Tindakan Gubernur dan Bupati Ini Dinilai Bahayakan Lingkungan

Rabu, 20 April 2016 – 21:57 WIB
Sawmil yang diduga milik bintara Aiptu LS yang bertugas di Polres Raja Ampat, Papua Barat. Foto: JPNN

JAKARTA - Direktur Eksekutif Indonesia Development Monitoring, Fahmi Hafel mendesak Gubernur Papua Barat dan Bupati Sorong menghentikan pembalakan liar dan mematuhi UU yang berlaku. Jika tidak, pihaknya melaporkan kedua pejabat itu ke Ombudsman.

"Cabut segera peraturan bupati (Perbup) dan Perda Kabupaten Sorong yang melindungi praktek ilegal logging oleh PT Rotua. Tindakan kedua pejabat tersebut termasuk PT Rotua membahayakan masa depan lingkungan Papua Barat," kata Fahmi, kepada wartawan, Rabu (20/4).

Selain ke Ombudsman, Fahmi juga akan melaporkan Bupati Sorong Ke KPK karena diduga memiliki kaitan antara penerbitan izin dengan praktek ilegal logging PT Rotua dan pencucian uang hasil pembalakan liar.

"Ngotot-nya Bupati Sorong untuk tidak mencabut Perbup dan Perda Kabupaten Sorong terkait PT Rotua diduga ada kong-kalikong antara Bupati dan PT Rotua, dan diduga ada aliran dana panas yang jumlahnya ratusan miliar rupiah," tegasnya.

Berdasarkan putusan kasasi Mahkamah Agung ujar Fahmi, Labora Sitorus selaku pemilik PT Rotua di Sorong, Papua Barat adalah pemegang industri lanjutan terbukti bersalah melakukan antara lain tindak pidana pembalakan liar dan sekarang sedang menjalani hukuman penjara.

Anehnya lanjutnya, hingga saat ini PT Rotua masih terus beroperasi padahal sudah dilarang untuk menerbitkan dokumen penatausahaan hasil hutan sebagaimana diatur dalam Permen Kehutanan No. P.41/Menhut-II/2014 yang disampaikan oleh Menteri LHK kepada Pemda Sorong melalui surat pada tanggal 25 Februari 2015 lalu.

"Di samping itu Bupati Sorong juga mengeluarkan Perpub No. 400 tahun 2008 tentang Tempat Penampungan Kayu Terdaftar (TPKP) Hasil Hutan Kayu Masyarakat di Kabupaten Sorong dimana TPKT wajib untuk membeli seluruh kayu hasil produksi IPHHK," jelasnya.

Dijelaskan Fahmi, setelah dikaji, ternyata kedua peraturan itu bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu Permen No. 6 tahun 2007 Jo. No 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan.

Pertentangan tersebut ujarnya, ada di dalam PP No 6 tahun 2007 Pasal 45 disebutkan pemungutan hasil hutan kayu dari hutan alam pada hutan produksi diberikan untuk memenuhi kebutuhan fasilitas umum pada kelompok masyarakat setempat paling banyak 50 meter kubik dan tidak untuk diperdagangkan dan atau untuk kebutuhan individu paling banyak 20 meter kubik dan tidak untuk diperdagangkan.

Atas dasar kajian itu dan sesuai dengan UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang mengamanatkan Perda dan Perkada dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan-perundangan yang lebih tinggi maka Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) Kementerian LHK, menurut Fahmi, telah menyurati Gubernur Papua Barat pada tanggal 17 Maret 2016 untuk mencabut kedua peraturan tersebut.

"Pencabutan Perda ini selaras dengan instruksi Presiden Joko Widodo untuk mencabut sekitar 3.200 Perda bermasalah yang ditargetkan harus selesai pada bulan Mei mendatang," pungkasnya.(fas/jpnn)

BACA JUGA: Waduh, Pengadilan Nilai Sikap Kejati Jatim Tak Profesional

BACA ARTIKEL LAINNYA... Lanjutkan Aksi Mogok Makan sampai Jokowi Pecat Rini


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler