Tiga Alasan Menolak PPN Sembako Versi Fadli Zon, Ada Kata Amoral

Selasa, 15 Juni 2021 – 22:31 WIB
Fadli Zon. Foto: ANTARA/Bagus Ahmad Rizaldi

jpnn.com, JAKARTA - Politikus Gerindra Fadli Zon membeberkan tiga alasan menolak rencana Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap sembako dan pendidikan seperti tertuang di dalam Pasal 4A draf Revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983.

Alasan pertama berkaitan struktural. Fadli menjelaskan bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sebesar 57,66 persen ditopang konsumsi rumah tangga.

BACA JUGA: Simak Respons Terbaru Bang Dasco soal Pajak Sembako dan Pendidikan

Data Badan Pusat Statistik (BPS) sepanjang 2020 menyatakan konsumsi rumah tangga d tanah air mengalami kontraksi hingga 2,63 persen.

Akibatnya, ujar Fadli, pertumbuhan ekonomi Indonesia minus 2,07 persen, yang menjadi capaian terburuk sejak krisis 1998.

BACA JUGA: Sri Mulyani Benarkan Pungutan PPN Sembako, Tetapi

"Jika rencana pengenaan PPN terhadap kebutuhan pokok ini diteruskan, dampaknya tentu saja akan kian memukul daya beli masyarakat. Kenaikan harga pangan biasanya akan mengorbankan belanja lainnya, terutama belanja pendidikan dan kesehatan," tulis Fadli di Twitter akun @fadlizon, Selasa (15/6).

Selanjutnya, ujar legislator Komisi I DPR itu berkaitan dengan alasan moral sehingga perlu menolak PPN terhadap sembako dan pendidikan.

BACA JUGA: Soal PPN Sembako dan Jasa Pendidikan, Politikus PAN: Rakyat Makin Menjerit, Batalkan Saja

Sebab, kata dia, pemerintah di satu sisi berencana memajaki kebutuhan pokok rakyat. Namun, pada saat yang sama pemerintah justru menggratiskan pajak bagi pembelian kendaraan roda empat.

"Ini logika kebijakan yang amoral," bebernya.

Fadli menjelaskan, relaksasi Pajak Penjualan atas Barang Mewah Ditanggung Pemerintah (PPnBM-DTP) bagi kendaraan roda empat kini malah diperpanjang.

Kini ketentuan itu bukan hanya berlaku bagi kendaraan 1.500 cc, melainkan juga tipe mobil atau motor dengan mesin 2.500 cc.

"Menurut saya, pemerintah tak paham skala prioritas, sehingga logika kebijakannya kacau," beber dia.

Alasan terakhir, kata Fadli, berkaitan dengan legalitas. Sejak UU Nomor 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, hingga diubah tiga kali menjadi UU Nomo 11 Tahun 1994, UU Nomor 18 Tahun 2000, dan UU Nomor 42 Tahun 2009, bahan kebutuhan pokok selalu dikecualikan dari PPN.

"Bahkan, UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja juga mempertahankan pengecualian tersebut (kebutuhan pokok menjadi objek PPN, red). Bagaimana ceritanya ketentuan Omnibus Law yang baru saja disahkan hendak diutak-atik lagi dalam pembahasan RUU KUP?" ungkap Fadli keheranan. (ast/jpnn)

Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:


Redaktur & Reporter : Aristo Setiawan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler