Tolak Hukuman Mati, Kubu Heru Hidayat Sebut ASABRI Belum Rugi

Senin, 13 Desember 2021 – 23:22 WIB
Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Heru Hidayat dituntut hukuman mati dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi dan pencucian uang pengelolaan dana PT Asabri (Persero) ,di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (6/12/2021). ANTARA/Desca Lidya Natalia.

jpnn.com, JAKARTA - Kubu terdakwa kasus korupsi PT Asabri Heru Hidayat menilai tuntutan dan tuduhan jaksa penuntut umum (JPU) menyimpang dari dakwaan. Pihak Heru merasa tuntutan dan tuduhan jaksa tidak sesuai dengan fakta persidangan.

"Kami menyoroti mengenai tuntutan mati oleh JPU yang menyimpang. Sebab sejak awal JPU tidak pernah mencantumkan Pasal 2 ayat (2) dalam surat dakwaannya, padahal jelas surat dakwaan adalah acuan dan batasan dalam persidangan perkara ini sebagaimana Hukum Acara Pidana," kata penasihat hukum Heru, Kresna Hutauruk saat membacakan pledoi dan nota pembelaan kliennya di Pangadilan Tipikor Jakarta, Senin (13/12).

BACA JUGA: Tuntutan Hukum Mati Heru Hidayat Dinilai Tidak Cermat, Begini Analisis Pakar Hukum Pidana UI

Krensa menerangkan jaksa sama sekali tidak pernah mencantumkan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor dalam surat dakwaan Heru Hidayat.

Selain itu, kata Kresna, JPU secara jelas keliru dan salah memahami pengulangan tindak pidana dalam kasus yang melibatkan kliennya. Dia menegaskan kasus Asabri terjadi sebelum Heru Hidayat dihukum pada perkara korupsi Jiwasraya.

BACA JUGA: Terdakwa Korupsi Asabri Heru Hidayat Dituntut Hukuman Mati

"Jelas perkara ini bukan pengulangan tindak pidana," kata dia.

Kresna juga mengutip pendapat ahli dan pakar pidana dari berbagai kampus di mana tuntutan harus selaras dengan dakwaan. "Kalau tuntutan mati tidak bisa diterapkan terhadap Pak Heru karena tidak pernah didakwakan JPU dan tidak termasuk kualifikasi pengulangan tindak pidana," tandas dia.

BACA JUGA: Tuntutan Hukuman Mati Heru Hidayat dalam Kasus Asabri Tidak Tepat

Lebih lanjut kata Kresna, jaksa juga keliru menuduh Heru Hidayat menikmati uang sebesar Rp 12 triliun lebih. Dia melihat jaksa tidak pernah membuktikan adanya aliran uang sebesar itu kepada Heru Hidayat.

"Bagaimana mungkin Pak Heru menikmati uang sebesar itu kalau tidak ada aliran uangnya," ungkap dia.

JPU, kata dia, juga tidak tepat menuduh adanya kerugian negara sebesar Rp 22 triliun. Dia menilai penghitungan itu dilakukan oleh ahli BPK yang hanya memperkirakan uang yang keluar dalam investasi Asabri. Namun, kata dia, BPK tidak menghitung keuntungan atau uang masuk dalam investasi Asabri ini.

Apalagi, kata Kresna, jaksa dan BPK juga mengabaikan fakta sampai saat ini Asabri masih memiliki saham dan unit penyertaan reksadana periode 2012-2019. Bahkan saham dan reksadana tersebut masih bernilai dan nilainya terus bergerak.

"Jadi, jelas dalam perkara ini, Asabri belum menderita kerugian, kalaupun ada penurunan nilai investasi sifatnya masih potensial dan belum nyata sehingga jelas penghitungan kerugian negara tersebut tidak tepat dan keliru," tutur dia.

Tak hanya itu, kata Kresna, JPU sendiri dalam dakwaan dan tuntutannya, mengakui Heru Hidayat telah terbukti tidak pernah memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada pihak Asabri. Hal ini, kata dia, terungkap dalam fakta persidangan kasus Asabri ini.

"Jelas tidak ada niat jahat dari Pak Heru ataupun pihak Asabri dalam perkara ini. Sebagaimana kami ketahui bersama, perkara Tipikor itu identik dengan suap atau gratifikasi, sedang dalam perkara ini Pak Heru terbukti tidak melakukan hal tersebut," tegas dia.

Oleh karena itu, Kresna mengharapkan Majelis Hakim mempertimbangkan pembelaan tersebut sehingga bisa memutuskan perkara secara adil.

"Tentunya saat ini kami berharap Majelis Hakim dapat memutus perkara ini sesuai dengan koridor hukum dan fakta yang terjadi dalam persidangan ini sehingga menghasilkan putusan yang adil," pungkas Kresna. (tan/jpnn)

 

Simak! Video Pilihan Redaksi:

Redaktur : Adil
Reporter : Fathan Sinaga

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler