Lonjakan kasus COVID-19 terjadi di Indonesia, empat minggu setelah libur Lebaran, menjadi kekhawatiran bagi banyak tenaga kesehatan.
Dokter di beberapa wilayah menyaksikan sendiri meningkatnya jumlah pasien di Instalasi Gawat Darurat dari hari ke hari.
BACA JUGA: Kasus Covid-19 Meningkat, Rahmat Gobel Sampaikan Langkah Pimpinan DPR
Salah satunya adalah dr Lazuardhi Dwipa, spesialis geriatri yang juga ikut menangani pasien COVID-19 di RS Hasan Sadikin, Bandung.
"Jadi yang datang ke rumah sakit dari 10 pasien per hari, lama-lama 20, lama-lama 30 orang," katanya.
BACA JUGA: Sahabat Airlangga Serukan Setop Pencitraan, Fokus Tangani Masalah Kesehatan
Awal pekan lalu rumah sakit tersebut mencatat dari 224 tempat tidur yang tersedia, 162 di antaranya sudah dihuni pasien bergejala sedang hingga berat.
Angka keterisian tempat tidur (BOR) di Jawa Barat berada di angka 79,34 persen, bahkan di kota Bandung sejumlah rumah sakit sudah mencapai hampir 100 persen.
BACA JUGA: PII: Kolaborasi Insinyur dan Dokter Dapat Mempercepat Penanggulangan Pandemi
"Keseluruhan [jumlah pasien yang dirawat] meningkat, mau yang muda, dewasa, lansia, semuanya meningkat," kata dr Lazuardhi.
"Jadi artinya apa? Yang muda juga rentan terhadap sakit, jadi tidak ada 'oh yang lansia saja yang sakit, yang muda sehat', enggak seperti itu." Penggagas ventilator meninggal karena COVID
COVID-19 telah merenggut lebih dari 4.400 nyawa warga di Jawa Barat, termasuk diantaranya tenaga kesehatan.Selasa kemarin dr Ike Sri Redjeki,SpAnKIC meninggal dunia di Rumah Sakit Hasan Sadikin setelah dirawat karena COVID-19.
Ia adalah penggagas 'ventilator portable' buatan Indonesia, yaitu Vent-I.
Ide pembuatannya berawal setelah melihat kekurangan pasokan ventilator di Indonesia saat awal masa pandemi tahun lalu.
Ribuan Vent-I dilaporkan sudah didistribusikan secara gratis kepada sejumlah rumah sakit yang kekurangan alat bantu pernapasan.
Berita meninggalnya dr Ike membawa kesedihan bagi tim pengembang dari Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Padjajaran.
"Kepergian dr Ike sangat mengagetkan kita semua, membuat kesedihan yang mendalam untuk semua," ungkap Dr. Reza Widianto Sudjud dr., SpAnKAKV, KIC., M.Kes, yang juga bagian dari tim pengembang ventilator tersebut.
"Tapi perjuangan dr Ike akan kita teruskan. Sesuai keinginan beliau, ingin menjadikan Indonesia berdiri di kakinya sendiri."
dr Eri Surahman, SpAN KNA., rekan sejawat yang sudah bekerja dengan mendiang dr Ike selama lebih dari 30 tahun, mengatakan "kehilangan sosok energik yang sangat peduli pada perawatan pasien".
Menurutnya, dr Ike adalah salah satu dokter terkemuka di komunitas dokter spesialis anestesi Indonesia, terutama di bidang 'intensive care'.
"Perhatiannya sangat besar terhadap perkembangan intensive care di Indonesia dan berusaha menjadikan Indonesia sejajar dengan negara maju lainnya," kata dr Eri, pakar neuro anestesi di Bandung.
Ia juga mengatakan dr Ike, yang juga pernah menjadi kepala Departemen Anestesiologi di Fakultas Kedokteran, Universitas Padjajaran, adalah sosok guru yang sangat peduli dengan perkembangan murid-muridnya. Nakes dilumuri kotoran manusia
Lonjakan kasus COVID-19 nasional tahun ini lebih tinggi, yakni 112,22 persen, dibandingkan 93,11 tahun lalu, sebagaimana disampaikan Juru Bicara Satgas Covid-19, Wiku Adisasmito, Kamis kemarin (17/6).
Indonesia kini menghadapi ancaman virus corona varian Delta yang lebih mudah menular, sehingga ada kekhawatiran akan menjadi episentrum COVID selanjutnya.
Lonjakan kasus setelah Lebaran terpusat di lima provinsi di Pulau Jawa, yang merupakan daerah asal dan tujuan mudik, termasuk Jawa Tengah dengan kenaikan kasus COVID-19 hingga 281 persen.
Di Surabaya, Pemerintahnya terus berusaha keras mengendalikan angka kasus yang melonjak dengan tingkat keterisian tempat tidur di rumah sakit mencapai 53 persen.
Surabaya mengklaim telah mampu melacak 40 orang untuk setiap 1 kasus positif COVID, melebihi rekomendasi minimal dari Kawal COVID-19, yaitu 30 untuk tiap kasus.
Walau demikian, pelacakan di Surabaya mendapat penolakan dari sejumlah warga.
dr Lolita Riamawati, salah satu dari ribuan petugas lacak, mengaku anggota timnya pernah dilumuri kotoran manusia saat hendak mengevakuasi pasien positif COVID-19.
"Ia menolak suaminya yang dalam kondisi stroke dan positif COVID dievakuasi ke rumah sakit," kata Kepala Puskesmas Sememi Kota Surabaya tersebut.
"Teman-teman sempat nangis, kami dalam keadaan capek mental dan fisik, kok mendapat perlakuan seperti itu."
"Tapi saya besarkan hati mereka, saya ingatkan bahwa ini adalah konsekuensi dari pekerjaan yang harus kita jalani."
Menurutnya, penolakan tersebut dikarenakan sebagian besar warga tidak memiliki pengetahuan yang benar tentang COVID-19, serta karena masih adanya stigma di masyarakat soal penyakit COVID.
Awal Mei lalu, Satgas COVID-19 mencatat masih ada 17 persen warga Indonesia yang tidak percaya COVID-19.
dr Eri, dokter senior anestesi di Jawa Barat, mengatakan Pemerintah Indonesia harus secara terus menerus melakukan edukasi masyarakat soal bahaya pandemi dan cara-cara menghindari penularannya.
"Sebagai virus yang baru muncul, kalangan ilmiah pun masih banyak belajar tentang sifat-sifat virus ini, apalagi orang awam pastinya tidak masuk untuk mereka," katanya.
"Karenanya diperlukan komunikasi publik yang mudah dengan penerangan yang sederhana tanpa teori dan kata-kata ilmiah yang rumit, tapi sederhana dan terarah," jelas dr Eri. Pandemi harus dihadapi bersama
Sejauh ini, dr Lazuardhi mengatakan tidak merasa kewalahan dalam menangani pasien, namun khawatir melihat jumlah tenaga kesehatan yang meninggal.
Ia khawatir jumlah penularan COVID akan terus meningkat, jika masyarakat tidak mengikuti protokol kesehatan, seperti yang masih ia temukan di jalanan kota Bandung.
"Saya khawatirnya kapasitas perawatan tidak cukup kalau [terus] meningkat," katanya.
Menurutnya, pandemi ini harus dihadapi bersama-sama, baik Pemerintah dan warga.
"Tidak bisa cuma satu pihak ... keluar bila perlu saja, kerja atau belanja, jangan ngumpul di kafe, nongkrong," katanya.
Hingga hari ini (18/06), Lapor Covid-19 mencatat 945 tenaga kesehatan di Indonesia meninggal karena COVID-19.
dr Lazuardhi berharap jumlah ini tidak akan bertambah lagi.
"Tempat, sumber daya manusia, semua ada batasnya. Kalau semua dokter sakit bagaimana?" katanya.
"Jadi masyarakat harus sadar, kita itu bukan robot, manusia biasa saja, seperti masyarakat. Jadi tolong saling menjaga."
BACA ARTIKEL LAINNYA... Australia Ubah Syarat Penerima Vaksin AstraZeneca Menjadi 60 Tahun ke Atas