Tiket Pesawat Mahal, Insentif Fiskal Hanya Solusi Jangka Pendek

Senin, 24 Juni 2019 – 01:20 WIB
Petugas maskapai penerbangan melayani konsumen soal tiket pesawat. Foto: Kaltim Post/JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Pemerintah sudah memiliki dua cara untuk meredam keriuhan masyarakat terhadap harga tiket pesawat.

Salah satu solusinya ialah memberikan insentif fiskal. Opsi lainnya ialah memasukkan maskapai asing.

BACA JUGA: Darmin Tunggu Usulan Formulasi Dasar Penurunan Harga Tiket Pesawat

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution sebelumnya menyatakan akan memberikan treatment dalam negeri untuk menurunkan harga tiket.

BACA JUGA: Mulai Tahun Depan Beli Elpiji 3 Kg Harus Pakai Kartu

BACA JUGA: Harga Tiket Pesawat Turun, Semoga Bukan Hanya Skema Diskon

Salah satu wacana yang berkembang adalah menghapus pajak pertambahan nilai (PPN) sewa pesawat.

Jika solusi tersebut tidak bisa menurunkan harga tiket, pemerintah akan mencari cara lain.

BACA JUGA: Lion Air akan Turunkan Harga Tiket

Rencana pemerintah menghapus PPN sewa pesawat disambut baik oleh maskapai.

“Sangat membantu. Alhamdulillah,” kata CEO AirAsia Indonesia Dendy Kurniawan.

Hal tersebut diyakini bisa meringankan beban biaya yang ditanggung maskapai.

Sebab, maskapai sebenarnya sudah dibebani beragam PPN. Mulai PPN sewa pesawat, PPN pembelian avtur, serta PPN lain yang dipungut dari setiap transaksi barang dan jasa yang dilakukan perusahaan.

Insentif fiskal itu, menurut peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda, memang menjadi kebijakan jangka pendek yang ampuh.

Menurut Huda, keuangan perusahaan akan sedikit tertolong sehingga maskapai bisa menurunkan harga tiket secara instan.

Apalagi, maskapai yang sudah melayani rute domestik tidak perlu bersaing dengan maskapai asing.

Namun, Huda mengingatkan bahwa masih ada masalah inti di industri penerbangan.

“Meski tingkat keterisian (load factor) maskapai Indonesia di atas rata-rata breakeven load factor (BLF) maskapai Asia-Pasifik, maskapai di Indonesia mengaku masih merugi. Jika merugi, artinya ada yang tidak efisien di penerbangan kita,” paparnya.

BLF Indonesia rata-rata 78 persen. Sementara itu, BLF maskapai di Asia-Pasifik rata-rata 67-69 persen.

Struktur pasar yang lebih banyak dikuasai grup besar seperti Lion Air dan Garuda Indonesia, lanjut dia, juga masih menjadi PR bagi pemerintah.

Garuda Indonesia Group dan Lion Air Group menguasai 83 persen pasar penerbangan Indonesia.

Jika kini Sriwijaya melebur ke Garuda Indonesia Group, penguasaan Garuda Indonesia dan Lion Air Group mencapai 96 persen.

“Sangat terkonsentrasi,” ujarnya.

Ketika dua grup besar sudah menguasai pasar, tambah Huda, mudah bagi perusahaan menggunakan tarif batas atas, tetapi tetap tidak menyalahi aturan pemerintah.

Padahal, jarang ada negara yang menetapkan batas harga di industri penerbangan.

“Di negara-negara lain, semua maskapai akan berlomba menjadi paling efisien (karena tidak ada batasan harga yang diatur pemerintah),” ucapnya. (rin/lyn/c10/oni)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Harga Tiket Pesawat Mulai Turun


Redaktur & Reporter : Ragil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler