ZAMAN berubahBahkan, setelah kejatuhan Orde Baru, perubahan itu begitu drastisnya, sehingga terasa terlalu tiba-tiba
BACA JUGA: Tionghoa, Dulu dan Sekarang (1)
Belum pernah orang Tionghoa mendapat posisi sosial-politik sehebat sekarangBACA JUGA: Seberapa Luaskah Wilayah Gaza Itu?
Memang terlalu banyak orang Tionghoa yang jadi ’’tumbal’’ untuk perubahan itu
BACA JUGA: Krisis pun Sudah Masuk ke Ranah Tuhan
Tapi, juga terlalu banyak untuk disebutkan jasa pejuang demokrasi seperti Amien Rais, Gus Dur, dan seterusnya, yang meski secara khusus perjuangan dan pengorbanan mereka tidak dimaksudkan untuk membela golongan Tionghoa, tapi hasil perjuangan itu secara otomatis ikut mengangkat posisi sosial-politik masyarakat Tionghoa menjadi sejajar dengan suku apa pun di Indonesia.
Kini, pada zaman baru ini, penggolongan lama ’’totok, peranakan, dan Hollands spreken’’ sama sekali tidak relevan lagiBukan saja tidak relevan, bahkan memang sudah hilang dengan sendirinyaKawin-mawin antartiga golongan itu sudah tidak ada masalah sama sekaliStatus sosial tiga golongan tersebut juga sudah tidak bisa dibedakanJenis pekerjaan dan profesi di antara mereka juga sudah campur-baurMembedakan berdasar di mana sekolah anak-anak mereka juga sudah tidak berlaku.
Berkat demokrasi, pembedaan berdasar apa pun tidak relevan lagiBahkan, pembedaan model lama antara hua ren dan penti ren tidak boleh lagiTapi, bukan berarti tidak ada masalahMisalnya, dalam zaman baru ini, bagaimana harus mengidentifikasikan dan menyebut hua ren?
Saya pernah menghadiri satu seminar yang diadakan INTI di JakartaDalam forum itu, antara lain, disinggung soal bagaimana harus menyebut orang Tionghoa di Indonesia dalam bahasa MandarinKalau panggilan nonpribumi sudah tidak relevan dan seperti kelihatan antidemokrasi, lantas kata apa yang bisa dipakai untuk menyebutnya dalam bahasa Mandarin?
Dalam bahasa Indonesia, semua sudah seperti sepakat bahwa sebutan Tionghoa adalah yang paling menyenangkanTionghoa sudah berarti ’’orang dari ras cina yang memilih tinggal dan menjadi warga negara Indonesia’’Kata Tionghoa sudah sangat enak bagi suku cina tanpa terasa ada nada, persepsi, dan stigma mencina-cinakanKata Tionghoa sudah sangat pas untuk pengganti sebutan ’’nonpri’’ atau ’’cina’’.
Saya sebagai ’’juawa ren’’ (meski xian zai wo de xin shi hua ren de xin) semula agak sulit memberi penjelasan kepada pembaca mengapa menyebut ’’cina’’ tidak baik? Apa salahnya? Luar biasa banyaknya pertanyaan seperti ituTerutama sejak Jawa Pos Group selalu menulis Tionghoa untuk mengganti kata nonpri atau cina
Jawa Pos memang menjadi koran pertama di Indonesia yang secara sadar mengambil kebijaksanaan tersebutMemang ada yang mencela dan mencibir bahwa Jawa Pos tidak ilmiahJuga tidak mendasarkan kebijakan itu pada kenyataan yang hidup di masyarakat, yakni bahwa semua orang sudah terbiasa menyebut kata ’’cina’’Mengapa harus diubah-ubah?
Saya tidak bisa menjawab dengan alasan bahwa kata cina itu terasa ’’menyudutkan’’ dan ’’menghinakan’’Mereka akan selalu bilang bahwa ’’kami tidak merasa seperti itu’’Atau, mereka akan mengatakan ’’Ah, itu mengada-ada’’Bahkan, ada yang bilang, ’’Kok kita tidak ada yang tahu ya bahwa sebutan cina itu melecehkan’’.
Memang, kenyataannya sebenarnya seperti ituTapi, juga tidak mengada-ada bahwa golongan Tionghoa merasa seperti ituSetidaknya sebagian di antara mereka yang lama-lama menjadi mayoritas di antara merekaYakni, sejak awal Orde Baru, sejak ada desain dari penguasa waktu itu bahwa penyebutan kata ’’cina’’ bukan lagi untuk identifikasi ras saja, tapi juga untuk ’’menyudutkan’’ ras tersebutYakni, untuk ’’mencina-cinakan’’ mereka dalam konotasi yang semuanya jelek.
Tentu, tidak semua orang Tionghoa tahu ituBahkan, banyak orang Tionghoa yang mengatakan ketika dipanggil ’’cina’’ juga tidak merasa apa-apaLebih dari itu, kata Tionghoa berasal dari bahasa daerah di Provinsi Fujian-Guangdong dan sekitarnya
Lalu, bagaimana dengan orang ’’cina’’ yang dulunya berasal dari luar wilayah itu? Tapi, adanya latar belakang pencina-cinaan itulah akhirnya yang membuat umumnya orang Tionghoa dari mana pun asal-usulnya dulu ikut tahu dan merasakan penyudutan tersebut.
Lalu, bagaimana saya bisa menjelaskan kepada pembaca koran Jawa Pos Group agar bisa menerima istilah Tionghoa sebagai pengganti ’’cina’’? Terutama bagaimana saya bisa meyakinkan para redaktur dan wartawan di semua koran Jawa Pos Group (tentu tidak mudah karena kami memiliki sekitar 100 koran di seluruh Indonesia) yang semula juga sulit diajak mengerti?
Untuk ini, saya harus mengucapkan terima kasih kepada pemimpin INTI, khususnya Eddy Lembong yang sangat cerdas ituEntah bagaimana, Eddy Lembong bisa menemukan adanya salah satu ayat dalam ajaran Islam yang kalau diterjemahkan artinya begini: ’’Panggillah seseorang itu dengan panggilan yang mereka sendiri senang mendengarnya’’.
Ini diaSaya dapat kuncinyaSaya dapat magasin berikut pelurunyaMaka, saya pun menjelaskan bahwa tidak ada orang ’’cina’’ yang tidak suka kalau dipanggil TionghoaSebaliknya, banyak orang Tionghoa yang tidak senang kalau dipanggil ’’cina’’Dengan logika itu, apa salahnya kita menuruti ayat dalam ajaran Islam tersebut dengan memberikan panggilan yang menyenangkan bagi yang dipanggil?
Mengapa kita harus memanggil ’’si gendut’’ untuk orang gemuk atau ’’si botak’’ terhadap orang yang tidak berambut, meski kenyataannya demikian? Atau, kita memanggil dengan ’’si kerbau’’ meski dia memang terbukti bodoh?
Kini, setelah lebih dari delapan tahun Jawa Pos Group menggunakan istilah Tionghoa, rasanya sudah lebih biasaJuga lebih diterima.
Yang masih sulit adalah justru bagaimana orang Tionghoa Indonesia sendiri menyebut dirinya dalam bahasa Mandarin? Apakah masih ’’women zhong guo ren’’? Atau ’’hua ren’’? Atau ’’Yin Ni Hua Ren’’? Lalu, bagaimana orang Tionghoa menyebut Tiongkok dalam pengertian RRC? Masihkah harus menyebutnya dengan ’’guo nei’’? (*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kisah Man of The Year yang Sebenarnya (2-Habis)
Redaktur : Tim Redaksi