Korupsi e-KTP

Tim BPPT Ungkap Kejanggalan Pertemuan Tim Fatmawati

Kamis, 13 April 2017 – 13:09 WIB
Pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong (berjaker hitam) saat digelandang penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Foto: Imam Husein/Jawa Pos

jpnn.com, JAKARTA - Dugaan keterlibatan pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong dalam patgulipat proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) semakin terkuak.

Pada persidangan perkara e-KTP di Pengadilan Tindan Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (13/4), saksi bernama Tri Sampurno dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengaku pernah ikut dalam pertemuan dengan beberapa pengusaha di rumah toko (ruko) di kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan pada 2010. Sepengetahuan Sampurno, ruko itu milik Andi Narogong.

BACA JUGA: KPK Panggil Miryam sebagai Tersangka

"Kalau dengar dari berita, saya tahu (ruko) punya Bapak Dedi Prijono atau Pak Andi Agustinus. Yang saya dengar begitu," kata Sampurno saat bersaksi bagi dua mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan Sugiharto.

Sampurno yang menjadi bagian tim teknis proyek e-KTP itu menuturkan, mulanya BPPT menerima undangan dari Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) untuk melakukan pertemuan di Ruko Graha Mas Fatmawati. Di antara yang hadir dari BPPT adalah Husni Fahmi, Slamet, Wahyu, dan Sri Pamungkas.
 
Selain dari BPPT, ada pula pihak PNRI serta beberapa orang pengusaha. Menurut Sampurno, ada lima kali pertemuan yang melibatkan perwakilan BPPT dengan pihak PNRI dan pengusaha.

BACA JUGA: Ayo Tebak, Papa Novanto Menelepon Sungguhan atau Tidak?

“Tim PNRI menyampaikan keinginan bekerja sama dengan BPPT untuk mengembangkan e-KTP. Kemudian PNRI usulkan pokja yang akan dibentuk," ujarnya.

Sampurno menambahkan, pada suatu waktu setelah pertemuan, dia dititipi tiga buah laptop oleh Setyo Dwi Putranto dari PNRI. Laptop itu yang kemudian selalu digunakan untuk mengerjakan pengembangan e-KTP.

BACA JUGA: Ingat, Jangan Sampai DPR Diseret ke Masalah Setnov

Namun, Sampurno merasa janggal dengan pertemuan itu. Sebab, tidak semestinya pertemuan melibatkan pengusaha.

"Mengingat PNRI adalah pihak yang akan ikut kegiatan institusi pemerintah. Dalam pandangan saya jika kegiatan ini dilanjutkan akan berpotensi menimbukan permasalahan di kemudian hari di BPPT," paparnya.

Karena itu, dia mengusulkan kepada Husni Fahmi agar pertemuan itu dihentikan. Akibatnya, pertemuan di ruko Fatmawati itu tidak menghasilkan kesepakatan.

"Dari tim pertemuan tersebut di ruko Fatmawati tidak ada produk atau sistem yang dihasilkan bersama. Juga tidak ada speksifikasi teknis yang kami susun bersama atau kami usulkan ke PNRI," katanya.

Sampurno memaparkan, pengusaha yang pernah hadir pada pertemuan itu adalah Yohannes Tanjaya, Johannes Marliem, Mudji Rachmat Kurniawan, Paulus Tanos, Dudy Susanto, serta Dedi Prijono dan Vidi Gunawan. Dedi dan Vidi merupakan saudara Andi Narogong.

Meski demikian, Tri mengaku tidak pernah melihat Andi Narogong yang disebut-sebut sebagai pemilik ruko Fatmawati. "Saya tidak pernah lihat Pak Andi," pungkasnya.

Untuk diketahui, pertemuan di ruko Fatmawati merupakan inisiatif Andi Narogong setelah mengadakan pembicaraan dengan Irman selaku Dirjen Dukcapil Kemendagri. Pertemuan itu dilakukan untuk mempersiapkan desain proyek e-KTP.

Setelah pertemuan itu, Andi membentuk tim Fatmawati.  Saat proses lelang berjalan, tim itu menyiasati aturan dengan membuat peserta bayangan.

Akhirnya, terbentuklah tiga konsorsium. Yaitu konsorsium PNRI, konsorsium Astragraphia dan konsorsium Murakabi Sejahtera. Pemecahan konsorsium dilakukan untuk merekayasa lelang proyek e-KTP. (Put/jpg)

BACA ARTIKEL LAINNYA... DPR Keberatan Setnov Dicegah, Ini Kritik dari Yusril


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler