jpnn.com - LUKISAN sensasional karya Kurt Wenner dihadirkan di Ciputra Artpreneur Center, Jakarta Selatan. Karyanya bersifat ilusi optikal, yakni karya seni modern yang memanfaatkan manipulasi mata melihatnya.
YERI VLORIDA, Jakarta
BACA JUGA: Juggling Teh Tarik Batam Pecahkan Rekor Muri
LUKISAN pada objek datar yang memadukan warna, perspektif, dan teknik pencaha yaan. Maka Terciptalah karya seni yang tampak seperti hidup dan nyata. Keahlian itu yang ditampilkan Kurt Wenner dalam show yang dilakukannya di berbagai negara. Sebelum menjadi seniman Kurt Wenner bekerja untuk NASA sebagai ruang ilustrator ilmiah Pada 1982, Wenner meninggalkan NASA (Badan Aeronautika dan Luar Angkasa Amerika Serikat) untuk Italia untuk mengejar cintanya seni klasik.
Minatnya tertarik menekuni Renaissance klasisisme dimulai dengan keinginan sederhana untuk keahlian menggambar. Total ada 11 karya Wenner yang ditampilkan. Diantaranya yang bertajuk Shangri La disajikan spesial melalui sesi Live Demo Special Painting. ”Kali ini saya menampilkan karya seni lukis 3 dimensi dengan jumlah terbanyak dalam satu tempat secara bersamaan,” katanya.
BACA JUGA: Mendesak, Reklamasi-Giant Sea Wall di Pantura
Selama menekuni dunia seni, Wenner terkesan dengan perbedaan antara bagaimana siswa dan guru menarik di abad ke-20 begitu pula dengan cara seniman. Seniman masa lalu memiliki kemampuan jauh melampaui orang-orang di saat ini. Maka rasa ingin tahu dia tersebut membawanya ke Roma untuk mencari dan menguasai menggambar dan melukis dalam klasisisme barat. Selama dijelaskanya, ia terisolasi diri dari seni abad ke-20 untuk mengeksplorasi citacita dan konsep dipraktekkan di abad sebelumnya.
Sejak itu menjadi misi berkelanjutan untuk menemukan kembali tradisi klasik dan berkomunikasi mereka kepada khalayak kontemporer. Setiap karya juga dihasilkan secara handmade menggunakan pastel minyak yang dibuat sendiri menggunakan bahan khusus.
BACA JUGA: Nikmati Pesona dari Maumere ke Labuan Bajo
Beberapa judul karya yang dihadirkan di Artphoria 2013 antara lain, The Tower, Magic Carpet, Shangrila, The Moneypit, Flying Over the Bosphorous dan Northwest Fantasy. Semua itu diinspirasi oleh tradisi seni dari Italia yang mencerminkan suatu upaya untuk menghubungkan dunia modern dengan masa lalu. Seni baginya sangat penting untuk dipahami.
Memiliki ilusi yang mampu mengamati kemudian menggambarkannya. Jika banyak yang menganggap mata bekerja seperti kamera, sesungguhnya mata bekerja lebih seperti radar. ”Agar dapat melihat apapun, kita harus memproyeksikan keinginan kita,” ujarnya. Dibandingkan banyak seniman lainnya, Wenner membuat karya bukan tentang dirinya melainkan menciptakan sebuah lingkungan yang dapat dinikmati dan dirasakan oleh orang lain dan menjadikannya suatu hal yang edukatif.
”Bagi saya, walaupun menggunakan banyak teknik, seni tiga dimensi dapat memproyeksikan imajinasi dan menampilkan bagaimana seniman dapat menunjukkan lingkungan di sekitarnya dan mengkomunikasikan imajinasi tersebut ke seluruh dunia,” jelasnya. Sementara yang berbasis di Roma, Italia Wenner mempelajari karya-karya guru besar dan terus-menerus menarik dari patung klasik.
Gambar-gambar yang dibuatnya membawanya berhubungan dengan bahasa bentuk dalam seni figuratif Barat dan memberinya pelatihan neoklasik yang diperlukan untuk gaya dia mengejar. Ia mengaku tertarik pada periode Mannerisme, menemukan dalam skala monmnental dan dekorasi yang canggih arah untuk ekspresi seninya sendiri.
Selama beberapa tahun Wenner keliling berbagai tempat untuk mengalami langsung sebagian besar karya utama dan monmnents tlrroughout Eropa. Selama tahun pertama di luar negeri ia bereksperimen dengan media cat tradisional seperti tempera, fresco, dan cat minyak.
Dalam rangka untuk membiayai perjalanan dan studinya ia menjadi madonnaro dan menciptakan lukisan kapur di jalan-jalan Roma. Dalam beberapa tahun ia berhasil memenangkan medali emas nmnerous di kompetisi Eropa dan menjadi resmi diakui sebagai master bentuk seni ini.
Pada tahun 1985 karyanya adalah subyek dari pemenang penghargaan Karya docmnentary National Geogra phic di Chalk. ”Saya terus ditantang untuk menemukan kembali, mengubah, dan berbagi ide. Ketika membuat sebuah karya besar di sebuah acara publik saya bisa mengevaluasi reaksi audiences,” ungkapnya. (*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dunia Dino di Jungleland
Redaktur : Tim Redaksi