Anton Si Terduga Teroris Ditembak Mati, Belum Bayar Utang

Jumat, 18 Mei 2018 – 00:56 WIB
Rumah terduga teroris Dedy Sulistiantono di Jalan Sikatan, Surabaya, dijaga petugas Satpol PP. Foto: Guslan Gummilang/Jawa Pos

jpnn.com - Tiga terduga teroris yang sudah tewas, yakni Anton Ferdiantono, Tri Murtiono, dan Dedy Sulistiantono sama-sama dikenal sebagai sosok tertutup oleh para tetangga.

JOS R.-MIRZA A.-DWI, Surabaya; HASTI EDI, Sidoarjo

BACA JUGA: Provokatif, 1.285 Akun Medsos Diblokir

ILALANG memenuhi halaman rumah di kawasan Manukan Indah, Surabaya, itu. Tanaman liar tersebut juga muncul dari sela-sela lantai. Pagarnya juga berkarat.

’’Sudah sejak 2010 rumah itu memang dibiarkan kosong,’’ kata Bani Pranoto, ketua RW 3, Kelurahan Manukan Kulon, Kecamatan Tandes. Di rumah itulah Anton Ferdiantono dan Dedy Sulistiantono alias Teguh dibesarkan. Dua terduga teroris tersebut tewas dalam dua kesempatan berbeda.

BACA JUGA: Tri Murtiono Pelaku Bom Mapolrestabes Ternyata Takut Mati

Anton, 47, tewas setelah ditembak Densus 88 pada Minggu malam (13/5). Itu terjadi setelah dia lebih dulu terluka akibat bom rakitan di rusun yang ditinggalinya bersama keluarga di Rusunawa, Wonocolo, Sidoarjo. Akibat ledakan itu pula, istrinya, Puspita Sari, 47, dan anak tertuanya, Hilta Aulia Rahman, 17, tewas.

Pada hari yang sama, pada pagi harinya, tiga gereja di Surabaya juga menjadi sasaran pengebom bunuh diri yang semua merupakan anggota keluarga Dita Oepriarto. Sehari kemudian (14/5), Dedy alias Teguh, si adik, juga tewas dalam penggeberekan di rumahnya di Manukan Kulon.

BACA JUGA: Polisi Dalami Buletin Al Fatihin Alat Propaganda ISIS

Dita, Anton, dan Dedy semuanya berada dalam jaringan yang sama: Jamaah Ansharut Daulah. Begitu pula Budhi Satrio yang tewas dalam penangkapan di rumahnya di Sukodono, Sidoarjo.

Bani yang juga guru SD Anton mengenang muridnya itu sebagai murid yang cerdas. Langganan juara kelas dan akhirnya bisa berkuliah di ITS. ’’Setelah lulus, dia membuka usaha permak elektro di rumahnya. Dia jago perbaiki barang-barang elektronik,’’ paparnya.

Usahanya kebanjiran pesanan dari warga. Meski demikian, sifat Anton tak berubah. Tetap tertutup. ’’Jarang komunikasi, tapi orangnya ramah dan baik,’’ terang Budi Santoso, ketua RT 11 Manukan Indah, saat ditemui di rumahnya, Rabu pagi (16/5).

Bani juga mengenang, Dedy berkarakter mirip si kakak. Pria 45 tahun itu juga dikenal tertutup. ’’Dia juga pendiam dan suka menitip arisan setiap minggu. Tapi, sudah dua bulan dia nggak nitip arisan dan menghilang,’’ katanya.

Selama tinggal di Manukan Indah, Anton dikenal sebagai sosok agamais. Dia rajin mendatangi sejumlah pengajian beserta keluarga. Saking agamaisnya, dia enggan melakukan kontak fisik atau sekadar bersalaman dengan lawan jenis.

Diperkirakan, menjelang 2006, dia memutuskan untuk pindah rumah dari orang tua dan adiknya. Lantas mengontrak rumah tak jauh dari rumah keluarganya selama setahun. ’’Pernah tinggal di RT 10. Setelah itu pindah ke RT 11,’’ terangnya.

Kemudian, dia kembali pindah ke Gedangan, Sidoarjo. Sementara itu, ibu dan adik-adiknya masih berada di Manukan Indah. ’’Sejak saat itu dia nggak ada kabar,’’ lanjutnya.

Rumah orang tua Anton dan Dedy tak lagi ditinggali sejak sang ayah yang merupakan pensiunan TNI-AL meninggal pada akhir 2010. Kepada salah seorang tetangga, Anton sempat menjadikan rumah itu sebagai jaminan utang.

Utang 15 juta itu belum dibayar sampai kini. Belakangan diketahui, ternyata dia juga menjaminkan rumah tersebut ke banyak pihak lain. Para tetangga di Manukan Indah baru mengetahui lagi kabar Anton saat muncul kabar dia tewas. Ternyata, sejak 2015 dia tinggal di Rusunawa Wonocolo bersama istri dan keempat anak.

Di rusunawa itu pula, di lantai yang sama tapi di rusun yang berbeda, tinggal ibunda Anton, Sukowati, dan adiknya, Adhi Hartono alias Dodi. Anton tinggal di kamar nomor 2, Sukowati di kamar nomor 5, sedangkan Adhi di nomor 20.

’’Sejak kejadian (pada Minggu malam lalu) itu, keluarganya tidak terlihat. Dibawa polisi ke polda, kata pengelola rusunawa,’’ ujar Lil Mutaqin, penghuni kamar 23. Mutaqin tinggal di kamar yang berseberangan dengan kamar Anton. ’’Saya yang pertama masuk ke kamar itu setelah terdengar bunyi ledakan,’’ ucapnya.

Begitu masuk kamar sumber ledakan, Mutaqin melihat Anton terkapar. Namun, dia tidak lantas membopongnya. Bapak tiga anak tersebut tidak tahu harus membawanya ke rumah sakit dengan kendaraan apa. ’’Lukanya parah. Saya telepon rumah sakit agar mengirim ambulans,’’ paparnya.

Dia belum menyadari bahwa di kamar itu juga ada Puspitasari dan Hilta. ’’Baru tahu pas polisi sudah datang dan gedung sudah steril. Dikabari bahwa istri dan anaknya juga meninggal,’’ ujarnya.

Mutaqin tidak menyangka tetangga di seberang kamarnya itu adalah seorang teroris. Sebab, selama tinggal di sana, tidak pernah ada gelagat mencurigakan. ’’Orangnya baik,’’ jelasnya. Dia dan keluarga Anton kerap bertegur sapa. Ketiga anaknya juga sering bermain dengan anak-anak Anton. ’’Sampai sekarang masih percaya gak percaya,’’ ungkapnya.

BACA JUGA: Raut Wajah Aisyah Putri Berubah saat Ditanya Kapolrestabes

Ketika bom meledak di kamar itu, Ainur Rahman, 15, anak kedua Anton, sedang berada di kamar nomor 5. Kamar neneknya. Jadi, dia selamat. Ainur juga yang kali pertama membopong dua adiknya yang terluka ke luar kamar agar mendapat pertolongan. Yakni, Faizah Putri, 11, dan Garida Huda Akbar, 10.

Ibu dan adik Anton, kata dia, terlihat sangat terpukul setelah kejadian. Mereka seperti tidak tahu bahwa Anton adalah perakit bom. ’’Ibunya hanya nangis di bawah,’’ ungkapnya. Adhi, adik Anton, akrab dipanggil Dodi di sana. Namanya sama dengan penghuni kamar nomor 1. Yakni, Dodik Permadi.

Adhi dan ibunya tinggal di rusunawa lebih lama setahun daripada Anton. Mereka sudah menetap dalam empat tahun terakhir. Seperti si kakak, ayah satu anak itu juga berjualan kue. Dititipkan ke warung-warung di sekitar rusunawa.

Adhi juga dikenal sebagai penjual paket perdana internet. ’’Baik orangnya. Jika ada kue yang sisa, itu diberikan ke anak-anak warga lantai 5,’’ kata Dodik, penghuni kamar nomor 1.

Dia tidak menampik bahwa Anton tidak menyekolahkan anak-anaknya di sekolah formal. Mereka belajar kepada tantenya, istri Adhi. ’’Kalau yang paling besar (Hilta), kan sudah lulus sekolah. Baru setahun di sini. Dulunya mondok, tapi gak tahu di mana,’’ ujarnya.

Dodik merasa selama ini tidak ada friksi antara Anton dan ibu serta adiknya. Mereka terlihat biasa saja. Hanya, dia mengakui, Anton dan Adhi memang tidak terlalu sering ngobrol. ’’Pak Anton memang orangnya pendiam. Jadi, bisa dimaklumi,’’ ujarnya. (*/c5/ttg)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Teroris Incar Anggota Polri, Semoga Polisi Tak Ciut Nyali


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler