal dari sapi (Vacca) kepada tubuh manusia.
Waktu itu, pionir vaksinasi, Edward Jenner, di tahun 1789, memasukkan Virus Variola dari Kuda (loh gimana sih kok malah kuda?) ke tubuh seorang remaja usia 15 tahun.
Nama remaja kecil itu James Phepps. Itu untuk melihat apakah si James bisa mendapatkan kekebalan yang diharapkan.
James Phepps, waktu itu berumur 6 tahun, meninggal di usia 21 tahun.
Anak Edward Jenner sendiri, Janner, jadi kelinci percobaan bapaknya. Sang anak diberi injeksi kuman Variola setiap tahun. Janner, anak Edward itu, meninggal akhirnya. Kena pneumonia. Sad story.
"Jadi, saya usulkan ke Pak Terawan pakai saja nama Dendritic Cells Immunotherapy (DCI). Itu lebih bagus dan lebih tepat," tulis Tifa.
Untuk mudahnya lantas sebut saja I-Nu (Imunoterapi Nusantara). Nama I-Nu bisa lebih keren dan lebih millennial dari pada istilah Vaknus.
"I-Nu kalau diucapkan kan seperti I know. Saya tahu. Keren sekali," kata Tifa.
Usulnyi itu berdasar: ''Karena memang tidak ada sedikit pun virus atau pun potongan virus atau virus sintetis atau printing DNA atau spike atau apa pun dari virus itu yang masuk ke tubuh manusia, " tulis Tifa.
Lebih mendasar lagi, Tifa ingin I-Nu bisa mengakhiri sejarah teknologi vaksin. Yang umur penemuannya sudah 200 tahun.
Era vaksin, kata Tifa, seharusnya sudah lewat. I-Nu itu, kata Tifa, bisa membuat sejarah baru peradaban manusia. Yakni sebagai suatu terapi personalized sekaligus sebagai tonggak penting.
I-Nu bisa diartikan sebagai dimulainya "Era Personalized Medicine atau Precision Medicine. Yakni Kedokteran Abad 21. Yang lebih mengutamakan pendekatan personal bagi setiap kasus yang dihadapi setiap manusia".
Kalau bicara tentang personalized medicine, maka metodologi riset klinis atau clinical research methodology harus banyak diubah dan dimodifikasi.
Riset baru, kata Tifa, sudah harus mengikuti arah perkembangan kemajuan Ilmu. Termasuk yang disebut sebagai Randomized Controlled Trials (RCTs) –yang menjadi syarat mutlak dilakukannya terapi medis bagi manusia.
Ya memang, kata Tifa, risikonya besar: pabrik farmasi dan produsen vaksin akan marah-marah. "I-Nu itu kalau berhasil bisa diterapkan untuk menangkal virus dan kuman apa pun," kata Tifa.
Tifa, dokter dan S-2 nyi didapat dari Universitas Gadjah Mada Jogjakarta, masih punya usul lain: Terawan jangan pelit bagi-bagi ilmu. Bikinlah kursus sebanyak-banyaknya buat para dokter. "Agar mereka juga bisa praktik dengan I-Nu," kata Tifa, yang di tahun 1988 lulus SMAN 2 Jogjakarta.
"Saya pun mau ikut kursus itu". (*)
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi