jpnn.com, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi berpendapat dalil pemohon sengketa hasil Pilpres 2019, Prabowo Subianto – Sandiaga Uno, soal daftar pemilih tetap tidak wajar atau DPT siluman 17,5 juta dan daftar pemilih khusus (DPK) 5,7 juta tidak beralasan menurut hukum.
“Mahkamah berpendapat dalil permohonan tidak beralasan menurut hukum,” kata Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam sidang putusan sengketa Pilpres 2019 di MK, Kamis (27/7).
BACA JUGA: Jokowi: Rakyat Sudah Berbicara, Berkehendak
Saldi menjelaskan, pemohon mendalilkan adanya indikasi 17,5 juta DPT siluman. Menurut Saldi, pemohon menyatakan persoalan ini sudah dilaporkan ke termohon, tetapi KPU tidak mampu menjelaskan. Bahkan, lanjut dia, pemohon menyatakan KPU pada 17 April menambahkan 5,7 juta pemilih ke DPK. Hitungan pemohon, kata dia, DPT siluman dan DPK dijumlahkan akan menghasilkan 22.034.193 pemilih.
Saldi menambahkan, termohon sudah menjawab benar adanya laporan soal DPT 17,5 juta namun telah diselesaikan bersama-sama oleh pemohon KPU, pihak terkait Joko Widodo – KH Ma’ruf Amin, dan Bawaslu.
BACA JUGA: Bambang Widjojanto Cs Tak Becus Buktikan Kecurangan terkait Perolehan Nol Suara di Ribuan TPS
Termohon juga sudah tujuh kali rapat koordinasi dengan pemohon. Termohon membantah dalil adanya indikasi manipulatif terhadap penambahan 5,7 pemilih dalam DPK.
BACA JUGA: Bambang Widjojanto Cs Tak Becus Buktikan Kecurangan terkait Perolehan Nol Suara di Ribuan TPS
BACA JUGA: Sidang Putusan Sengketa Pilpres : MK Tolak Permohonan Prabowo - Sandiaga Seluruhnya
Menurut Saldi, DPK dimaksudkan melindungi hak pilih warga negara yang telah memenuhi syarat tetapi tidak terdapat dalam daftar pemilih. Menurut dia, pemilih dapat memilih dengan menunjukkan dokumen kependudukan seperti KTP.
Mahkamah menyatakan penyusunan DPT sudah melalui proses panjang mulai dari DP4, DPS, DPT, DPTHP1, DPTHP2, DPTHP3. Hasil akhirnya dalah DPT yang ditetapkan dalam rapat pleno KPU terbuka.
Rapat dihadiri dan disetujui Bawaslu, peserta pemilu baik itu parpol maupun paslon, dan pemerintah. Kemudian, dituangkan dalam keputusan KPU mengenai DPT yang diberlakukan sebagai daftar pemilih dalam Pemilu 2019. Dengan kata lain, kata Saldi, secara normatif ini adalah persoalan yang sudah selesai sesuai tahapan penyelenggaraan pemilu. Tepatnya, tegas dia, DPT dan DPTB dan DPK sudah selesai sebelum pelaksanaan pemungutan suara.
Menurutnya lagi, secara teknis terdapat jeda waktu antara hari penetapan DPT dan pemungutan suara. Dalam jeda waktu tersebut, terjadi persitwa kependudukan berakibat hilangnya hak pilih bagi penduduk. Misalnya, peristiwa perkawinan, pertambahan usia, maupun kematian. Serta yang memengaruhi hak pilih seperti mobilitas penduduk antarwilayah administrasi. “Semua peristiwa kependudukan itu harus selesai sebelum pemungutan suara,” katanya.
Pada sidang 19 Juni, lanjut Saldi, mahkamah memeriksa saksi dari pemohon, Agus Maksum, yang menerangkan ketidakwajaran DPT berupa adanya kode tidak wajar, NIK, NKK palsu, kesamaan tanggal lahir dalam jumah tak wajar serta KK manipulatif. Dalam pemeriksaan tersebut, ujar dia, pemohon tidak menghadirkan bukti P155 walaupun sudah dicantumkan dalam daftar alat bukti untuk dalil DPT tidak wajar.
Bukti P155 baru diserahkan dalam bentuk fisik Rabu 19 Juni 2019 pukul 10.14, masih dalam tenggat waktu maksimun pukul 12.00 yang diberikan mahkamah. “Oleh karena itu mahkamah berpendapat bukti dimaksud sah dan akan dipertimbangkan mahkamah,” katanya.
Saldi menjelaskan mengenai persoalan DPT, ketika nama seorang masuk dan terdaftar maka yang bersangkutan mempunyai hak memilih untuk ikuti pemungutan suara. Persoalan hak digunakan atau tidak sepenuhnya di tangan pemiliknya.
Menurut dia, mengikuti pemungutan suara adalah hak, bukan kewajiban. Seandainya diposisikan sebagai kewajiban, kata dia, mengikuti pemungutan suara juga bukan kewajiban hukum tetapi kewajiban moral warga negara sebagai bagian paritispasi dalam pemerintahan.
Berdasar uraian tersebut, lanjut Saldi, tidak terhindar akan timbul kemungkinan jumlah pemilih yang menggunakan hak pilih tidak akan sama dengan yang tercatat dalam DPT. Sehingga kemungkinan seorang tidak menggunakan hak pilihnya, atau hanya gunakan dalam pilpres tetapi tidak di pileg.
Saldi melanjutkan, terkait dalil 1,7 juta DPT siluman, dan 5,7 pemilih dalam DPK pemohon mengajukan bukti P155. Menurut Saldi, setelah mencermati dalil pemohon, mahkamah menemukan penjumlah pemilih tidak wajar dalam DPT ditambah DPK 23, 2 juta pemilih bukan 22,34 juta DPT sebagaiaman didalilkan.
Menurut Saldi lagi, setelah memerika bukti P155, mahkamah tidak menemukan bukti yang menunjukkan bahwa 17,5 juta adalah pemilih dalam DPT karena pemohon tidak menunjukkan di TPS mana mereka terdaftar. Mahkamah menyatakan, setelah diperiksa bukti P155 itu adalah hasil analisis Agus Maksmum terhadap DPTHP2. Hasil itu kemudian diserahkan Agus ke KPU 1 Maret 2019. Dalam dokumen serah terima diketahui bahwa 1 Maret 2019 itu telah diserahkan dugaan data ganda, invalid, dan manipulasi di Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat.
Menurut Saldi, kesalahan di DPTHP2 diakui termohon dan terdapat tahapan perbaikan dalam DPTHP3 sebagaimana telah dipertimbagkan mahkamah. Nah, ujar dia, DPTPH3 inilah yang disahkan sebagai dasar penentuan daftar pemilih pada Pemilu 2019 dan sudah disetujui semua pihak termasuk pemohon.
Saldi menambahkan, seandainya 22,3 juta pemilih yang dimaksudkan benar adanya, pemohon juga tidak dapat menghadirkan alat bukti lain yang dapat menunjukkan dan memberikan keyakinan mahkamah jumlah tersebu telah menggunakan hak pilih dan merugikan pemohon.
“Artinya, pemohon tidak dapat membuktikan bukan hanya apakah yang disebut sebagai pemilih siluman menggunakan hak pilih atau tidak, tetapi juga tidak dapat membuktikan pemilh siluman tersebut jika menggunakan hak pilihnya mereka memilih siapa. Dengan demikian, mempersoalkan kembali DPT menjadi tidak relevan lagi,” pungkas Saldi. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kalah Lagi, Prabowo Bilang Begini ke Pendukung
Redaktur & Reporter : Boy