jpnn.com, JAKARTA - Ketua Program Studi Kajian Terorisme Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia (UI) Muhamad Syauqillah menilai tindak pidana terhadap ideologi negara dalam KUHP Pasal 188–190 perlu diatur lebih lanjut, khususnya terkait tindak pidana terorisme.
Menurut dia, banyak pelaku tindak pidana terorisme dimotivasi oleh ideologi tertentu yang jelas bertentangan dengan Pancasila.
BACA JUGA: Wamenkumham: KUHP Baru Bisa Atasi Kelebihan Kapasitas di Lapas
“Kejelasan dan rencana implementasi KUHP ini sangat penting. Sebagai pengkaji terorisme, saya melihat bahwa KUHP yang akan diberlakukan pada 2026, khususnya Pasal 188, 189, dan 190, secara tegas mengatur pidana bagi ideologi yang bertentangan dengan atau bahkan meniadakan Pancasila. Sementara di UU No. 5 Tahun 2018 mengatur perilakunya. Maka, bagaimana KUHP ini akan diimplementasikan?” kata dia dalam siaran persnya, Rabu (9/10).
Hal yang disampaikan Syauqi itu sejalan dengan pernyataan penyidik Densus 88, yang menyebutkan kebanyakan tersangka adalah karena masalah ideologi.
BACA JUGA: Wakil Ketua MPR Tegaskan Pancasila Ideologi Negara yang Tidak Bisa Diperdebatkan
Wakil Direktur SKSG Eva Achjani Zulfa mengatakan kebebasan individu untuk menganut ideologi tertentu dilindungi oleh HAM, tetapi juga dibatasi dengan aturan agar tidak merugikan orang lain.
Oleh karena itu, menurutnya, penanganan pidana ideologi harus dilakukan dengan hati-hati.
BACA JUGA: Muzani Sebut Kader Gerindra Wajib Jadi Pemersatu dan Menjaga Ideologi Negara
“Ketika negara terlalu overreaktif atau overkriminal dalam menangani tindak pidana ini, bukan membuat takut malah dapat memperlancar kegiatan yang tidak diinginkan. Selain itu, perlu juga dicermati soal pengkhianatan, penghasutan, dan ancaman terhadap ketertiban umum,” kata dia.
Eva menjelaskan bahwa tidak mudah mempidanakan ideologi, dengan memberikan contoh hukuman mati Imam Samudra yang justru menginspirasi jaringannya.
“Ada yang perlu dicermati jika Pasal 188-190 ini diterapkan sebagai tindak pidana biasa, sementara terorisme dianggap sebagai tindak pidana luar biasa. Bagaimana dengan penanganannya di lembaga pemasyarakatan berkeamanan maksimum?” ucapnya.
Senada dengan Eva, Ketua Program Doktor SKSG UI Margaretha Hanita mengungkapkan bahwa pada level tertentu, seseorang yang dipidana dengan kejahatan makar justru meningkatkan keterkenalan dan pengaruh di kelompoknya.
“Kita perlu cermat dalam membedakan mana yang merupakan makar dan mana yang merupakan terorisme,” kata dia.
Ishlah Bahrawi, dari Jaringan Moderat Indonesia mengatakan bahwa seringkali sebuah negara lengah dalam memantau ideologi yang bisa menjadi sumber terorisme.
“Wahabi-salafi adalah embrio terorisme. Ini berasal dari pengalaman dialog langsung dengan mantan napiter yang menantang saya dialog karena protes atas pernyataan saya. Terhadap kelompok yang taqiyah inilah kita perlu menerapkan 188, 189, dan 190,” ujar dia. (cuy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Menormakan Pancasila Sebagai Ideologi Negara Lebih Penting ketimbang UU HIP
Redaktur & Reporter : Elfany Kurniawan