jpnn.com - JAKARTA - Tim pakar untuk proses seleksi calon hakim konstitusi meragukan makalah yang dibuat Dr Sugianto. Keraguan itu disampaikan Prof Saldi Isra selaku anggota tim pakar, karena curiga makalah Sugianto sudah disiapkan dari rumah.
Keraguan Prof Saldi muncul karena 12 calon yang mendaftar diberi waktu satu jam untuk menyiapkan makalah tersebut di DPR. Namun, Sugianto dalam waktu 1 jam bisa menghasilkan makalah sebanyak 8 halaman. "Mungkin gak sejam, delapan halaman 1,5 spasi?" tanya Saldi.
BACA JUGA: DKPP Rehabilitasi Nama Baik Ketua KPU dan KIP Provinsi Aceh
Sugianto menjawab bahwa dirinya sudah mempersiapkan judul makalah yang dia buat. Kebetulan, lanjut Sugianto, dirinya juga sudah mempelajari masalahnya sehingga bisa menggarap makalahnya secara cepat.
Karenanya Sugianto menjamin makalah itu dibuat di DPR. "Memang saya sudah memahami, pertama kami ada kawan menyiapkan tidak jauh. Saya dapat judul sudah mempersiapkan dari awal, ada pemikiran-pemikiran yang kami masukkan. Makalah saya saya tulis di sini (DPR, red),” kata Sugianto.
BACA JUGA: Pilih Hakim Konstitusi, PAN-Golkar Siap Ikuti Rekomendasi Tim Pakar
Namun jawaban Sugianto tak memuaskan Saldi. Sebab, guru besar di Universitas Andalas Padang itu menganggap kecepatan kerja Sugianto tak masuk akal bila memang bisa membuat makalah setebal delapan halaman dengan 1,5 spasi dalam waktu sejam. Karena itu Saldi meminta Sugianto jujur kepada Tim Pakar.
Kecurigaan Saldi juga muncul lantaran Sugianto dalam makalahnya juga mengutip sejumlah nama sebagai referensi. Artinya, ada buku yang dijadikan panduan oleh dosen di Fakultas Hukum IAIN Syekh Nurjati Cirebon itu.
BACA JUGA: PBNU Desak RUU Jaminan Produk Halal Dibenahi
Makalah Sugianto juga dipersoalkan anggota tim pakat lainnya, Prof Natabaya. Mantan hakim konstitusi itu mempermasalah tata bahasa yang digunakan Sugianto. Termasuk penulisan Majelis Permusyawatan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara di makalahnya.
"Emang bener MPR lembaga tertinggi? Berdasarkan UUD yang sudah diamandemen empat kali macam sinetron ini, betul ini MPR tertinggi?" tanya Natabaya.
"Sebelum amandemen UUD 45, tertulis memang MPR tertinggi. Tapi setelah amandemen tak ada lagi lembaga tertinggi, tapi lembaga tinggi," jawab Sugianto.
Karena di makalah tertulis MPR sebagai lembaga tertinggi, Natabaya pun mengkritisi makalah tersebut. "Nah tulisan anda begitu (MPR lembaga tertinggi). Ini bahaya ini tulisan ini," tandasnya.(fat/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Hakim Doyan Selingkuh, MA tak Mau Sistem Mutasi Disalahkan
Redaktur : Tim Redaksi