Tiongkok meminta Indonesia untuk menghentikan pengeboran minyak dan gas alam di wilayah maritim di Laut Tiongkok Selatan yang diklaim kedua negara milik mereka.

Masalah tersebut sudah terjadi sejak awal tahun ini tanpa jalan keluar.

BACA JUGA: Dr Priyambudi Sulistiyanto Bangga Mencetak Generasi Australia yang Belajar Bahasa Indonesia

Hal ini disampaikan oleh empat orang yang mengetahui masalah tersebut kepada kantor berita Reuters.

Tuntutan yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan belum pernah pernah dilaporkan, telah meningkatkan ketegangan kedua negara atas sumber daya alam di wilayah yang secara global dianggap strategis dan penting secara ekonomi tersebut.

BACA JUGA: Peringatan 60 Tahun Pengibaran Bendera Bintang Kejora Dilakukan Secara Serentak di Berbagai Kota di Australia

Anggota Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Muhammad Farhan, mengatakan kepada Reuters jika ia menerima pengarahan perihal sepucuk surat dari diplomat Tiongkok kepada Kementerian Luar Negeri Indonesia, yang dengan jelas meminta Indonesia menghentikan pengeboran di rig sementara lepas pantai karena aktivitas tersebut dilakukan di wilayah Tiongkok.

"Jawaban kami sangat tegas, bahwa kami tidak akan menghentikan pengeboran karena itu adalah hak kedaulatan kami," kata Farhan kepada Reuters.

BACA JUGA: Perjuangan Dua Sahabat Asal Indonesia demi Tinggal di Australia Setelah Dihapuskannya White Australia Policy

Seorang juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia mengatakan: "Setiap komunikasi diplomatik antarnegara bersifat privat dan isinya tidak dapat dibagikan," dan menolak berkomentar lebih lanjut.

Kedutaan Besar Tiongkok di Jakarta tidak menanggapi permintaan untuk memberikan komentar.

Selain Muhammad Farhan, tiga orang lainnya yang mengaku juga telah diberi pengarahan tentang masalah tersebut membenarkan adanya surat dari Tiongkok.

Dua orang di antaranya mengatakan Tiongkok berulang kali menuntut agar Indonesia menghentikan pengeboran.

Indonesia mengatakan ujung selatan Laut Cina Selatan adalah zona ekonomi eksklusif milik kedaultan Republik Indonesia di bawah Konvensi PBB tentang Hukum Laut, dan pada 2017 menamai wilayah itu Laut Natuna Utara.

Tiongkok keberatan dengan perubahan nama tersebut dan bersikeras bahwa jalur air tersebut berada dalam klaim teritorialnya yang luas di Laut Tiongkok Selatan, yang ditandai dengan "sembilan garis putus-putus" berbentuk U. 

Tapi batasann ini tidak memiliki dasar hukum menurut Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag pada tahun 2016.

"[Surat itu] sedikit mengancam karena itu adalah upaya pertama diplomat Tiongkok untuk mendorong agenda sembilan garis putus-putus mereka terhadap hak-hak kami di bawah Hukum Laut," kata Farhan kepada Reuters.

Tiongkok adalah mitra dagang terbesar Indonesia dan sumber investasi terbesar kedua, menjadikannya bagian penting dari ambisi Indonesia untuk menjadi raksasa ekonomi.

Para pemimpin Indonesia tetap diam tentang masalah ini untuk menghindari konflik atau pertengkaran diplomatik dengan Tiongkok, kata Farhan dan dua orang lainnya yang berbicara kepada Reuters.

Farhan mengatakan Tiongkok, dalam surat terpisah, juga memprotes latihan militer Garuda Shield yang sebagian besar dilakukan di darat pada Agustus, yang berlangsung selama kebuntuan jalan tengah dengan Tiongkok soal batas wilayah.

Latihan yang melibatkan 4.500 tentara dari Amerika Serikat dan Indonesia itu merupakan latihan gabungan rutin sejak 2009. Menurut Farhan, ini adalah protes pertama Tiongkok terhadap latihan itu.

"Dalam surat resmi mereka, Pemerintah Tiongkok mengungkapkan keprihatinan mereka tentang stabilitas keamanan di wilayah itu," katanya. Ketegangan di laut

Data pergerakan kapal menunjukkan, beberapa hari setelah rig semi-submersible Noble Clyde Boudreaux tiba di Blok Tuna di Laut Natuna untuk mengebor dua sumur appraisal pada 30 Juni, sebuah kapal Penjaga Pantai Tiongkok berada di lokasi.

Tak berapa lama, kapal Penjaga Pantai Indonesia juga ikut berada di sana.

Menanggapi pertanyaan dari Reuters, Kementerian Luar Negeri Tiongkok mengatakan kapal Penjaga Pantai Tiongkok "melakukan kegiatan patroli normal di perairan di bawah yurisdiksi Tiongkok." Kemlu Tiongkok  tidak menanggapi pertanyaan tentang komunikasi dengan Indonesia selama pengeboran.

Kementerian Pertahanan Tiongkok tidak menanggapi permintaan komentar.

Selama empat bulan setelahnya, kapal Tiongkok dan Indonesia saling terlihat di sekitar ladang minyak dan gas, sering kali datang dalam jarak 1 mil laut satu sama lain, menurut analisis data identifikasi kapal dan citra satelit oleh Asia Maritime Transparency Initiative (AMTI), sebuah proyek yang dijalankan oleh Pusat Studi Strategis dan Internasional yang berbasis di Amerika Serikat.

Data dan gambar yang ditinjau oleh AMTI dan Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), sebuah wadah pemikir independen yang berbasis di Jakarta, menunjukkan sebuah kapal penelitian Tiongkok, Haiyang Dizhi 10, tiba di daerah tersebut pada akhir Agustus dan menghabiskan sebagian besar dari tujuh minggu berikutnya dengan bergerak lambat dalam pola yang berdekatan dengan Blok D-Alpha.

Blok D-Alpha adalah sebuah blok cadangan minyak dan gas yang juga berada di perairan yang diperebutkan, yang menurut studi Pemerintah Indonesia bernilai $500 miliar.

"Berdasarkan pola pergerakan, sifat, dan kepemilikan kapal, sepertinya sedang melakukan survei ilmiah terhadap cadangan D-Alpha," kata Jeremia Humolong, peneliti di IOJI.

Pada 25 September, kapal induk Amerika USS Ronald Reagan datang dalam jarak 7 mil laut dari rig pengeboran Blok Tuna.

"Ini adalah contoh pertama yang teramati ketika kapal induk AS beroperasi dalam jarak sedemikian dekat saat kebuntuan sedang berlangsung" di Laut Cina Selatan, kata AMTI dalam sebuah laporan yang diterbitkan bulan lalu.

Empat kapal perang Tiongkok juga dikerahkan ke daerah itu, menurut IOJI dan nelayan setempat.

Seorang juru bicara Angkatan Laut AS Carrier Strike Group 5/Task Force 70 menolak untuk mengungkapkan jarak kapal induk dari rig. ‘Tidak boleh sejengkal pun hilang’

Tiongkok sedang dalam negosiasi dengan 10 negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, untuk menuntaskan kode etik di Laut Tiongkok Selatan, jalur air yang kaya akan sumber daya alam yang membawa setidaknya $3,4 triliun ke dalam neraca perdagangan tahunan.

Pembicaraan yang dilakukan di bawah naungan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dimulai kembali tahun ini setelah sempat terhenti karena pandemi.

Sikap Tiongkok yang semakin agresif di Laut Tiongkok Selatan telah memicu kekhawatiran di Indonesia, menurut empat sumber kepada Reuters.

Indonesia belum membuat klaim resmi atas wilayah Laut Tiongkok Selatan di bawah aturan PBB, karena percaya bahwa luas perairannya sudah jelas diatur oleh hukum internasional.

Presiden Tiongkok Xi Jinping telah mencoba untuk meredakan ketegangan antara Tiongkok dan negara-negara Asia Tenggara, dengan mengatakan bahwa Tiongkok "sama sekali tidak berusaha menghegemoni dan tidak merundung mereka yang kecil" di kawasan itu, seperti yang dikatakannya saat pertemuan puncak para pemimpin Tiongkok-ASEAN bulan lalu.

Sementara menurut Farhan, Pemerintah Indonesia juga berupaya meredakan ketegangan akibat kebuntuan jalan keluar tersebut di depan umum. Para pemimpinnya memilih "sediam mungkin karena jika bocor ke media mana pun akan tercipta insiden diplomatik," katanya.

Rig sementara beroperasi hingga 19 November, setelah itu menuju perairan Malaysia.

Menko Polhukam Mahfud M.D. pergi ke Laut Natuna pekan lalu, tapi ia mengatakan kunjungannya tidak ada hubungannya dengan Tiongkok. 

Dalam pernyataan publik Mahfud mengatakan “tanah dan perairan tidak boleh sejengkal pun hilang dari kekuasaan, kedaulatan hukum, dan teritori kita.”

Pengeboran telah selesai tepat waktu, menurut juru bicara Harbour Energy, operator Blok Tuna.

Dalam konfrontasi serupa dengan Tiongkok pada 2017, Vietnam meninggalkan kegiatan eksplorasi.

REUTERS EXCLUSIVE

Diproduksi oleh Hellena Souisa.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Syarat Terbaru Untuk Masuk ke Negara yang Sering Dikunjungi Warga Australia Termasuk ke Indonesia

Berita Terkait