jpnn.com, JAKARTA - Pandangan kritis masyarakat terhadap sikap agresif Republik Rakyat China (RRC) di Laut China Selatan perlu mendapat perhatian yang serius dari pemerintah.
Hal itu menjadi pembahasan dalam seminar berjudul 'Ancaman China di Laut China Selatan: Antara Persepsi dan Realita' yang diselennggarakan Pusat Studi G20 Universitas Pelita Harapan (UPH) bersama Forum Sinologi Indonesia (FSI) di Jakarta, Jumat (21/6).
BACA JUGA: Setelah Tiongkok, Pemerintah AS Senggol Rusia, Kaspersky Diblokir
Direktur Eksekutif Pusat Studi G20 UPH Amelia J.R. Liwe mengatakan, pemerintah diharapkan memiliki sikap tegas dalam menghadapi ancaman China di Laut China Selatan, demi mempertahankan prinsip-prinsip Indonesia.
"Dengan memegang prinsip, Indonesia akan memainkan peran yang besar di kancah regional dan internasiona,” ujar ketua program studi Magister Ilmu Hubungan Internasional UPH itu.
BACA JUGA: Filipina Perjuangkan Perpanjangan Landas Kontinen di Laut China Selatan
Diskusi mengenai sikap tegas terhadap China di atas mengemuka sebagai respons dari hasil jajak pendapat publik yang dilakukan oleh ISDS beberapa waktu yang lalu.
Dalam survei tersebut, 78,9 responden berpandangan bahwa kehadiran China di Laut China Selatan (LCS) membawa ancaman bagi negara-negara ASEAN, sedangkan 73,1 persen responden menganggap China menghadirkan ancaman bagi Indonesia.
BACA JUGA: Beijing Peringatkan Amerika Tidak Ikut Campur Konflik Laut China Selatan
Co-Founder Indonesia Strategic and Defence Studies (ISDS) Edna Caroline menyatakan, generasi Y dan Z termasuk di antara responden yang memiliki persepsi ancaman dari China itu.
"Sebagian terbesar (39,1 persen) responden beranggapan bahwa Indonesia dapat memperkuat kedaulatan Indonesia di Laut China Selatan melalui menjalin kemitraan dengan negara-negara ASEAN, sedangkan 16,7 persen menganggap Amerika Serikat (AS) sebagai mitra yang tepat," katanya.
Ketua FSI Johanes Herlijanto menuturkan, pemahaman responden tersebut memperlihatkan bahwa masyarakat Indonesia sangat sensitif dan menentang setiap upaya pihak luar mempengaruhi kemandirian negara dan pemerintah Indonesia melalui cara apapun.
Dosen MIKOM UPH ini berpandangan bahwa persepsi China sebagai ancaman dapat ditelurusi hingga ke pertengahan abad yang lalu.
"Persepsi China sebagai ancaman sangat dominan di era pemerintahan Orde Baru, dan terus bertahan hingga rezim tersebut berakhir," ujar Johanes Herlijanto.
Menurut dia, salah satu penyebabnya adalah kecurigaan bahwa China telah melakukan intervensi dan mencampuri urusan dalam negeri Indonesia dengan memberikan bantuan pada Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan kudeta yang gagal pada 1965.
“Sekitar satu dasawarsa setelah runtuhnya rezim Orde Baru, tepatnya di zaman pemerintahan Presiden Yudhoyono, persepsi terhadap China di kalangan publik di Indonesia, khususnya kelas menengah, bergeser menjadi positif,” jelas Johanes.
Namun, persepsi negatif kembali mendominasi publik sejak 2015, karena berkembangnya media baru yang membuka arus informasi terkait tingkah laku China di dunia internasional, makin intensifnya hubungan ekonomi yang diwarnai berbagai isu, termasuk soal pekerja migran dan kekhawatiran terhadap ketergantungan.
"Sikap China yang makin agresif dan asertif di Laut China Selatan, termasuk di ZEE Indonesia dekat Kepulauan Natuna," jelas Johanes.
Dalam pandangan Johanes, hadirnya pandangan kritis dan persepsi negatif terhadap China, termasuk persepsi China sebagai ancaman di Laut China Selatan, perlu direspons secara bijak oleh Indonesia.
“Pemerintah Indonesia perlu mempertahankan kehati-hatian dalam menjalankan kerja sama ekonomi dengan China, sambil tetap menjaga (atau bahkan meningkatkan) sikap tegas, khususnya dalam hal yang berhubungan dengan kedaulatan dan kemandirian Indonesia,” katanya.
Redaktur & Reporter : Djainab Natalia Saroh