Di tengah situasi ekonomi dunia yang tidak menentu saat ini, pemerintah Indonesia didorong untuk meningkatkan kepastian hukum guna menjaminan siapa saja yang mau menanamkan modalnya bagi pertumbuhan ekonomi.
Hal tersebut dikemukakan pakar hukum Prof. Todung Mulya Lubis dalam diskusi dengan para wartawan Indonesia yang bergabung dalam AIJA (Australia Indonesia Journalist Association) di kediaman Konjen RI di Melbourne, hari Kamis (27/8/2015) malam.
BACA JUGA: Politisi Canberra Dituding Gunakan Tunjangan untuk Menentang Pemerintah
Didampingi oleh Konsul Jenderal RI untuk Victoria dan Tasmania Dewi Savitri Wahab, Prof. Todung Mulya Lubis memberikan berbagai pandangannya mengenai situasi hukum di Indonesia, isu hukuman mati, dan juga jalannya roda pemerintahan saat ini.
Prof. Todung Mulya Lubis berada di Australia untuk memberikan kuliah umum di Universitas Melbourne mengenai hukuman mati, dalam kapasitasnya sebagai Honorary Professional Fellow (Professor Kehormatan).
BACA JUGA: Usia Harapan Hidup Lebih Tinggi, Namun Banyak yang Dalam Keadaan Sakit
Todung Mulya Lubis (kiri) bersama Konjen RI di Melbourne Dewi Savitri Wahab.
BACA JUGA: Peselancar Australia Meninggal Saat Surfing di Mentawai
Dalam menjawab pertanyaan wartawan ABC L. Sastra Wijaya mengenai situasi Indonesia saat ini, Prof. Todung Mulya Lubis mengatakan bahwa situasi peningkatan kepastian hukum harus ditingkatkan.
"Dalam situasi seperti sekarang, kita berharap misalnya akan masuknya pemodal asing dari luar. Namun sekarang ini kita bersaing dengan negara seperti Vietnam, Myanmar, Kamboja, dan yang lainnya. Myanmar misalnya sekarang ini seperti sosok gadis cantik yang banyak diincar orang," katanya.
Sesuai dengan keahliannya, Todung menjelaskan situasi kepastian hukum itu dengan salah satu kasus yang ditangani firma hukumnya.
"Kami menangani kasus yang dialami oleh PT Coca Cola Amatil di Sumedang. Mereka memiliki pabrik produksi di 13 tempat dan berencana menanamkan modal 500 juta dolar. Di Sumedang ini mereka menghadapi masalah dengan perijinan untuk mengambil air," papar Todung lagi.
"Ini adalah ekses dari otonomi daerah. Coca Cola sudah mendapat ijin pengambilan air tanah, dan ijin itu sesuai peraturan harus diperpanjang. Namun ketika melakukan perpanjangan, mereka dipingpong dari kabupaten ke provinsi dan sebaliknya. Nah di saat itu, mereka didatangi oleh LSM yang meminta agar pengolahan limbah Coca Cola diberikan kepada mereka," jelas Todung.
Namun Coca Cola meminta LSM itu mengajukan tender bersama yang lain dan kemudian kalah. Menurut Todung, karena itu, LSM tersebut kemudian melaporkan kepada polisi bahwa Coca Cola tidak memiliki ijin pengambilan air.
"Padahal menurut intepretasi kita, di saat ijinnya diperpanjang, ijin sebelumnya masih berlaku. Namun karena masalah tersebut, Coca Cola harus mendatangkan air dari tempat lain. Sebagai perusahaan pembua minuman, produksi mereka tidak maksimal karena harus mendatangkan air dari tempat lain," jelas Todung lagi.
Jadi apa yang sebenarnya terjadi? "Karena perusahaan asal Australia ini tidak mau membayar suap. Jadi bagaimana kita mengharapkan adanya penanaman modal asing bila keadaannya masih seperti ini," katanya lagi.
Suasana diskusi Todung Mulya Lubis dengan wartawan Indonesia di Melbourne.
Di Australia, Prof. Todung dikenal sebagai pengacara yang menangani kasus dua terpidana mati Bali Nine Andrew Chan dan Myuran Sukumaran yang sudah dieksekusi bulan April lalu.
Ia dikenal sebagai pengacara yang menentang pelaksanaan hukuman mati.
Dalam menjawab pertanyaan mengenai kemungkinan eksekusi hukuman mati gelombang ketiga di bawah pemerintahan Presiden Jokowi, Todung mengatakan bahwa tampaknya belakangan hal itu kecil kemungkinan akan terjadi dalam waktu dekat.
"Saya sudah mendengar bahwa Jaksa Agung sekarang mengatakan itu tidak lagi menjadi prioritas. Juga mungkin Presiden Jokowi yang sudah banyak menghadiri pertemuan internasional, banyak mendapat pertanyaan seputar itu," kata Todung.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ilmuwan Queensland Ciptakan Animasi Dinosaurus Terbesar di Australia