jpnn.com, JAKARTA - Mantan Ketua Instruktur Perakitan Bom Jamaah Islamiyah (JI) Ali Fauzi mengatakan, ada perbedaan aksi pengeboman yang dilakukan JI dan oleh Jamaah Ansharut Daulah (JAD) sekarang.
Pertama, Dulu JI tak pernah menggunakan bomber perempuan. Selain itu, mereka berhitung antara modal dan hasil yang dicapai.
BACA JUGA: Mereka tak Waras? Begini Penjelasan Ali Fauzi
’’Dulu kami sangat berhati-hati dalam melakukan serangan,’’ ungkapnya seperti diberitakan Jawa Pos. Berhati-hati itu dalam konteks menghitung betul dampak aksi dengan sumber daya yang dikeluarkan.
Rencana aksi dirapatkan lebih dahulu secara organisasi. Kemudian, diputuskan pembentukan tim kecil eksekutor dan segera melakukan perencanaan.
BACA JUGA: Densus 88 Tembak Mati Ketua RT Dua Periode
Total rentang waktu antara perencanaan hingga aksi bisa mencapai tiga bulan. Itulah yang membuat aksi-aksi JI selalu besar. Rakitan bomnya matang. Waktu peledakan juga sangat matang sehingga daya rusaknya begitu besar.
Kedua, JI selalu memaknai jihadnya sebagai jihad ofensif. Karena itu, JI tidak pernah menggunakan perempuan dan anak-anak dalam aksinya.
BACA JUGA: Anton Si Terduga Teroris Ditembak Mati, Belum Bayar Utang
Menurut dia, tidak sedikit akhwat JI yang dulu menyatakan siap menjadi pengantin bom bunuh diri. Namun, para petinggi JI saat itu tidak pernah menanggapinya dan tak pernah melakukan skema jihad ofensif dengan menggunakan perempuan serta anak-anak.
Hal tersebut berbeda dengan JAD maupun organisasi teroris yang berafiliasi ke ISIS. Selain JAD, ada Khatibatul Iman pimpinan Abu Husna alias Abdur Rohim serta kelompok Hendro Fernando dan Brekele yang berafiliasi ke ISIS.
Ketiga, perbedaan JI dengan ISIS sudah terjadi pada pemaknaan jihad tanzhim. Jika JI bergerak sebagai sebuah satu kesatuan terorganisasi, JAD bergerak dalam sel-sel kecil yang lebih otonom. Cukup mendapat perintah ’’lakukan amaliyah’’, mereka pun melakukannya dalam sel kecil sesuai dengan kemampuan sel kecil tersebut.
BACA JUGA: Mereka tak Waras? Begini Penjelasan Ali Fauzi
Karena itu, efek kerusakannya terbilang kecil. Kerap, dari sejumlah teror, yang mati adalah anggota ISIS itu sendiri. Bukan sasarannya. Misalnya, serangan bom di Mapolrestabes Surabaya dan GKI Jalan Diponegoro, Surabaya.
Namun, ideologi yang membuat mereka bisa mengorbankan perempuan dan anak mereka adalah pandangan mereka soal jihad. Ketika melancarkan teror, mereka merasa jihad mereka adalah jihad daf'i atau jihad defensif. Dalam jihad defensif ini, memang diperbolehkan menggunakan perempuan dan anak sebagai senjata.
’’Inilah yang kemudian membuat mereka tega memakaikan bom ke anak-anak mereka sendiri,’’ ungkap Ali.
Karena itu, mantan instruktur di Kamp Hudaibiyah dan Pawas, Filipina Selatan, tersebut menyatakan, para pengikut ISIS itu merupakan potensi yang mengerikan. ’’Sebab, boleh dibilang, mereka menggunakan segala cara. Antisipasinya menjadi repot karena perempuan dan anak-anak menjadi senjata,’’ tandasnya. (c5/ano)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Provokatif, 1.285 Akun Medsos Diblokir
Redaktur & Reporter : Soetomo