TII Minta Presiden Tolak Pembahasan Revisi UU KPK

Jumat, 06 September 2019 – 18:12 WIB
Ilustrasi KPK. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Transparency International Indonesia (TII) menilai, kesepakatan merevisi kembali UU KPK di ujung masa bakti DPR 2014-2019, memperlihatkan adanya upaya pelemahan kelembagaan KPK secara sistematis. Apalagi dalam rapat paripurna DPR Kamis (5/9) kemarin, telah disepakati empat poin revisi yang mengatur perubahan kedudukan dan kewenangan KPK.

Pertama, penyadapan yang dilakukan KPK harus melalui izin Dewan Pengawas KPK. Kedua, dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, KPK diawasi oleh Dewan Pengawas KPK. Ketiga, KPK diberikan kewenangan untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan (SP3), jika kasus tidak selesai dalam jangka waktu paling lama satu tahun.

BACA JUGA: Revisi Undang-Undang KPK Bisa Mengancam Masa Depan Jan Ethes

Keempat, kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum ditempatkan sebagai cabang kekuasaan eksekutif atau pemerintahan. Pegawai KPK diatur menjadi aparatur sipil negara (ASN) yang tunduk sesuai peraturan perundang-undangan dan status penyelidik serta penyidik diatur harus berasal dari institusi tertentu dengan menggunakan sistem rekrutmen sesuai institusi tersebut.

"Pasal 6 Konvensi Antikorupsi PBB (UNCAC) sudah menegaskan, lembaga antikorupsi harus dilengkapi dengan independensi yang diperlukan untuk menjalankan fungsinya secara efektif dan bebas dari pengaruh yang tidak semestinya, serta sumberdaya material, staf, dan pelatihan yang memadai," ujar Sekjen TII Dadang Trisasongko dalam siaran pers yang diterima, Jumat (6/9).

BACA JUGA: Jokowi Belum Mengerti Materi Revisi UU KPK

BACA JUGA: Semestinya Pegawai KPK Bisa Bersikap Netral dan Tak Asal Tuduh soal Capim

Menurut Dadang, syarat yang ditetapkan dalam Pasal 6 Konvensi Antikorupsi PBB (UNCAC) seharusnya dilaksanakan mengingat Indonesia telah menjadi negara pihak pada UNCAC sejak ratifikasi 18 Desember 2003 lalu.

BACA JUGA: Tolak Revisi UU KPK, Bang Saut Berorasi soal Konvensi PBB

"TII menilai seluruh substansi RUU yang diajukan DPR ini berpotensi mengancam independensi KPK," ucap Dadang.

Hal-hal yang dimaksud meliputi, sumber daya manusia KPK di masa depan tidak lagi mencirikan sebagai sebuah lembaga yang independen. Dalam naskah RUU KPK, pegawai lembaga antirasuah dikategorikan sebagai aparatur sipil negara (ASN) yang tunduk pada sistem di bawah kementerian yang membidangi kepegawaian.

Poin revisi dinilai tidak relevan dengan semangat penguatan lembaga antikorupsi berdasarkan mandat UNCAC maupun prinsip-prinsip Jakarta. Ketergantungan secara institusi akan memengaruhi KPK dalam menjalankan tugasnya.

Kemudian, penyelidik hanya berasal dari Polri (pasal 43 ayat 1). TII menilai kebijakan ini tidak sejalan dengan penguatan institusi KPK untuk dapat mengangkat penyelidik dan penyidik secara mandiri. Padahal, pegawai yang mandiri merupakan syarat penting yang tidak boleh diabaikan guna menciptakan penegakan hukum korupsi yang efektif. Keberadaan penyelidik dan penyidik yang berasal dari institusi lain justru dapat menimbulkan loyalitas ganda dan konflik kepentingan dalam institusi KPK.

"Lalu, penyelidik dan penyidik KPK diatur harus melalui mekanisme yang dirancang oleh institusi kepolisian dan/atau kejaksaan (pasal 43A ayat 1 huruf c dan pasal 45A ayat 1 huruf c). Faktanya selama ini KPK secara mandiri mampu menyelenggarakan rekrutmen terhadap penyelidik dan penyidik tanpa harus melalui institusi kepolisian dan kejaksaan," kata Dadang.

Bahkan, KPK telah menjalin kerjasama dengan penegak hukum di negara lain terkait dengan rekrutmen penyelidik dan penyidik.

Menurut Dadang, jika proses dan mekanisme pengangkatan penyelidik serta penyidik diwajibkan melalui skema institusi tersebut, maka kondisi yang ada berpotensi memunculkan konflik kepentingan jangka panjang. Sama halnya ketika banyak pihak mempersepsikan bahwa penyidik KPK harus berasal dari institusi penegak hukum lain.

TII juga menilai keberadaan dewan pengawas sebagaimana diatur dalam Bab VA tentang Dewan Pengawas, dengan segala kewenangan yang diberikan dalam RUU, berpotensi mengancam proses pelaksanaan tugas penegakan hukum. Baik dalam hal penyidikan maupun penuntutan perkara. Padahal, sistem pengawasan KPK selama ini telah berjalan dengan baik.

Karena itu, TII meminta presiden menolak pembahasan revisi UU KPK dengan tidak mengirimkan surat presiden (Surpres). Presiden tidak boleh tidak tahu terhadap inisiatif revisi UU KPK.

TII juga mendesak DPR untuk segera menarik revisi UU KPK yang telah disepakati. TII menilai poin-poin perubahan yang diusulkan sangat berpotensi mengurangi kewenangan dan independensi yang dimiliki KPK.

"Hal ini diperkuat dengan tidak adanya basis kajian mendalam terhadap revisi UU KPK, yang diikuti dengan tidak adanya proses yang transparan, akuntabel dan partisipatif. Kondisi ini justru akan berdampak buruk bagi penegakan hukum korupsi di Indonesia," pungkas Dadang. (gir/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... DPR: Polri Bisa Terima, KPK Kok jadi Masalah


Redaktur & Reporter : Ken Girsang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler