Titik Nadir Demokrasi Indonesia Pasca-Pilpres 2019

Senin, 27 Mei 2019 – 18:50 WIB
Warga menggunakan hak pilih di Pemilu 2019. Foto/ilustrasi: arsip JPNN.com/Ricardo

jpnn.com - Oleh: Emild Kadju

Pemerhati Masalah Sosial dan Politik

BACA JUGA: Cegah Peristiwa Pemilu 2019, DPR Minta Petugas KPPS Harus Diperiksa Kesehatannya

 

Pertarungan dalam kontestasi Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2019 seyogianya telah selesai. Berdasarkan pengumuman hasil Pilpres oleh KPU pada 21 Mei dini hari, kubu petahana, Joko Widodo dan Ma’ruf Amin menjadi pemenang dengan perolehan suara 55,50 persen mengalahkan kubu oposisi, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno dengan perolehan suara 45,50 persen.

BACA JUGA: Saran Bu Titi Perludem Agar Tragedi Pemilu 2019 Tak Terjadi Lagi

Namun, fakta membuktikan bahwa hasil resmi yang dirilis lembaga penyelenggara Pemilu tersebut tidak serta-merta menutup cerita panjang tentang kontestasi Pilpres 2019. Polarisasi pasca-Pilpres adalah keniscayaan dari politik antagonisme yang dibangun.

Polarisasi dibangun sejak tahun 2018 bahkan sejak Pilpres 2014, nampaknya masih akan terus berlanjut. Hal ini ditunjukkan melalui beberapa aksi protes pasca-pilpres 17 April oleh massa pendukung kubu oposisi yang menuduh lembaga penyelenggara Pemilu berlaku curang. Bahkan, selang beberapa saat sebelum pengumuman, masih ada kubu yang mengeluarkan pernyataan sikap menolak hasil Pilpres yang berujung pada aksi massa pada 21 Mei malam hingga 22 Mei dini hari oleh para pendukung kubu oposisi.

BACA JUGA: Membangun Kembali Kultur Demokrasi Kita

Bahkan, pasca-penyerahan berkas gugatan BPN Prabowo-Sandi pada 24 Mei, dikabarkan bahwa massa pendukung akan melakukan demonstrasi di depan Mahkamah Konstitusi. Alih-alih menyerahkan sepenuhnya pada konstitusional, massa pendukung lebih memilih jalur represif dengan turun ke jalan. Inilah titik nadir demokrasi Indonesia. Sebuah kebebasan tanpa kendali dan batas-batas konstitusional. Lantas, mau dibawa ke mana demokrasi Indonesia?

BACA JUGA: Jokowi Diminta Ambil Langkah Besar Peningkatan Kualitas SDM

Kampanye Politik dan Disrupsi Ruang Publik

Pemilihan umum (Pemilu) adalah sarana perwujudan demokrasi dalam sistem pemerintahan negara modern. Dari waktu ke waktu, konstelasi politik menjelang Pemilu selalu identik dengan kampanye. Pemilu dan kampanye politik adalah dua hal yang saling mengandaikan satu sama lain dalam komunikasi politik. Pemilu tanpa kampanye politik adalah buta, sedangkan kampanye politik tanpa Pemilu adalah nihil politik.

Strategi kampanye politik sendiri terbagi menjadi dua, yaitu positive campaign dan attacking campaign. Positive campaign biasanya dilakukan dengan cara menciptakan brand image terhadap tokoh tertentu agar tingkat akseptabilitas dan elektabilitasnya meningkat. Tujuan dari positive campaign adalah untuk menaikan akseptabilitas dan elektabilitas tokoh yang diusung. Sedangkan attacking campaign merupakan strategi politik untuk melakukan down grade terhadap akseptabilitas dan elektabilitas lawan politik. Kedua, untuk menurunkan akseptabilitas dan elektabilitas lawan politik politik.

Attacking campaign, dalam model kampanye politik dilakukan dalam dua bentuk yaitu negative campaign dan black campaign. Negative campaign bekerja dengan menyerang pihak lawan menggunakan data, isu, dan kelemahan lawan yang bisa diverifikasi oleh pihak lain. Sementara black campaign bekerja dengan cara menyerang pihak lawan menggunakan hoaks yang tidak bersumber pada fakta dan data yang valid.

Seiring dengan disrupsi media komunikasi publik, model-model kampanye sebagaimana disebutkan di atas pun mengalami ekspansi menuju kanal-kanal siber yang kemudian disebut sebagai ruang publik virtual oleh karena disrupsi media komunikasi publik.

Pada 1 April 2019, Kementerian Komunikasi dan Informatika merilis jumlah hoaks dari Agustus 2018 hingga Maret 2019. Hasilnya menunjukkan bahwa dari 1.224 temuan, hoaks yang paling banyak beredar di media sosial adalah hoaks tentang pemilu dan propaganda pilpres 2019.

Data ini menunjukkan bahwa strategi kampanye politik pada Pilpres 2019 begitu sarat akan narasi-narasi anti-politik seperti haoks, propaganda, dan ujaran kebencian. Kenyataan inilah yang menyebabkan polarisasi dan ketegangan sebelum, saat, dan pasca Pilpres 2019.

Bila melihat situasi Indonesia saat ini, gerakan-gerakan protes terhadap hasil rekap KPU terjadi karena selama masa kampanye, narasi-narasi yang beredar di media sosial dan aplikasi chatting seperti WhatsApp dan telegram selalu dipenuhi oleh narasi-narasi hoaks dan propaganda.

Banyak akun anonim yang kemudian menyebarkan narasi-narasi propaganda untuk menggalang massa demi kepentingan elite politik tertentu. Masyarakat dan para pendukung masing-masing kubu tidak diajarkan untuk menggunakan narasi yang baik dan benar selama masa kampanye politik. Inilah yang kemudian membuat kesadaran berdemokrasi warga negara secara baik dan benar tersingkir. Bukan akal sehat yang dihasilkan, melainkan aksi massa yang diproduksi oleh propaganda politik.

Hal ini kemudian membuat Indonesia yang masih tertatih dalam reformasi, akan mengalami kebablasan dalam freedom of ekspression seperti yang ditunjukkan oleh massa pendukung gerakan kedaulatan rakyat pada unjuk rasa 21 Mei malam hingga 22 Mei 2019, dan mungkin akan terus berlangsung selama beberapa waktu ke depan.

Polarisasi dan Ancaman terhadap Demokrasi Indonesia

Pada 30 Januari 2018, The Economist merilis Indeks Demokrasi Dunia Tahun 2017. Akibat polarisasi antagonisme pada Pilkada DKI 2016, indeks demokrasi Indonesia berada pada posisi 68 dengan kategori "cacat demokrasi”. Tidak dimungkiri bahwa polarisasi dan ketegangan pasca Pilpres 2019 akan membuat indeks demokrasi Indonesia semakin menurun.

Situasi demokrasi Indonesia saat ini sesuai dengan tesis Chantal Mouffe dan Ernesto Laclau (2000: 108-127). bahwa konsensus bukan kondisi alamiah dari demokrasi. Kontras dengan pandangan para pemikir demokrasi konsensus, Mouffe dan Laclau memandang demokrasi sebagai disensus karena mereka tidak percaya akan kesanggupan sistem politik untuk menciptakan konsensus di hati warga negara.

Laclau dan Mouffe dalam Hegemony and Socialist Strategy: Toward a Radical Democratic Politic (1994: 127) berpendapat bahwa masyarakat tidak mungkin dapat mewujud sebagai identitas utuh dan terpadu, karena masyarakat senantiasa berada di arena politik yang dikotomis. Situasi disensus yang digambarkan oleh Mouffe dan Laclau nampak dalam wajah Indonesia saat ini. Alih-alih menerima hasil Pilpres untuk mencapai konsensus, massa justru menolak hasil Pilpres dan tetap menganggap Prabowo sebagai pemenang.

Mouffe dan Laclau mendasarkan konsep demokrasi radikal menggunakan istilah agonistik untuk membelokkan ketegangan yang terjadi dalam disensus, karena dimensi inheren demokrasi adalah Antagonisme. Hal yang bisa dilakukan adalah mengubah Antagonisme jadi agonistik. Antagonisme adalah relasi kawan musuh yang memandang perbedaan sebagai “yang lain” dan harus dimusnahkan. Mouffe dan Laclau melihat bahaya antagonisme dalam demokrasi sehingga mengubahnya relasi kawan-musuh menjadi agonistik atau relasi kawan-lawan. Istilah lawan (adversary) digunakan sebagai pengganti musuh (enemy) dalam pendekatan agonistik.

Dalam konteks demokrasi Indonesia yang berbasis supremasi hukum, ada tiga hal yang bisa ditempuh. Pertama, pihak yang merasa dirugikan dalam hal ini BPN Prabowo - Sandi perlu menyatakan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi dengan dukungan oleh alat bukti dan saksi yang kuat. Dalam hal ini, kubu BPN telah menyatakan gugatan ke MK pada tanggal 24 Mei sekitar pukul 21.00 WIB disertai 51 bukti berupa link berita dan postingan media sosial.

Kedua, menerima hasil putusan MK. Konsekuensi dari jalur konstitusional yang diambil adalah bahwa BPN dan TKN Jokowi-Amin harus menerima apa pun keputusan MK karena sifat putusan MK adalah mengikat dan memaksa. Bila ternyata BPN atau pun TKN tidak menerima hasil putusan MK, serta masih memobilisasi massa untuk mendelegitimasi hasil putusan MK, maka supremasi hukum sebagai salah satu pilar demokrasi Indonesia akan runtuh.

Ketiga, rekonsiliasi politik. Kedua pemikir disensus menganjurkan agar polarisasi antagonisme antara kubu petahana dan oposisi dialihkan ke agonistik yang memandang lawan politik sebagai adversary melalui rekonsiliasi politik. Di sini juga, kubu yang kalah dalam putusan MK perlu menjadi oposisi yang rasional sekaligus watchdog bagi pemerintahan Indonesia 2019-2024 agar demokrasi indonesia tetap berjalan.

Oleh karena itu, tidak perlu lagi ada aksi lapor-melapor, penjara-memenjara, demo-demoan, dan aktivitas antagonisme lainnya pasca putusan MK. Marilah membangun indonesia secara bersama-sama, karena pasca putusan MK terkait sengketa Pilpres 2019, tidak ada lagi kubu 01 atau 02; yang ada haruslah kubu 03 atau persatuan Indonesia sebagaimana termaktub dalam sila ke-3 Pancasila.(***)


Redaktur : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler