jpnn.com - Batu akik atau batu mulia sudah tidak lagi buming seperti di awal hingga pertengahan tahun 2015. Demikian halnya dengan batu akik Nian. Kondisi ini jelas berdampak bagi para pengrajin. Bagaimana nasib mereka sekarang?
TOMMY AQUINODA, Kefamenanu
BACA JUGA: Kisah Perempuan Dokter Hewan, Sejam di Perahu sambil Mengelus Harimau
Suasana tempat usaha kerajinan batu mulia 'Nekmese' di Desa Nian, Kamis (7/1), tidak lagi seperti ketika saya mengunjunginya pada bulan Mei 2015 lalu. Tidak ada lagi para pecinta batu yang datang ke sentral binaan Lembaga Mutumanikan Nusantara Indonesia ini.
Suara bising yang bersumber dari mesin gurinda pun tak lagi terdengar. Bangunan kecil yang dulunya dijadikan tempat penyimpanan mesin pemotong batu dan mesin poles ternyata sudah diubah menjadi bengkel tambal ban. Damasus Bifel, sang ketua kelompok juga tak kelihatan.
BACA JUGA: Saat itu Bung Karno bilang ke Pak Edhi, Begini lho, Ed
Rupanya, Damasus sedang mengantar penumpang ke Kota Kefamenanu. Maklum Damasus yang dulunya menjadi pengrajin batu akik, kini kembali ke profesi lamanya sebagai tukang ojek. Di samping sebagai tukang ojek, Damasus juga membuka usaha tambal ban. "Bapak tidak ada. Bapak ada ke Kefa antar penumpang. Bapak sekarang ojek dan buka tambal ban,"terang seorang bocah perempuan yang tidak lain adalah putri Damasus.
Lama menunggu kedatangan Damasus, salah satu warga Nian mengajak saya ke rumah Krispinus Bifel di RT 05/RW 02 Dusun B Desa Nian untuk melihat usaha kerajinan batu mulia milik Krispinus.
BACA JUGA: Pianis Berprestasi Ini Akan Sepanggung dengan Pianis Dunia
Setiba di rumah ini, salah seorang bapak yang masih lengkap dengan pakaian kantor (instansi swasta) tampak sedang berdiskusi dengan seorang ibu. Di hadapan mereka, ada meja yang menyimpan banyak banyak batu cincin dan kalung yang sudah dipoles. Bapak itu terus melihat batu cincin satu per satu. Belakangan diketahui kalau ibu itu bernama Agripina Kenjam, istri Krispinus Bifel. Sedangkan bapak yang berpakaian rapi adalah salah satu pecinta batu yang sudah lama menjadi langganan batu akik Krispinus.
Kepada Timor Express (Grup JPNN.com), Agripina mengaku, dia dan suaminya sudah lama menjadi pengrajin pasca mengikuti pelatihan tahun 1988.
“Dulu setelah ada penelitian batu akik Nian, kami ikut pelatihan. Tapi waktu itu harganya tidak seberapa dan pekerjaan utama bapak masih sebagai tukang sensor kayu,” ujarnya.
Ketika batu akik buming di tahun 2014 hingga tahun 2015, lanjut Agripina, dia dan suami langsung menjadi pengrajin, bermodalkan skill yang sudah ada. Buming batu akik akhirnya mendatangkan berkah yang tidak sedikit.
“Satu hari saya dan suami bisa hasilkan 40 biji mata cincin/kalung. Setiap bulan kami bisa dapat enam sampai tujuh juta. Karena memang setiap hari banyak orang yang datang beli. Dan satu biji bisa jual sampai satu juta,” sebut ibu empat anak ini.
Meski batu akik kini tak lagi buming, Agripina mengaku, dia dan suami masih tetap setia menjadi pengrajin batu akik. Sebab penghasilan dari akik Nian masih tetap ada, sekalipun mengalami penurunan drastis. Lebih dari itu, mereka punya jaringan di luar yang sewaktu-waktu memesan akik Nian dalam jumlah banyak.
“Sekarang tiap hari kami masih hasilkan 25 biji. Penghasilan kami juga turun drastis. Satu bulan hanya dapat dua atau tiga juta. Bongkahan yang dulu per kilogram harganya Rp 50 ribu, sekarang terserah orang tawar. Tapi kami tetap setia jadi pengrajin, karena jaringan kami luas,” katanya.
Selain keluarganya, Agripina menyebut nama Agus Lake, warga Nian yang masih bertahan menjadi pengrajin batu akik. “Kuncinya hanya satu yakni, tabah menjalani setiap usaha. Di Nian hanya kami dengan Bapak Agus Lake yang masih bertahan. Yang lain sudah malas urus batu akik. Ada yang sudah kembali jadi petani dan ada yang ojek,” katanya.
Instruktur Mutumanikan Nusantara Indonesia, Kukuh Pribadi juga mengakui banyak pengrajin dari Desa Nian, kini sudah kembali ke profesi semula, baik sebagai petani maupun sebagai tukang ojek. Kendati demikian, dia terus menyemangati anak asuhnya untuk terus mempromosikan akik Nian.
“Sekalipun mereka sekarang kembali jadi petani atau tukang ojek, tapi saya minta mereka untuk tetap berproduksi dan tetap memajang hasil produksinya. Kalau dulu mungkin satu kelompok bisa menghasilkan 20 mata cincin/kalung dalam sehari, sekarang biar lima tidak apa-apa. Ya sekadar persiapan jika ada tamu dari luar datang,’ kata pria yang akrab disapa Mas Kukuh.
Di saat batu akik saat ini tidak lagi buming, lanjutnya, ada hal penting yang akan tetap abadi yakni para pengrajin di Desa Nian sudah dapat keterampilan. Sehingga ketika pasar akik kembali aktif, mereka bisa diberdayakan lagi.
“Saya masih yakin, suatu saat batu akik buming kembali. Sebab konsumsi referentif akan perhiasan batu mulia bukan hanya di Indonesia. Orang di luar negeri juga banyak yang senang. Cuma jenis batu yang kita sodorkan itu jenis apa. Untuk itu, kita harus terus mempromokannya. Apalagi batuan Kefa jenis dendrit dan rodorosit masih punya nilaj jual karena sulit ditemukan di daerah lain,"pungkasnya. (***/boi/fri/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... JK Makan Siang Bersama Megawati, Jokowi Makan Malam dengan Wartawan, Ha ha ha
Redaktur : Tim Redaksi