Timpang

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Minggu, 12 Desember 2021 – 15:01 WIB
Dhimam Abror Djuraid. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Ketimpangan pendapatan dan kemiskinan adalah cerita lama. Indonesia sudah mengalami kemiskinan yang parah dan ketimpangan kaya miskin nan besar sejak era kolonialisme beratus-ratus tahun yang lalu.

Sampai sekarang persoalan kemiskinan dan ketimpangan masih tetap menjadi problem laten.

BACA JUGA: Urus Surat Keterangan Miskin Bayar Rp 15 Ribu, Pungli Lain Ada yang Rp 1,5 Juta

Perdebatan itu ramai lagi sekarang setelah Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Anwar Abbas memberikan kritik terbuka kepada Jokowi mengenai ketimpangan kaya dan miskin. Kritik itu disampaikan Anwar pada pembukaan Kongres Ekonomi Umat yang diselenggarkan oleh MUI pada Sabtu (11/12).

Kritik itu seolah menohok Jokowi yang hadir dalam forum itu. Tidak pakai lama, Jokowi langsung merespons kritik Anwar. Ketika diberi kesempatan memberikan sambutan untuk membuka kongres, Jokowi tidak membacakan teks sambutan yang sudah disiapkan timnya. Sepanjang sambutannya Jokowi berbicara tanpa teks untuk merespons kritik Anwar Abbas.

BACA JUGA: Mensos Tri Rismaharini Beberkan 6 Metode Pemutakhiran Data Kemiskinan

Anwar menyoroti masih banyaknya warga yang belum sejahtera. Anwar menyampaikan data gini ratio yang mengalami penurunan menjadi 0,59 yang menunjukkan bahwa ketimpangan di Indonesia melebar.

Indeks Gini mempunya skala nol sampai sepuluh. Makin rendah berarti kian rendah kesenjangan. Makin tinggi berarti kesenjangan makin lebar.

BACA JUGA: BUMDes Salah Satu Kunci Penanggulangan Kemiskinan Ekstrem

Anwar menyorot ketimpangan pemilikan tanah. Disebutkan bahwa satu persen penduduk menguasai 59 persen lahan yang ada di negeri ini. Sementara yang jumlahnya sekitar 99 persen itu hanya menguasai 41 persen lahan yang ada di negeri ini.

Studi mengenai ketimpangan ekonomi sudah sangat banyak dilakukan oleh para sarjana. Salah satu yang paling aktual dan paling tajam dilakukan oleh ekonom Prancis Thomas Piketty yang melakukan riset ekstensif dan menuangkannya dalam buku ‘’Capital in the 21th Century’’ (2020) yang dianggap sebagai karya fenomenal.

Piketty yang sekarang berusia 50 tahun mendapatkan gelar doktor ilmu ekonomi di Prancis dalam usia 22 tahun melakukan penelitian sangat ekstensif untuk bahan bukunya.

Ia membuka file-file sejarah perpajakan pada abad ke-17 sampai abad ke-20, dan mengaitkannya dengan data-data pendapatan dan perpajakan pada abad ke-21 ini.

Tidak tanggung-tanggung, Piketty melakukan studi penelitian selama 15 tahun sebelum menghasilkan buku setebal 600 halaman lebih.

Temuan utama dari Piketty adalah bahwa ketimpangan kayak miskin akan tetap ada sampai kapan pun karena struktur ekonomi internasional menciptakan peluang untuk terjadinya ketimpangan.

Ketimpangan adalah fenomena dunia yang sudah berlangsung selama 250 tahun lebih. Selama masa panjang itu berbagai kebijakan untuk mengatasi ketimpangan sudah dilakukan. Namun, ternyata ketimpangan masih menjadi persoalan laten yang tetap ada sampai sekarang.

Piketty juga menemukan dokumen lama di Indonesia—dahulu Hindia Belanda—berisi data-data perpajakan pemerintah penjajahan Belanda di Hindia Belanda. Dari data yang dipelajari Piketty menyimpulkan adanya pola yang sama yang memberi akibat ketimpangan yang sama pula.

Kesimpulan Piketty sederhana, tetapi jelas dan tegas, yaitu jika tingkat akumulasi modal naik lebih cepat ketimbang pertumbuhan ekonomi, maka ketimpangan ekonomi akan meningkat.

Selama akumulasi modal oleh orang-orang kaya dan korporat besar terus meningkat lebih cepat dari pertumbuhan ekonomi, maka ketimpangan akan makin tinggi.

Data yang diajukan Piketty sangat detail. Ia mengumpulkan data historis negara-negara Eropa yang maju dan beberapa negara berkembang sejak 1.800 untuk melakukan komparasi. Data dokumen penjajahan Belanda pada 1920 juga didapat oleh Piketty dengan cukup detail.

Dengan data historis tersebut Piketty memetakan hubungan antara kesenjangan dan distribusi pendataan dan distribusi kesejahteraan, serta hubungan antara kesejahteraan dan pendapatan.

Dengan ketersediaan data historis dan rumusan tersebut, Piketty menyimpulkan bahwa dengan kesenjangan yang terjadi pada abad ke-19 akan terjadi kembali lagi pada abad ke-21 dan akan menjadi lebih buruk pada masa mendatang.

Terlebih, di masa kini, modal makin terakumulasi pada segelintir orang. Hal ini ditunjukkan Piketty dengan menggambarkan bahwa 10% orang terkaya di Amerika Serikat bukan hanya memiliki 75 persen kekayaan nasional, tetapi bahkan antara 2010 hingga 2012, 1 persen orang terkaya di Amerika Serikat menikmati hampir 95 persen pertumbuhan pendapatan nasional.

Indikator yang kurang lebih sama terjadi di Indonesia. Apa yang dikemukakan Anwar Abbas adalah data lama yang menunjukkan ketimpangan yang menganga.

Penyelesaian masalah ini tidak bisa dilakukan hanya dengan distribusi kepemilikan tanah tanpa menyelesaikan persoalan struktural yang berhubungan dengan akumulasi modal yang dilakukan oleh 1 persen orang-orang crazy super-rich Indonesia dan para oligark ekonomi dan politik.

Kesenjangan ini bukan hanya menjadi persoalan ekonomi, tetapi menjadi persoalan sosial politik yang bisa membawa akibat dahsyat. Sebagai orang Prancis Piketty mengingatkan bahwa kesenjangan ekonomi bisa mengakibatkan revolusi besar seperti yang terjadi pada revolusi Prancis 1776.

Jika kesenjangan sosial tidak diatasi secara struktural dan mendasar maka ancaman kerusuhan besar dalam bentuk revolusi akan tetap muncul.

Salah satu sumber persoalan sosial serius yang disorot Piketty adalah apa yang disebutnya sebagai ‘’kapitalisme patrimonial’’ (patrimonial capitalism) yang menjadi gejala abad ini dan terus terjadi sampai sekarang.

Salah satu indikator berkembangnya kapitalisme patrimonial adalah munculnya orang-orang kaya baru, bukan karena kepintaran bisnis atau karena punya bakat bisnis, tetapi karena mendapatkan warisan.

Orang-orang kaya baru ini mendapatkan warisan dari keluarganya yang bisa dinikmati turun-temurun tanpa harus bekerja sedetik pun.

Piketty memberi contoh sosok Francoise Bettencourt Meyers asal Prancis pewaris perusahaan kosmetik raksasa L'Oreal, dengan kekayaan Rp 1.250 triliun wanita ini tercatat sebagai manusia terkaya ke-12 di seluruh dunia.

Ia mewarisi kekayaannya dari ayah dan kakeknya yang merupakan pendiri L’Oreal. Menurut Piketty, Bettencourt-Meyers menjadi kaya raya tanpa pernah bekerja satu menit pun di seumur hidupnya.

Dengan menggunakan data orang terkaya versi majalah Forbes, Piketty menyimpulkan bahwa Bettencourt memiliki kekayaan yang tumbuh lebih cepat dibandingkan seorang Bill Gates yang menemukan Microsoft.

Inilah fenomena kapitalisme warisan yang sekarang menjadi fenomena di dunia dan banyak terjadi di Indonesia juga.

Studi Piketty ini menjadi alarm yang harus menyadarkan semua orang bahwa pemberantasan kemiskinan tidak bisa terjadi secara otomatis seiring dengan pertumbuhan ekonomi.

Mazhab-mazhab mainstream itu terbantahkan semuanya oleh temuan Piketty. Dengan studi sejarah yang panjang dan mendalam Piketty menyimpulkan bahwa penanganan masalah kesenjangan ekonomi tidak bisa hanya diserahkan kepada ‘’tangan gaib’’ the invisible hand dalam sistem kapitalisme yang brutal.

Piketty mengusulkan penerapan pajak pendapatan yang progresif dan juga penerapan pajak progresif secara global untuk bisa mengendalikan akumulasi modal yang liar dan mengendalikan munculnya orang-orang kaya baru hasil warisan keluarga.

Menilik studi Piketty bisa dilihat bahwa apa yang dilakukan pemerintah Jokowi sekarang ini tidak menyentuh hal yang mendasar. Seperti biasanya, Jokowi hanya menyelesaikan asap dan tidak memadamkan api.

Orang-orang kaya hasil warisan dan yang kaya hasil perpaduan penguasa dan pengusaha masih banyak bermunculan.

Selama orang-orang kaya ini masih bermunculan dan cara pengumpulan kekayaan yang serakah masih tetap berlangsung, jangan harap ketimpangan sosial-ekonomi akan bisa dicapai. (*)


Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
Kemiskinan   Cak Abror   miskin   pajak  

Terpopuler