jpnn.com, GUNUNG KIDUL - Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul mendukung penuh upaya peningkatan kualitas udara melalui bahan bakar minyak (BBM) yang lebih ramah lingkungan.
Termasuk, jika Pemerintah Pusat mengeluarkan kebijakan penghapusan BBM jenis Premium.
BACA JUGA: Kurangi Polusi Udara, Pertamina Lanjutkan Program Langit Biru
“Kami sangat mendukung. Bahkan Pemkab juga sudah melaksanakan Program Langit Biru sejak 2010,” kata Sekretaris Bappeda Gunung Kidul Sri Agus Wahyono dalam seminar online yang diadakan Yayasan Lembaga Konsumen (YLKI).
Sementara terkait upaya peningkatan udara bersih pada tahun ini, Pemkab Gunung Kidul juga memiliki beberapa kebijakan. Antara lain, melarang hampir semua SPBU menjual Premium.
BACA JUGA: Ini Alasan Kalina Ocktaranny Luluh kepada Vicky Prasetyo
“Jadi yang boleh dijual adalah BBM jenis Pertalite dan Pertamax,” kata Sri Agus.
Kalau pun masih ada dua SPBU yang diperbolehkan menjual Premium, maka diizinkan pada waktu tertentu saja, yaitu pagi dan sore hari.
BACA JUGA: Perkuat Program Langit Biru Pertamina, Aturan Distribusi BBM Harus Direvisi
Sedangkan untuk waktu di luar itu, kedua SPBU itu pun hanya boleh menjual BBM dengan oktan yang lebih tinggi.
Salah satu alasan, bahwa kedua SPBU masih diizinkan menjual Premium dalam waktu tertentu, karena BBM jenis tersebut masih dibutuhkan nelayan.
“Mereka masih tergantung Premium. Karena jika membeli Pertamax, tentu kesulitan dalam biaya operasional,” seru Sri Agus.
Pemda Gunung Kidul juga terus mendorong, jika ada kebijakan penggunaan BBM dengan oktan lebih tinggi untuk meningkatkan kualitas udara. Termasuk tidak menutup kemungkinan, Pertalite sebagai BBM alternatif bagi nelayan.
Namun dibarengi dengan penurunan harga Pertalite menjadi setara Premium. Paling tidak, dengan harga yang cukup mendekati.
“Marilah kita hilangkan Premium. Kita semua paling tidak menggunakan Pertalite, tetapi harganya hendaknya disamakan. Pekara nanti dinaikkan lagi tidak apa-apa, yang penting di awal ini, hendaknya harga disamakan,” ujarnya.
“Yang penting, jangan ada kebijakan ‘bolak-balik’ (tidak konsisten). Sekarang Premium tidak boleh, besok boleh. Itu sangat mengganggu kelangsungan SPBU,” imbuh Sri Agus.
Dalam acara yang sama, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menuturkan rencana penghapusan Premium merupakan kewenangan pemerintah.
Dan upaya tersebut, membutuhkan komitmen dan kesepakatan bersama.
“Teman-teman KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) berada di barisan paling depan. Tetapi, yang punya hajat kan tidak hanya KLHK, namun ada juga Kementerian ESDM,” kata Komaidi.
Untuk itulah, maka menurut ReforMiner, solusinya adalah satu kata, satu perbuatan. Dalam hal ini, pemerintah harus konsisten.
Silakan jika Premium harus dihilangkan, tetapi harus disusun roadmap secara bertahap agar diterima masyarakat.
“Masyarakat kita ini masyakat yang paternalistik. Masyarakat juga nerimo. Jika Premium tidak ada, dan hanya ada Pertalite, maka ngedumel hanya 1-2 bulan. Setelah itu, kondisi berjalan normal karena mau tidak mau, harus mempergunakan BBM,” seru Komaidi.(chi/jpnn)
Redaktur & Reporter : Yessy