jpnn.com - JAKARTA – Tim advokasi pasangan calon presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, tidak hanya memersoalkan surat edaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 1446 dan 1449 yang diterbitkan pada 25 Juli 2014.
Namun juga surat edaran yang dikeluarkan beberapa hari sebelum KPU menetapkan hasil rekapitulasi nasional pemilu presiden, 22 Juli 2014. Yaitu Surat Edaran Nomor 1411, tertanggal 18 Juli 2014.
BACA JUGA: Kotak Suara Dibuka, Formulir C1 Diserahkan ke KPU
Menurut salah seorang tim advokasi Prabowo-Hatta, Didi Supriyanto, dalam surat edaran tersebut KPU, telah meminta agar KPU di daerah memersiapkan diri menghadapi perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) pemilihan presiden. Padahal saat itu baru dilaksanakan rapat pleno rekapitulasi hasil pemilu dari pemilih di luar negeri, sementara rapat pleno rekapitulasi nasional baru diselenggarakan pada 20 Juli 2014.
“Surat Edaran tersebut seperti sudah ada skenario dari mereka (KPU) untuk memaksakan rekapitulasi tidak meleset dari jadwal penetapan hasil pemilu presiden 22 Juli. Padahal saat itu kami sudah menyurati agar KPU melakukan penundan penetapan karena kita menduga masih terdapat banyak pelanggaran yang belum diselesaikan,” ujar Didi di Gedung Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Jakarta, Jumat (1/8).
BACA JUGA: Ingatkan KPU Hentikan Pembukaan Kotak Suara
Sikap tersebut menurut Didi sangat mengkhawatirkan bagi pelaksanaan pemilu. Karena di satu sisi penyelenggara pemilu terkesan tidak menindaklanjuti setiap pengaduan yang mereka sampaikan.
Sementara di sisi lain, telah meminta jajaran di bawahnya memersiapkan diri, apalagi kemudian KPU mengeluarkan surat edaran nomor 1446 dan 1449 pada 25 Juli, terkait pengumpulan salinan formulir model A5 PPWP (surat keterangan pindah memilih di TPS lain) dan formulir model C7 PPWP (daftar hadir pemilih di TPS dalam pemilu presiden dan wakil presiden).
BACA JUGA: Inilah 7 Situs Portal Berita Palsu
“Surat edaran katanya mengacu keberatan saksi. Saya kebetulan saksi dalam rapat pleno, memang kita mengajukan beberapa keberatan, karena ada rekomendasi Bawaslu yang belum dilaksanakan KPU. Tapi keberatan kami diabaikan. Rapat tetap berjalan sampai untuk rekapitulasi DKPI Jakarta (yang bermasalah) tetap diketuk. Akhirnta kami lakukan walk out,” katanya.
Tanpa ada saksi dari pasangan capres Prabowo-Hatta, KPU kata Didi, tetap menyelesaikan rekapitulasi nasional dan menetapkan hasilnya pada 22 Juli. Menurutnya hal tersebut sangat aneh karena kemudian setelah itu KPU memerintahkan jajaran di bawahnya melakukan pembukaan kotak suara terkait protes yang mereka ajukan saat rapat pleno.
“Ini kan aneh, kenapa setelah proses berakhir baru dibuka untuk (persiapan) bukti di pengadilan. Selain itu gugatan kami kan kita layangkan pada 25 Juli Pukul 20.00 WIB. Itu pun belum deregister, tapi di tanggal tersebut KPU sudah mengeluarkan surat edaran,” katanya.
Menurut Didi, pembukaan kotak suara setelah tanggal 22 Juli oleh KPU, tidak dapat dibenarkan. Karena kewenangan telah berpindah ke Mahkamah Konstitusi (MK), mengingat pihaknya mengajukan PHPU.
“Proses ini sudah masuk MK. Sejak 22 Juli itu kewenangannya beralih ke MK. Karena itu bagi kami ini suatu pelangaran berat. Makanya sebelum mengadu ke DKPP, kemarin kita juga sudah melaporkan KPU DKI Jakarta ke Bawaslu Provinsi dan kepolisian karena pembukaan kotak suara. Kami juga melangkah ke DKPP karena dokumen itu (surat suara) harusnya disimpan di tempat yang aman dan baru dibuka pada saatnya,” ujar Didi.
Menurutnya atas surat edaran KPU setidaknya melanggar Peraturan KPU Nomor 21 dan 31 tahun 2014, Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 dan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2011 tentang pemilu.(gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Polri Didesak Usut 7 Situs Berita Palsu
Redaktur : Tim Redaksi