jpnn.com, MATARAM - Sebagai daerah yang mengandalkan industri pariwisata, NTB menjadi salah satu provinsi paling terpukul akibat mahalnya harga tiket pesawat.
Gubernur NTB H Zulkieflimansyah menjelaskan, kenaikan harga tiket harus dilihat secara lebih komprehensif. Harga tiket mahal karena ada upaya pemerintah meningkatkan keamanan penerbangan.
BACA JUGA: Malindo Air Bakal Terbang Perdana ke Hokkaido, Jepang
Ia mencontohkan, maskapai Lion Group selama ini beroperasi 11 jam per hari sebagai salah satu strategi mengejar tiket murah. Tapi dengan 11 jam, jadwal Lion Group sering telat dan mendapat protes warga.
Sekarang beroperasi tujuh jam supaya bisa tepat waktu. Tapi konsekuensinya tiket tidak bisa murah lagi. Kondisi itu kini justru sekarang menjadi keluhan penumpang, harga tiket terlalu mahal.
BACA JUGA: Lion Air Tawarkan Tarif Promo Medan dan Jayapura
BACA JUGA: Tiket Pesawat Mahal, Liburan ke Luar Negeri Lebih Murah
Setelah bertemu dengan Rusdi Kirana, pemilik Lion Air Group yang juga Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Zul mengungkapkan, pihak maskapai meminta bantuan kepada pemerintah daerah. Banyak komponen biaya yang harus ditanggung maskapai saat ini.
BACA JUGA: Bagasi Berbayar Kurangi Intensitas Perjalanan Wisata
Seperti pajak, biaya parkir, hingga harga avtur yang mahal. Sehingga biaya operasional tinggi, sementara penumpang sedikit.
"Mereka ingin kita ngomong ke Angkasa Pura untuk menurunkan pajak dan biaya parkir," katanya.
Persoalan itu bukan hanya jadi masalah di NTB, tapi seluruh daerah di Indonesia. Tidak hanya Lion Air, maskapai lain seperti Garuda Indonesia juga pernah ditemui Zul.
Tapi sampai saat ini belum ada rencana penambahan frekuensi penerbangan karena turunnya jumlah penumpang. Di Bali harga tiket lebih murah karena penumpang banyak yang membuat frekuensi penerbangan jadi tinggi. Demikian juga Lombok, bila penumpang banyak penerbangan juga akan ditambah.
"Untung Air Asia tidak mengubah jadwal untuk membuka rute penerbangan Lombok-Australia," katanya.
Zul berharap kondisi itu akan membaik. Sekarang penumpang sepi karena low season, tapi pada high season dan peak season nanti, pasti akan terjadi penambahan jumlah penumpang. Dengan sendirinya frekuensi penerbangan akan ditambah.
Dalam pertemuan dengan Rusdi Kirana pekan lalu di Malaysia, Rusdi menjelaskan, untuk mengakomodir kebutuhan NTB, perlu ada subsidi atau insentif kebijakan dari pemda setempat. Misalnya pemda menyediakan lahan untuk dijadikan tempat parkir atau hanggar tambahan bagi pesawat sehingga mengurangi anggaran maskapai.
Takait itu, Gubernur Zul menyatakan, awalnya Bandara Selaparang di Mataram bisa digunakan sebagai hanggar atau lahan parkir pesawat. Itu bisa menjadi salah satu solusi alternatif untuk memberikan insentif kebijakan pada maskapai.
Tapi setalah dikaji, apron atau tempat parkir pesawat di Lombok International Airport (LIA) bandara masih cukup luas untuk menampung pesawat. "Jadi masalahnya bukan di situ," tandasnya.
BACA JUGA: Soal Harga Tiket Pesawat, Budi Minta Garuda Konsisten
Kepala Dinas Pariwisata NTB H Lalu Mohammad Faozal menjelaskan, low season tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Penurunan jumlah kunjungan terjadi di seluruh Indonesia.
Penyebabnya bukan karena internal pemerintah daerah, tetapi banyak faktor eksternal yang mempengaruhi tingkat kunjungan. Mulai dari kenaikan harga tiket yang tidak terkontrol, penundaan penerbangan ke berbagai tujuan, hingga bagasi berbayar.
Ia mengklaim, di tengah situasi yang tidak menentu tersebut, wisata Meeting Incentive, Convention and Exhibition (MICE) jadi penyelamat. Beberapa pertemuan tingkat nasional dan acara pemerintah daerah banyak digelar di hotel-hotel. Sehingga pelaku usaha hotel kembali bergairah. Para tamu yang hadir dalam MICE bisa datang karena dibiayai instansinya, harga tiket tidak jadi persoalan.
Di sisi lain penerbangan internasional juga sampai saat ini tidak ada masalah. Maskapai Air Asia dan Slik Air sudah mulai membaik. Bahkan Air Asia akan menambah frekuensi penerbangan. "Tapi penerbangan domestik tertekan, di Bali pun sama," ujar Faozal.
Menurutnya, pemerintah daerah tidak bisa mengintervensi terlalu jauh karena masalahnya sudah menasional. Sehingga harus diselesaikan dengan kebijakan dari pusat. "Kewenangan kita untuk intervensi airline tidak ada," katanya.
Di tingkat pusat saja persoalan tersebut belum bisa diatasi. Jangankan kementerian, presiden sudah bicara di hari ulang tahun Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI). Presiden akan memanggil Dirut Pertamina terkait harga avtur dan memanggil maskapai terkait harga tiket. Hingga saat ini harga tiket masih mahal. "Tidak ada dampak bicaranya presiden," katanya.
Maskapai Garuda Indonesia menurunkan harga 20 persen. Tapi diturunkan dari harga yang sudah naik, sehingga tetap mahal.
Upaya Pemprov menurutnya sudah maksimal. Gubernur NTB sudah bersurat ke menteri dan maskapai, tapi tetap saja belum ada solusi. Ia sendiri sudah bicara dengan Menteri Pariwisata, tapi kementerian sangat hati-hati berbicara karena menyangkut kewenangan menteri yang lain. Seperti Menteri BUMN dan Menteri Perhubungan. (ili/r7)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Keterlaluan
Redaktur & Reporter : Soetomo