jpnn.com, JAKARTA - Peneliti Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP) Universitas Muhammadiyah Jakarta Nazar EL Mahfudzi mengkritisi pernyataan Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (MK) Fajar Laksono tentang alasan penolakan atas permohonan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengenai uji materi ketentuan presidential threshold (PT) atau ambang batas pencalonan presiden.
Nazar menilai pernyataan Fajar Laksono sebagai sikap politik MK yang berpotensi melawan kedaulatan rakyat, terutama mengenai ambang batas keterwakilan DPD RI yang bisa melebihi kepentingan koalisi partai politik.
BACA JUGA: MK Tolak Gugatan DPD RI Soal PT 20 Persen, Sultan Bereaksi, Begini Catatannya
Dia menilai kedaulatan rakyat bisa tecermin dari DPD sebagai lembaga yang mempunyai peran strategis dalam pembentukan sistem politik demokratis dan tanggap terhadap kebutuhan masyarakat dan daerah.
Menurut Nazar, praktik representasi rakyat di beberapa negara secara umum dikelompokkan menjadi tiga sistem perwakilan, yaitu politik, teritorial, dan fungsional.
BACA JUGA: Melantai di Bursa, PT Arkora Hydro Raup Dana IPO Rp 182,67 Miliar
“Pembentukan DPD RI dalam sistem ketatanegaraan Indonesia telah merangkum konstitusi kedaulatan rakyat kepada tiga sistem perwakilan tersebut,” ujar Nazar dalam keterangan tertulisnya, Jumat (15/7).
Dia menambahkan praktik kenegaraan melalui sistem pewakilan dapat mereduksi aktualisasi kepentingan rakyat.
BACA JUGA: 2 Alasan PKS Pengin Uji Materi PT 20 Persen, Ternyata
Walaupun keterwakilan rakyat secara politis dinyatakan dalam bentuk partai politik, katanya, banyak organisasi massa dan rakyat tidak secara nyata terwakili.
Menurutnya, praktik di parlemen selama ini lebih berkembang pada format sistem perwakilan politik yang titik beratnya lebih kepada pada parpol.
“Keterwakilan melalui parpol telah mengalami perubahan format lembaga legislasi melalui amendemen UUD 1945, bahwa pembentukan DPD merupakan dalam rangka mereformasi struktur parlemen Indonesia menjadi dua kamar (bikameral) yang terdiri atas DPR dan DPD,” tuturnya.
Nazar meyakini representasi rakyat melalui salah satu sistem perwakilan rakyat yang dijalankan dengan baik akan mencerminkan arti demokrasi sesungguhnya.
Menurutnya, hal itu akan membawa dukungan luas dari masyarakat yang merasa kepentingan mereka terwakili.
Namun, kondisi objektif saat ini menunjukkan ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen bukan sebagai wujud keterwakilan masyarakat, melainkan bentuk koalisi parpol dala, berbagi kekuasaan.
“Saya mempertanyakan kepada MK yang menolak permohonan gugatan DPD RI yang mempunyai fungsi legislasi dan representasi keterwakilan kedaulatan rakyat.” katanya.
Oleh karena itu, Nazar menganggap penolakan MK atas gugagatan DPD menyebabkan hilangnya hak konstitusional lembaga para senator itu dalam sistem keterwakilan.
“Hilangnya kedaulatan rakyat karena hak konstitusi keterwakilan rakyat melalui DPD berubah menjadi sistem kepartaian yang lebih menekankan berbagi kekuasaan untuk dapat mencalonkan sebagai presiden,” pungkas Nazar.
Sebelumnya, Fajar Laksono menyatakan dua alasan MK mempertahankan presidential treshold (PT) 20 persen.
“Pertama, itu dikaitkan dengan penguatan sistem presidensial. Kemudian (kedua), penyederhanaan partai politik secara alamiah,” kata Fajar dalam sebuah diskusi virtual, Rabu(13/7). (boy/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Kusdharmadi